tirto.id - "Utang itu tidak najis," ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di Hotel Shangri-la, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).
Pernyataan Sri Mulyani tersebut ditujukan untuk meyakinkan publik bahwa utang bukan sesuatu yang dilarang. Sebab, kata dia, selama ini pemerintah menggunakannya demi percepatan pembangunan.
Apalagi, lanjut Sri Mulyani, pemerintah telah mengelola utang dengan baik sesuai kaidah peraturan perundang-undangan dan penuh kehati-hatian, baik dari sisi risiko maupun rasio utang terhadap PDB yang saat ini masih berada di angka 30 persen. Ia pun meminta masyarakat untuk percaya pada pemerintah.
Bukan sekali ini saja Menkeu terbaik di Asia Pasifik 2019 tersebut membela pemerintah terkait utang pemerintah pusat. Sebelumnya, Sri Mulyani pernah berdebat dengan Ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR RI) Zulkifli Hasan terkait dengan utang pemerintah.
Selain itu, ia juga pernah ditantang debat terbuka soal utang mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, dan disindir sebagai menteri pencetak utang oleh Prabowo Subianto, salah satu calon presiden pada Pilpres 2019.
Zulkifli Hasan pertama kali "menyerang" Sri Mulyani pada sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2018. Dalam sidang tersebut, Zulkifli mempersoalkan pembayaran pokok utang tahun 2018 yang ia klaim lebih besar dibandingkan anggaran kesehatan dan anggaran dana desa.
Sri Mulyani menanggapinya dengan penjelasan yang ia unggah di akun Facebook pribadinya. Kementerian Keuangan juga menjelaskan perkara utang pemerintah pusat melalui kanal "Menjawab Utang" di laman mereka.
Sementara itu, tantangan debat terbuka soal utang dari Rizal Ramli tidak digubris Sri Mulyani. Sedangkan cap "Menteri Pencetak Utang" yang disematkan Prabowo ditanggapi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti. Nufransa dalam pernyataan tertulis menyatakan pernyataan Prabowo tersebut "sangat mencederai perasaan kami yang bekerja di Kementerian Keuangan."
Utang memang persoalan yang sensitif di negeri ini. Banyak pihak yang mengkritik pemerintah terkait perkembangan utang pemerintah pusat, mulai dari mantan menkeu, ekonom, hingga capres. Kemenkeu sebagai kementerian yang mengurusi keuangan dan kekayaan negara beberapa kali menanggapi kritik tersebut.
Utang pemerintah pusat sendiri terdiri dari pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, dan surat berharga negara (SBN). Kemenkeu mencatat utang pemerintah pusat dan melaporkan perkembangannya secara rutin.
Utang pemerintah pusat di akhir 2014—awal kepemimpinan Presiden Jokowi—tercatat sebesar Rp2.608,77 triliun. Angka tersebut meningkat menjadi Rp3.165,13 triliun pada 2015 kemudian menjadi Rp3.515,45 triliun pada 2016.
Pada akhir 2018, Kemenkeu mencatat utang pemerintah pusat sebanyak Rp4.418,30 triliun. Angka tersebut didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak Rp3.612,69 triliun.
Jika dikalkulasi, utang pemerintah pusat meningkat sebesar Rp1.809,52 triliun atau sekitar 69,36 persen dari awal Jokowi menjabat pada akhir 2014 hingga akhir 2018.
Upaya Genjot Pajak
Peningkatan utang tersebut tidak bisa dibilang sedikit. Pemerintahan Jokowi pun telah melakukan berbagai cara untuk membayar utang tersebut, seperti meningkatkan penerimaan negara khususnya penerimaan pajak. Salah satunya program yang diampu Kemenkeu terkait hal tersebut ialah tax amnesty (pengampunan pajak).
Upaya pemerintah tersebut terlihat wajar mengingat penerimaan perpajakan merupakan pos penting pada APBN. Pada APBN 2019 saja, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.786,4 triliun. Jumlah tersebut menyumbang sekitar 82,51 persen target pendapatan negara sebesar Rp2.165,1 triliun.
Seperti dilansir lama resmi Kemenkeu, tax amnesty merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Selain untuk meningkatkan penerimaan perpajakan, tax amnesty juga bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui repatriasi aset dan untuk perluasan basis data perpajakan.
Melalui UU No 11 Tahun 2016, pemerintah melaksanakan program pengampunan pajak tersebut pada 1 Juni 2016 hingga 31 Maret 2017 yang terbagi dalam tiga periode.
Setelah sembilan bulan pelaksanaan, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu dalam Laporan Tahunan 2017 (PDF) menyatakan program pengampunan tersebut menghasilkan uang tebusan sebesar Rp114,54 triliun dan pengungkapan harta sebesar Rp4.884,26 triliun yang terdiri atas deklarasi dalam negeri, luar negeri, dan repatriasi.
Wajib pajak yang berpartisipasi tercatat sebanyak 736.093 untuk wajib pajak orang pribadi dan 237.333 wajib pajak badan.
Namun, pelaksanaan tax amnesty tersebut mendapat rapor merah dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef). Indef menyebut dari beberapa indikator penilaian, pelaksanaan program tersebut dinilai kurang berhasil.
Seperti dilansir Kompas.com, salah satu acuan penilaian Indef yaitu pencapaian target yang ditetapkan pemerintah. Dana repatriasi ditargetkan Rp1.000 triliun, realisasinya hanya sebesar Rp147 triliun. Selain itu, realisasi dana tebusan mencapai Rp114,54 triliun dari target pemerintah Rp165 triliun.
Selain itu, pengaruh tax amnesty pada penerimaan perpajakan juga tidak terlihat signifikan. Penerimaan perpajakan 2016 sebesar Rp1.284,97 triliun atau meningkat 3,59 persen dari tahun sebelumnya. Penerimaan pada 2017 juga tidak berubah signifikan dengan hanya meningkat sebesar 4,56 persen menjadi Rp1.343,53 triliun.
Padahal, pada 2015, ketika program pengampunan pajak belum dilaksanakan, pemerintah meraup penerimaan sebesar Rp1.240,41 triliun atau meningkat 8,16 persen daripada tahun sebelumnya.
Meskipun mendapat kritikan dan dinilai gagal, Jokowi tetap bangga dengan program tersebut. Program tersebut diungkit Jokowi—meskipun dengan angka yang sedikit berbeda—saat berpidato dalam keterangan pemerintah atas RUU APBN 2018 di Gedung DPR (16/8/2017).
"Sampai dengan akhir pelaksanaan program, tax amnesty berhasil diikuti oleh 973,4 ribu wajib pajak dengan total penerimaan uang tebusan mencapai Rp115,9 triliun," ujar Jokowi.
Divestasi Freeport dan "Kemakmuran Rakyat"
Selain meningkatkan pendapatan melalui amnesti pajak, pemerintah pusat juga telah melakukan usaha lain, yaitu divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Kini, Indonesia memiliki 51,23 persen saham Freeport melalui PT Inalum (Persero).
Melalui proses yang panjang dan berliku, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Rio Tinto, dan Freeport-McMoRan Inc akhirnya bersepakat terkait pengambilalihan 51,23 persen saham PTFI tersebut pada 12 Agustus 2018.
"Hari ini merupakan momen bersejarah setelah PT Freeport beroperasi di Indonesia sejak tahun 1973," kata Presiden Jokowi dalam keterangan pers yang digelar di ruang kredensial, Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/12) sore seperti dilansirsetkab.go.id.
Presiden menjelaskan, bahwa kepemilikan mayoritas saham PT Freeport itu akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Secara hitung-hitungan, beralihnya kepemilikan saham mayoritas PTFI ke pemerintah memang menambah penerimaan negara yang terdiri atas dividen, royalti, serta pajak dan pungutan lainnya. Saat masih punya saham 9,36 persen di PTFI pada 2017 lalu, pemerintah mendapat dividen USD135 juta, ditambah royalti sebesar USD151 juta dan pajak serta pungutan lain sebesar USD470 juta. Pada 2018, penerimaan tersebut meningkat menjadi USD180 juta untuk dividen, USD295 untuk royalti, serta pajak dan pungutan lain yang melonjak tinggi menjadi USD1.720 juta.
Ketika sudah memiliki 51,23 persen saham, tentunya penerimaan yang akan didapat pemerintah jauh lebih besar daripada penerimaan saat ini. Selain menyumbang pajak dan dividen terhadap pemerintah, PTFI juga berkontribusi menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia khususnya warga asli Papua.
Meskipun penerimaan pemerintah diramalkan akan naik dalam angka yang cukup besar, langkah divestasi tersebut dikritik mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu. Apa yang didapat Freeport dari divestasi tersebut menurutnya tidak sebanding dengan apa yang didapat pemerintah.
Menurut Said, Freeport setidaknya punya lima keuntungan dari aksi divestasi ini. Pertama, mereka dapat dana segar Rp55 triliun. Mereka juga punya hak pengendali meski hanya punya saham minoritas. Selain itu, Freeport juga mendapat kepastian perpanjangan kontrak sampai 2041, mendapat kepastian pajak, dan ada kemungkinan bisa bebas dari ancaman denda lingkungan—mengingat mayoritas pemilik saham kini adalah Indonesia.
"Sementara Indonesia hanya mendapatkan utang, saham, harapan, dan kewajiban investasi. Jadi, apakah ini adil buat Indonesia?" kata Said kepada Tirto.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN tersebut juga mengatakan akuisisi saham PTFI dengan menggunakan utang juga bukan keputusan yang baik. Apalagi, yang ditugaskan berutang adalah BUMN. Alhasil, jumlah BUMN yang mendapatkan beban karena penugasan semakin bertambah.
Meskipun sudah dikelola dengan sangat hati-hati, perkembangan utang tetap harus menjadi perhatian pemerintahan Jokowi. Kementerian Keuangan sebagai kementerian yang mengelola keuangan negara juga wajib untuk melaporkan dan mensosialisasikan perkembangan utang kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan untuk menambah penerimaan negara yang dilakukan pemerintah pusat juga butuh perhitungan termasuk konsekuensinya. Perlu koordinasi lintas kementerian dan Lembaga dalam merumuskan kebijakan untuk menambah pemasukan negara.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara