Menuju konten utama

Upaya Hukum Tak Akan Efektif Memberantas Hoaks

Yang patut diutamakan dalam upaya pemberantasan hoaks adalah pendekatan teknologi.

Upaya Hukum Tak Akan Efektif Memberantas Hoaks
Gabungan berbagai elemen masyarakat sipil serta LSM yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RKUHP melakukan aksi di depan gedung DPR, senin (12/2/18). Aksi tersebut menuntut agar DPR menunda pengesahan dan melakukan kajian lebih mendalam terkait RUKHP. tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Sejumlah pasal di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai mengekang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Dalam pasal 285 (draf RKUHP 2 Februari 2018), misalnya, tertulis:

"Setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II."

Sementara itu, dalam pasal 305 huruf (d)—terkait contempt of court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan—tertulis:

“Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan."

Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia Wenseslaus Manggut berpendapat pemerintah pemerintah sebaiknya mencegah berita bohong atau hoaks dengan pendekatan teknologi, alih-alih menggunakan jalur hukum. Sebab, menurutnya, penyebaranhoakslebih banyak terjadi di media sosial.

"Hoaks itu kan bisa cepat kalau dia di-share, share itu fitur teknologi dalam perusahaan teknologi itu, kenapa dia gak memakai itu untuk menekan laju hoaks? Artinya sebetulnya tersedia mekanisme teknologi untuk mengatasi apa yang dicemaskan oleh RKUHP ini," kata Wenseslaus.

Wenseslaus mengatakan pemerintah perlu bekerjasama dengan perusahaan media dan teknologi guna mengkaji lagi pemberantasan hoaks. Ia mencontohkan algoritma mesin pencari mestinya dirancang untuk mengedepankan munculnya berita-berita terklarifikasi, bukan berita yang paling banyak dibagikan, sehingga sebaran berita hoaks bisa diminimalkan.

"Mesin pencari misalnya, apakah algoritma mereka bisa mencapai itu [memunculkan berita terklarifikasi di halaman utama mesin pencari]? mestinya bisa. Algoritmanya jangan terbanyak [dibagikan] paling di atas dong, kalau gitu hoaksnya akan selalu di atas," kata Wenseslaus.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Revolusi Riza menyampaikan penerapan pasal 285 dan pasal 305 RKUHP amat mengancam pekerjaan jurnalis.

Revo mencontohkan seorang bakal calon gubernur Jawa Timur yang memberikan pernyataan dirinya telah dimintai uang mahar oleh sebuah partai politik. Media pun berbondong-bondong menyiarkan berita tersebut. Namun, beberapa hari kemudian, sang bakal calon gubernur Jawa Timur tersebut mencabut pernyataannya, dan mengatakan tidak pernah menyatakan hal seperti itu.

"Dalam hal ini, jurnalis bisa dianggap menyebarkan berita bohong, karena politisi tadi membantah bahwa dia pernah memberikan pernyataan dan sebagainya setelah sekian hari setelah pemberitaan itu," kata Revo.

Menurut Revo, pihaknya sepakat hoaks harus diberantas. Ia menjelaskan, jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya pun sudah diatur sedemikian rupa supaya tidak membuat berita tidak benar. Namun, ia mempertanyakan definisi berita hoaks itu seperti apa, dan siapa yang berhak menilai itu.

"Ada verifikasi bertingkat, ada keberimbangan, ada obyektivitas yang harus kita anut bersama-sama tapi kan kalau dalam RKUHP ini berita bohong seperti apa yang dimaksud? Dan mekanismenya? apakah lewat polisi?," tanya Revo.

Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers pun sudah mengatur tentang sengketa pemberitaan. Di situ disebut bahwa sengketa pemberitaan diselesaikan melalui Dewan Pers. Langkah penyelesaian yang tersedia di antaranya adalah permintaan maaf, hak jawab, dan hak koreksi.

Sepanjang 2017, ada 600 aduan yang masuk ke Dewan Pers. Revo menilai, di satu sisi hal ini patut disayangkan karena artinya ada masalah dalam mekanisme pencarian berita yang dilakukan oleh media nasional. Namun, di sisi lain, ini adalah tanda mekanisme penanganan sengketa berita sudah berjalan baik.

"Kita apresiasi karena mekanismenya sudah ke situ [Dewan Pers, bukan lembaga hukum]. Artinya, publik sudah semakin aware kalau ada sengketa jurnalistik masuknya ke Dewan Pers. Mekanisme itu sudah berjalan bertahun-tahun dengan baik," kata Revo.

Peneliti dari Masyarakat Peduli Peradilan Indonesia, Ditta Wisnu, mempertanyakan apakah draf rancangan KUHP yang sedang digodok memuat klausul yang mengesampingkan UU Pers atau tidak.

"Ketika hal itu [pengesampingan UU Pers] tidak diatur di dalam KUHP nanti, maka UU Pers-nya bisa jalan," kata Ditta.

Ditta khawatir ketika RKUHP ini disahkan, penegak hukum akan cenderung menggunakan KUHP dibanding UU Pers yang bersifat lex specialis tadi. "Mengingat aparat penegakan hukum senang memegang buku dewa [KUHP] itu ketimbang memegang undang-undang lex specialis," kata Ditta.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Jay Akbar & Maulida Sri Handayani