Menuju konten utama

"Utang Membuat Mata Orang Terbelalak"

Persoalan utang menjadi isu yang kerap menuai pro dan kontra. Bagi banyak negara, termasuk Indonesia utang dari luar negeri sudah jadi kebutuhan di tengah tak berdayanya sumber dalam negeri membiayai pembangunan.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Dani Setiawan. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - Utang menjadi instrumen pembiayaan banyak negara di dunia dari negara miskin hingga negara maju. Persoalan utang bisa menuai pro kontra saat jumlahnya terus bertambah, termasuk di Indonesia. Jumlah utang pemerintah per 30 Juni 2016 sudah mencapai Rp3.362,7 triliun.

Total utang ini merupakan akumulasi dari utang yang ditarik dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Utang kerap jadi sarana mengintervensi oleh pihak pemberi utang, terutama utang yang bersifat bilateral atau multilateral. Bagi negara peminjam seperti Indonesia ini jadi sebuah jebakan utang.

Berikut wawancara tirto.id dengan Ketua Koalisi Anti Utang dan Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Dani Setiawan, di Jakarta, Rabu (20/7/2016)

Apa penyebab suatu negara punya utang?

Secara teori, utang luar negeri itu muncul akibat adanya gap antara tabungan dengan investasi. Jadi dalam melakukan pembangunan suatu negara butuh modal. Nah modal itu diambil dari mana? dari investasi. Dalam teori ekonomi, setiap pembangunan ekonomi membutuhkan investasi.

Investor ketika ingin membiayai sebuah pembangunan, dia akan mengambil dari pinjaman tabungan domestik. Pinjaman ini diberikan dengan harapan uang yang dipinjam lembaga keuangan tingkat domestik itu akan membiayai investasi-investasi yang akan dikerjakan oleh investor tersebut.

Dalam kondisi tabungan domestik tidak cukup karena dana pihak ketiganya kecil, tapi kebutuhan investasinya besar, bangun jalan, bangun pabrik, bangun perkebunan, pertambangan dan lain-lain, maka ada gap antara kebutuhan investasi yang besar dengan ketersedian dana di tabungan domestik, lembaga perbankan. Di situlah justifikasi utang luar negeri muncul.

Jadi pembangunan ekonomi yang menghadapi kelangkaan sumber daya finansial di dalam negeri itu membutuhkan penarikan pinjamana luar negeri untuk membiayai investasi. Itu aspek yang normal secara teoritis.

Dalam perjalan utang luar negeri. sebenarnya, hal-hal kita anggap normal dalam penarikan utang luar negeri, sejarah ekonomi politik, khususnya negara dunia ketiga, pinjaman utang luar negeri menjadi instrumen bagi negara-negara yang menyediakan pinjaman untuk melakukan intervensi bagi negara-negara yang membutuhkan pinjaman.

Intervensi macam-macam kepentingannya, misalnya intervensi untuk membuka pasar domestik di negara itu jika ada hambatan, perlindungan pasar domestik di suatu negara, karena dia membutuhan pinjaman luar negeri dan mengharuskan pinjaman dari negara ini atau lembaga keuangan ini.

Biasanya mereka mempersyaratkan itu agar perlindungan pada suatu negara itu dihilangkan supaya investasi-investasi yang berasal dari negara itu bisa masuk.

Bagaimana dengan negara yang berutang, apalagi nilai utang terus bertambah?

Ada dua dampaknya, pertama dari sisi domestik itu akan mempengaruhi kinerja ekonomi ke depan. Misalnya Indonesia karena memiliki beban utang yang besar, maka kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak konstitusionalnya, penyediaan lapangan pekerjaan, layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang bagus, berkualitas dan murah itu tidak tercapai karena tidak didukung kebijakan anggaran yang cukup.

Karena pemerintah Indonesia harus mengalokasikan sejumlah anggarannya untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga. Karena itu jumlahnya sangat besar dan ini porsi yang tidak pernah dikurangi dalam mekanisme kebijakan anggaran, biasanya seperti itu.

Jadi pengurangan anggaran bisa berlaku kepada proyek atau program pemerintah, tetapi terhadap pembayaran cicilan pokok bunga utang tidak pernah berkurang. Hal ini terikat oleh kontrak perjanjian. bayarnya kapan, berapa banyak, itu semua sudah ditentukan dari awal.

Kita utang satu miliar, misalnya, jangka waktu pembayaran sudah ditentukan selama 20 tahun. Selama itu, APBN harus menyesuaikan berapa yang harus dibelanjakan, berapa pendapatan yang harus diterima. lihat dulu berapa beban kewajiban yang harus dibayarkan, itu kan aneh. itu disebut jebakan utang.

Harusnya pemimpin berganti, kebijakan berganti. Misalnya Presiden Jokowi punya nawacita, punya agenda ingin mensejahterkan rakyat tapi tadi dia terjebak dalam utang yang besar. Bukan karena salah dia, tapi warisan rezim-rezim masa lalu yang telah membuat kebijakan ini.

Apakah tidak ada alternatif lain untuk menutupi defisit tanpa utang?

Soal dana alternatif, pertanyaan itu bisa mudah atau bisa sulit. Kalau aspek sulitnya seperti ini, bisa saja kita mencari alternatif-alternatif yang lain, hanya dengan beban pembayaran utang yang besar, bagaimana cara kita membayarnya sebab itu kewajiban, kecuali pemerintah mau meregonisiasi ulang.

Ini nggak mungkin kita bayar dengan sumber daya yang kita miliki. Lihat saja, berapa banyak orang miskin, berapa banyak sekolah yang harus diperbaiki di daerah, rumah sakit, itu butuh duit semua. Dengan beban besar ini Anda mau ngapain, kecuali minta pengurangan atau penghapusan.

Kedua, penerimaan pajak yang harus ditingkatkan. Sekarang masalahnya adalah seberapa besar pemerintah mampu menggenjot penerimaan dari pajak. Lalu optimalisasi penerimaan non pajak dari PNBP (Pendapatan Negara Wajib Pajak), terutama sumber daya alam.

Sebenarnya ini ada korelasi tuntutan-tuntutan melakukan renegosiasi kontrak, misalnya izin-izin yang diterbitkan kepada perusahaan asing di bidang migas yang sudah habis masa kontraknya diserahkan saja kepada Pertamina. Kalau kita korelasikan dengan kebijakan anggaran maka masuk akal. Kalau itu dikuasai oleh perusahaan negara, benefitnya itu bisa masuk langsung ke APBN.

Renegosiasi utang luar negeri apa bisa dilakukan?

Sebenarnya, dari tahun ke tahun semakin banyak yang mendapat keringanan dalam pembayaran utang adalah Pakistan, Filipina. Kita selalu kehilangan momentum, dalam berusaha untuk mengatasi utang luar negeri kita dengan cara menegosiasikan keringanan.

Dulu, pernah tsunami Aceh, kita mendorong pemerintah untuk meminta penghapusan utang. Semua negara yang terkena tsunami, Pakistan dan Filipina dapat pengurangan. Sementera Sri Mulyani tidak mau menghapuskan, gengsi atau menjaga citra di mata internasional.

Nanti enggak dipercayai lagi sama investor, dan yang paling kacau waktu itu adalah dia menyatakan beberapa kreditur seperti Jepang mengatakan enggak mau menghapuskan utang.

Setelah satu atau dua hari pernyataan Menteri Keuangan, Jepang mempertimbangkan untuk menghapuskan utang Indonesia. Tapi tidak dieksekusi juga oleh pemerintah. Jadi itulah dalam bahasa ekonomi politik sebenarnya betapa banyak dahulunya orang-orang ditempatkan di dalam posisi penting dalam pemerintahan, justru bertindak layaknya sebagai agen dari kepentingan-kepentingan negara kreditor atau asing yang sama sekali tidak mencerminkan kepentingan nasional.

Nilai utang dan bunga yang harus dibayarkan pemerintah setiap tahun juga bertambah, apa pendapat Anda?

Jumlah yang dibayarkan fluktuatif, sangat tergantung pada term of condition dari perjanjian utang itu. Bila melihat statistiknya semakin tahun, semakin meningkat utangnya. Tahun lalu saja sekitar Rp400 triliun untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri serta dalam negeri.

Trennya akan terus meningkat. Pada 2014, sekitar Rp 370 triliun, meningkat sekitar Rp400 triliun pada 2015, itu jumlah yang sangat besar dan lebih besar dari anggaran kementerian manapun. Cara menghitungnya tidak kelihatan dalam APBN. Jadi dikamuflase oleh teknik-teknik akuntansi, sehingga kalau kita baca normal dalam APBN hanya kelihatan pembayaran bunga Rp 120- 125 triliun, lalu cicilan pokok utang luar negeri. Kan hanya itu yang kelihatan di dalam struktur APBN.

Kalau kita simulasi, berapa pemerintah membayar cicilan pokok utang dalam negeri. Sekarang sudah lebih rumit dibandingkan format pada 2002 yang belum diubah. Itu lebih kelihatan pada orde baru, kelihatan untuk apa saja pembayaran utangnya.

Jepang jadi pemberi utang terbesar, apa kepentingan mereka?

Jepang negara paling besar memberikan utang kepada kita dari dulu. Hampir sekitar 17 persen dari total pinjaman utang luar negeri bilateral kita. Jadi sangat besar, kepentingan Jepang sangat jelas soal ekonomi di Indonesia. Kenapa dia menjadi kreditor terbesar di Indonesia.

Setelah Jerman, berikutnya Jerman, AS, dan Tiongkok mulai membesar 5-6 tahun terakhir meningkat signifikan pinjaman ke Indonesia, sebelumnya Tiongkok pernah meminjamkan utang tapi jumlahnya sangat kecil.

Yang unik sebagai pemberi utang terbesar, Jepang juga negara pengutang terbesar, bisa jelaskan?

Itu bedanya dengan Indonesia. Kita rasio utang terhadap PDB 26%, Jepang di atas 100%. Tapi Jepang meminjamkan uang kepada negara lain, sementara kita tidak pinjamkan uang kepada negara lain.

Bagi negara besar, utang itu bisnis. Satu bisnis real dalam pengertian pendapatan bunga yang diterima dari setiap pinjaman. Kedua bisnis realitis of true the power, jadi bagi negara itu dengan sadar menggunakan utang itu sebagai instrumen untuk memperkuat kapasitas ekonomi mereka.

Ya kalau mereka tidak memberi utang kepada negara maka akan berdampak pada kapasitas dan kapabalitas negaranya dalam mempengaruhi perekonomian global. Terserah dia pinjaman dari mana.

Sebenarnya negara maju lebih banyak rasio utangnya lebih tinggi. Mereka pinjam dalam negeri atau pinjam kepada warga negaranya, jadi relatif lebih bisa diprediksi dan proses renegosiasi dan jadwal ulang lebih mudah dilakukan. Tahun ini saya tidak bisa bayar karena jatuh tempo. Saya pindah 3 tahun lagi, lebih mudah daripada pinjaman luar negeri atau bilateral.

Apakah negara harus punya utang lebih banyak agar jadi negara maju seperti Jepang?

Indikator sebuah kemajuan ekonomi itu tidak semata-mata pada pertumbuhan, sudah terlalu banyak contoh, kita menyaksikan sudah banyak negara kinerja perekonomian yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi besar. Lalu kemudian tiba-tiba habis, anjlok dan hancur dengan cepat dan tidak berkelanjutan.

Contoh pada 2008 terjadi pada AS, Uni Eropa, Yunani. Jepang sekarang juga lagi krisis terus, jangan dibilang nggak. Jepang sekarang kerja keras luar biasa daripada kita.

Jadi, saya kira harus kita bayangkan. Ini pertarungan paradigma tinggi, apa yang disebut dengan perekonomian yang maju sebuah negara? Apakah perekonomian yang maju itu ketika pertumbuhan di atas 7 persen, apakah pertumbuhan maju itu ketika banyaknya mal-mal di negara ini, gedung-gedung bertingkat. Apakah perekonomian maju ketika sumber daya alam diperas semuanya? Itu kan pertarungan paradigma.

Atau perekonomian negara maju ketika rakyatnya 100% sekolah semuanya. Ketika ibu yang meninggal karena melahirkan itu semakin berkurang secara drastis karena pelayan kesehatan semakin baik. Indikator-indikator itu tidak dominan menjadi diskusi khusus global saat ini. Ibu melahirkan, pendidikan dan gizi itu isu sangat krusial, penting yang menopang hidup matinya sebuah negara mestinya ya. Bukan berapa banyak sumber daya alam diperas, bukan berapa banyak gedung yang didirikan.

Rasio utang Indonesia mencapai 27 Persen Terhadap PDB, apakah ini aman?

Ya kalau merujuk pada UU Keuangan Negara, memang kondisinya masih aman. UU No 17 tahun 2003 warningnya di atas 60 persen. Memang 27 persen ke 60 persen itu angkanya relatif jauh. Akan tetapi, yang harus kita lakukan bukan mengatakan bahwa kondisi utang aman karena rasio dari standar dari negara-negara, jadi coba deh lihat kita membayar utang seberapa besar kemampuan kita. Kebutuhan anggaran yang disediakan oleh pemerintah, makanya berapa persen belanja negara setiap tahun anggaran.

Bila mau dikecilkan lagi berapa rasio utang dalam dan luar negeri dibandingkan dengan anggaran kesehatan atau pendidikan. Coba dihitung, pasti mata orang terbelalak semua, wih besar sekali biaya pendidikan segini, biaya kesehatan segini, bayar utang segini. Pasti orang kaget semua.

Anggaran kesehatan itu tidak lebih dari 3 persen dari PDB. Coba Anda bandingkan 2016, jadi itu statistik itu cara rezim memanipulasi angka-angka atau memanipulasi kenyataan. Betul itu disampaikan pemerintah di bawah itu aman, rasio utang. Saya boleh dong membandingkan utang tidak dengan PDB tapi membandingkan pembayaran utang tahun ini dengan anggaran pendidikan kesehatan, sektor pertanian.

Adakah negara yang berhasil keluar dari lilitan utang?

Keluar 100 persen enggak ada. Hanya ada usaha yang terus menerus dilakukan karena kesadaran. Bahwa mereka harus keluar dari keterjebakan utang ini, ada kasus seperti Argentina. Mereka menegosiasikan itu sejak tahun 2002 dan berhasil.

Prosenya berhasil, artinya harus ada kesungguhan dari pemerintah yang bersangkutan dan harus ada kesadaran bahwa ini masalah besar. Kalau selama ini tidak ada maka sulit. Nigeria pernah mendapatkan juga, Irak, Chili dan Pakistan. Terakhir utang Myanmar dari Jepang itu proses politik dan barter.

Artinya Myanmar melihat ada potensi kepetingan antara Jepang dan Cina. Untuk memanfaatkan konflik itu menjadi momen. Mungkin dulu kita, penghapusan ketika ada momentum bencana alam. Tapi belajar dari kasus Myanmar, situasi politik juga bisa dimanfaatkan utuk melakukan negosiasi dengan Jepang. Pasalnya ada kepentingan sumber daya alam, Cina juga mau, tinggal dibarter saja kamu mau kasih apa.

Saran Anda terhadap pemerintah Jokowi soal utang?

Pertama, kita menyarankan pemerintahan Jokowi harus berpegang kepada konstitusi, khususnya dalam kebijakan ekonomi. Kedua konsisten menjalankan demokrasi ekonomi, medorong tumbuhnya koperasi-koperasi. Secara konsisten menurunkan ketergantungan terhadap utang-utang luar negeri.

Utang luar negeri, kalau pemerintah saat ini sedang menjalankan janji politiknya kepada masyarakat. Janji itu tidak bisa dilaksanakan tanpa anggaran. Di situasi seperti inilah godaan besar atau kepentingan utang masuk ke dalam negeri.

Ada tiga kondisi di mana utang dipaksa masuk ke dalam negeri. Satu krisis ekonomi, kedua sikap atau paradigma, terakhir dipengaruhi aktor, komunitas-komunitas atau intelektual untuk mempengaruhi pemerintah untuk meminjam ke luar negeri.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti