tirto.id - Rencana revisi Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu mulai digulirkan agar segera dibahas secara serius oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada Rabu (30/10/) dan Kamis (31/10) lalu, DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil untuk membahas revisi UU Pemilu.
Masyarakat sipil mendorong agenda revisi UU Pemilu masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2029. Beberapa poin yang dipertimbangkan masuk dalam revisi UU Pemilu meliputi desain keserentakan pemilu, ambang batas parlemen dan presiden, hingga kelembagaan penyelenggara pemilu.
Rapat ini diikuti beberapa organisasi masyarakat sipil, yakni Perludem, LBH Apik, Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), hingga Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Sedankan DPR diwakili oleh Badan Legislatif (Baleg).
Dalam kesempatan tersebut, anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Nasdem, Muslim Ayub, melontarkan usulan agar Pemilihan Legislatif (Pileg) digelar 10 tahun sekali. Menurut Muslim, hal itu perlu dilakukan untuk mengembalikan modal kampanye kepada para caleg.
Muslim berdalih, pemilu yang dilakukan hanya lima tahun terlalu sebentar. Sementara untuk maju dalam kontestasi pemilu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Menurutnya, untuk maju sebagai caleg, minimal seseorang membutuhkan biaya di atas Rp20 miliar.
"Jadi, enggak mungkin ada ini akan kami kembalikan dengan sistem begini. Mohon maaf rata-rata kami bukan sedikit menghabiskan uang. Minimal Rp20 miliar ke atas. Enggak ada yang Rp10 miliar," ucap Muslim saat RDP antara masyarakat sipil dengan Baleg DPR RI, Rabu (30/10/2024).
Muslim yakin organisasi sipil yang mengawal pemilu mengetahui kondisi di lapangan. Ia menyatakan tak sedikit anggota DPR terpilih yang saat ini masih menyisakan utang. Politikus Nasdem itu berujar, kurun waktu Pileg per 5 tahun sekali akan sulit mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.
“Tidak salah kan kalau 10 tahun sekali. Itu pertama. Ini usulan pribadi nih bukan Nasdem,” kata Muslim.
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, mengatakan usulan Pileg per 10 tahun sekali sebagai wacana yang mengada-ada dan tidak masuk akal. Menurut Arif, pemilu yang meliputi pilpres dan pileg memang didesain lima tahun sekali karena memiliki fungsi kuat untuk membatasi kekuasaan.
Kekuasaan yang bercokol terlalu lama cenderung mengarah ke tendensi korup. Kekuasaan seharusnya terus berputar dan mengalami regenerasi yang sehat lewat saluran pemilu.
“Apalagi alasannya karena uang pemilu ini gede-gedean, jadi enggak bisa balik modal. Kalau mindset-nya seperti itu ya mending enggak usah nyalon,” kata Arif kepada Tirto, Jumat (1/11/2024).
Seharusnya seorang pejabat publik yang dipilih untuk mewakili rakyat, tidak memikirkan soal balik modal. Di sisi lain, Arif menyebut ini sebagai dampak dari sistem pemilu saat ini yang cenderung mewajarkan pesta demokrasi yang berbiaya mahal.
Menurut Arif, revisi UU Pemilu menjadi kesempatan untuk memperbaiki sistem pemilu saat ini yang terus memakan biaya besar. Alih-alih mengusulkan Pileg 10 tahun sekali, lebih baik DPR memasukan aturan untuk membatasi dana kampanye dalam pemilu.
“Harusnya DPR mulai memikirkan kalau memang ingin merevisi Undang-Undang Pemilu ya. Tentu yang harus dipikirkan adalah bagaimana supaya cost politik ini enggak mahal,” ujarnya.
Arif menegaskan bahwa jabatan publik seharusnya untuk kemaslahatan publik, bukan untuk kepentingan pribadi. Akan lebih baik DPR dan pemerintah menata ulang sistem pemilu agar tidak mewajarkan penggunaan politik uang dan modal kampanye yang selangit.
Selain itu, Arif menilai agenda revisi UU Pemilu juga perlu mengevaluasi ulang tugas pokok dan fungsi Bawaslu. Selama ini, taji Bawaslu masih tumpul dan hanya berkutat ihwal urusan pelanggaran administratif. Arif memandang Bawaslu bisa diberikan kewenangan lebih untuk memproses pelanggaran pidana pemilu.
“Paling penting adalah ketika merevisi Undang-Undang Pemilu ini adalah diperhatikan untuk pembatasan uang kampanyenya. Sama estimasi kampanye tentu yang harus dikurangi lagi ya supaya cost politik ditekan,” ujar Arif.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai usul Pileg 10 tahun sekali sekali tidak memiliki landasan rasional dan sarat muatan transaksional. Apalagi alasan yang dikemukakan terkait mahalnya uang kampanye yang dikeluarkan caleg.
Dedi menilai, mahalnya biaya yang dikeluarkan pribadi caleg bukanlah standar biaya yang berlaku untuk seluruh kandidat. Pasalnya, ada kandidat yang tidak banyak menghabiskan biaya karena mengandalkan simpati dan mampu meyakinkan pemilih.
“Jadi itu bukan biaya pileg tetapi biaya pribadi kandidat, sehingga tidak menjadi hitungan soal biaya pemilu,” kata Dedi kepada Tirto, Jumat.
Usulan Pileg 10 tahun sekali seolah mencerminkan DPR ingin mencari keuntungan finansial, sebab masa jabatan lima tahun dianggap tidak mampu mengembalikan modal kampanye. Dedi menganggap usulan ini sebagai watak anggota DPR yang tidak pantas untuk dipilih kembali.
Revisi UU Pemilu memang dinilai penting digulirkan terutama mengatur ihawal kekerabatan politik. Misalnya, sebut Dedi, dibuat regulasi satu keluarga hanya dapat mendaftarkan satu kandidat caleg di tiap tingkatan.
“Artinya tidak ada lagi sanak saudara sama-sama ikut pemilihan DPR RI, atau DPRD secara bersama,” ujarnya.
Usulan Harus Rasional
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang usulan Pileg 10 tahun sekali sebetulnya sah-sah saja sebagai hak menyatakan pendapat anggota DPR. Namun, usulan itu semestinya didukung argumentasi yang masuk akal bagi masyarakat luas.
“Bukan hanya masuk di akal si pengusul saja, tetapi juga masuk di akal rakyat yang menjadi pemilik kekuasaan yang diwakilkan kepada anggota DPR tersebut,” kata Lucius kepada Tirto, Jumat.
Menurut Lucius, Pileg 10 tahun sekali jika memang didukung argumentasi logis dan rasional dari sisi kepemiluan dan demokrasi, tentu tidak menjadi soal. Tetapi ketika Pileg dalam 10 tahun sekali didasari kepentingan mengembalikan dana kampanye anggota DPR terpilih, hal itu dinilai sangat tidak masuk akal.
Lucius heran mengapa urusan pemilu menjadi urusan pribadi anggota DPR. Pileg menjadi instrumen demokrasi dalam memilih wakil rakyat di parlemen. Maka substansi pileg adalah media memilih wakil rakyat yang dipercaya konstituen untuk dimandatkan membawa aspirasi.
Kepercayaan dalam kontestasi pileg tidak selamanya soal uang. Bahkan kepercayaan yang dibangun atas dasar uang atau menggunakan iming-iming materiel jelas bukan kepercayaan yang kuat dan sejati.
“Itu kepercayaan atas dasar semangat pragmatisme, yang menghasilkan wakil rakyat oportunis sebagaimana diekpresikan melalui usulan agar pemilu diadakan sekali dalam 10 tahun,” ucap Lucius.
Maka, alasan agar bisa balik modal dianggap dalih yang konyol sebagai dasar usulan pileg dilakukan 10 tahun sekali. Lucius menilai hal ini menelanjangi praktik para caleg yang jadi anggota DPR terpilih, ternyata didukung modal besar dan bukan benar-benar dipercaya konstituen.
Dengan parlemen terpilih karena peran modal besar, rakyat akan jadi memahami mengapa semakin buruk kinerja dan citra anggota dewan. Rakyat juga akan paham mengapa korupsi sulit ditekan dan dihilangkan dari parlemen.
“Karena orang-orangnya ternyata sibuk mengembalikan modal kampanye saja,” ujar Lucius.
Sementara itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menyatakan usulan Pileg setiap 10 tahun sekal akan membawa dampak signifikan,terhadap kondisi demokrasi maupun tata kelola pemerintahan. Secara umum, kata Nisa, pemilu setiap lima tahun berfungsi sebagai mekanisme check and balances terhadap kinerja anggota DPR.
Jika menerapkan frekuensi 10 tahun sekali, risiko ketidakpuasan publik akan menjadi tinggi. Penerapan ini juga berpotensi menurunkan akuntabilitas parlemen. Alasannya, masa jabat yang panjang memberikan peluang bagi anggota legislatif untuk bekerja tanpa pengawasan ketat dari masyarakat.
Selain itu, wacana ini juga terlihat lebih memprioritaskan kepentingan pragmatis para politikus daripada tujuan memperkuat demokrasi,” ujar Annisa kepada Tirto, Jumat.
Menurut Nisa, secara historis dan normatif, sistem pileg lima tahun sekali dianggap sebagai rentang yang cukup baik menjaga keseimbangan stabilitas politik dan akuntabilitas. Rentang ini turut memastikan bahwa masyarakat memiliki kesempatan secara berkala untuk memilih kembali wakil mereka.
Memang kata Nisa dengan mengusulkan rentang pemilu yang lebih lama, isu balik modal anggota DPR secara tidak langsung jadi terbongkar. Hal ini seakan menunjukkan sebagian anggota DPR lebih memikirkan soal modal atau kepentingan pribadi dalam kontestasi politik daripada pengabdian terhadap rakyat.
Seorang wakil rakyat seharusnya fokus pada aspirasi dan urusan publik, bukan urusan perut pribadi. Hal ini akan dapat memperburuk citra lembaga legislatif yang selama ini telah dirundung isu korupsi dan tidak transparan.
“Usulan ini pada akhirnya justru bisa merusak legitimasi DPR di mata masyarakat dan membuat mereka semakin tidak percaya pada sistem yang ada,” tegas Nisa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi