Menuju konten utama

Ukuran dan Bentuk Baru Toblerone yang Bikin Heboh

Pengurangan berat dan perubahan bentuk Toblerone memicu protes penggemarnya. Namun, perusahaan bersikeras mengubah ukuran dan bentuk karena biaya produksi yang semakin tinggi.

Ukuran dan Bentuk Baru Toblerone yang Bikin Heboh
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Size doesn't matter. Ukuran itu bukan perkara penting. Untuk perkara seksual, falsafah itu mungkin saja benar dan layak dibela. Terutama oleh para pria yang ukuran Mr.P-nya tak sebesar ego mereka.

Tapi untuk ukuran cokelat, tunggu dulu. Tak ada yang suka ukuran cokelat favoritnya menciut. Kalau tak percaya, tanyakan saja pada para penggemar Toblerone yang kecewa dan ngomel saat Mondelez International, perusahaan bermarkas di Amerika Serikat yang membuat Toblerone, memutuskan untuk mengecilkan ukuran produk favorit ini.

Salah satu ciri khas Toblerone adalah bentuknya berupa jejeran segitiga, alih-alih persegi panjang seperti bentuk normal. Bentuk itu dianggap terinspirasi oleh Gunung Matterhorn yang terletak di pegunungan Alpen, Swiss. Merek ini memang lahir di Bern, Swiss, pada 1908. Theodor Tobler, penciptanya, menggunakan nama Toblerone yang merupakan pormanteau (gabungan dua kata) dari Tobler dan torrone, kata dalam Bahasa Italia yang berarti nougat (manisan bertekstur kenyal yang biasanya terbuat dari madu, gula, dan putih telur yang dicampur dengan almond atau berbagai jenis kacang lain).

Ada berbagai ukuran Toblerone. Dari yang paling kecil berukuran 10 centimeter, hingga yang panjangnya sekitar 1 meter. Tapi yang paling umum adalah kemasan 400 gram dan 170 gram. Sayang, ukuran populer itu akan segera berubah.

Pertengahan Oktober lalu, perusahaan ini merilis pengumuman resmi perubahan ukuran Toblerone. Ukuran 400 gram akan menjadi 360 gram. Sedangkan ukuran 170 gram akan mengkerut jadi 150 gram.

"Seperti banyak perusahaan lain, kami menghadapi kenaikan harga sejumlah bahan baku. Untuk memastikan Toblerone tetap bertahan, dengan harga terjangkau, dan tetap berbentuk segitiga, kami harus mengurangi berat untuk dua ukuran," tulis Mondelez dalam akun Facebook resmi Toblerone.

Mungkin kalau sekadar berat yang berkurang, hal itu akan dimaklumi. Mengurangi kuantitas supaya harga bersaing itu strategi yang umum dalam bisnis makanan dan minuman. Sayangnya, sudahlah berat dikurangi, Mondelez juga mengubah bentuk yang selama ini jadi karakter Toblerone. Jika dulu bentuk segitiganya rapat, kali ini ada bentuk datar yang memisahkan. Mirip seperti lembah di pegunungan. Tak pelak, perubahan ini memicu protes dari penggemar Toblerone.

"Kenapa tidak menaikkan harga saja?" tanya salah satu penggemar bernama Ann Hampshire.

"Halo Ann, kami harus membuat keputusan antara mengganti bentuk, atau menaikkan harga. Kami memilih untuk mengubah bentuk supaya produk kami masih terjangkau."

Ada pula yang memprotes desain. "Memang wajar mengurangi berat cokelat, tapi kenapa harus ada jarak besar antar segitiga? Bentuk baru ini terlihat bodoh, padahal kalian bisa saja membuat ukurannya lebih pendek dan tak perlu mengubah desain aslinya," kata Lee Yarker.

Tapi protes ini baru terbatas di seputaran Britania Raya. Sebab perubahan bentuk ini memang hanya terjadi di sana. Alasannya sudah tampak sejak Brexit. Poundsterling melemah, menyebabkan banyak perusahaan terpaksa menaikkan harga jual produk.

Pada awal Oktober, Unilever menaikkan harga jual produknya untuk pasar Britania Raya. Beberapa produk yang harganya naik tajam antara lain selai merek Marmite, teh merek PG Tips, mie merek Pot Noodles, hingga es krim Ben & Jerry's. Kenaikan harga ini ditolak oleh Tesco, perusahaan ritel raksasa yang bermarkas di Inggris. Akibatnya, produk-produk Unilever menghilang di situs resmi Tesco, walau masih ada beberapa gerai yang menjual.

Hingga sekarang belum ada keputusan apakah perubahaan berat dan bentuk ini juga akan diterapkan untuk semua daerah. Hingga tulisan ini dibuat, bentuk dan berat Toblerone di minimarket Jakarta masih tetap tak berubah.

Persaingan Sengit di Pasar Cokelat

Terlepas dari kenaikan harga bahan baku, Mondelez memang sedang memasuki masa yang berat. Penjualan mereka menurun lumayan drastis yang tentu berakibat pada kas perusahaan. Pada 2014, penjualan cokelat perusahaan yang dulu bernama Kraft ini berkisar di angka 5,7 miliar dolar. Namun tahun lalu, penjualannya menurun menjadi 4,8 miliar dolar. Imbasnya adalah pendapatan bersih perusahaan. Pada 2014, pendapatan bersih Mondelez adalah 34,2 miliar dolar. Kemudian menurun jadi 29,6 miliar dolar pada 2015. Hingga kuarter ketiga 2016, pendapatan mereka baru berkutat di angka 6,4 miliar dolar.

Penjelasannya sebenarnya bisa diterima: pasar cokelat skala global memang sedang lesu. Menurut perusahaan riset Mintel, penjualan cokelat menurun 1,8 persen pada 2014 dan 0,3 persen pada 2014. Sedangkan Euromonitor mencatat penurunan penjualan cokelat paling besar terjadi di kawasan Eropa Barat, turun sekitar 8,2 miliar dolar.

Tapi Mondelez masih bisa bernafas lebih lega. Pada 2015, ia masih termasuk pemimpin pasar bersama dengan Mars Inc yang juga berasal dari Amerika Serikat. Menurut data dari Candy Industry, Mars membukukan penjualan 18,4 miliar dolar dari semua produknya, mulai dari permen hingga cokelat. Sedangkan Mondelez meraup angka penjualan sekitar 16,6 miliar dolar. Di bawahnya ada Nestle yang mencetak angka penjualan di angka 11 miliar dolar.

Infografik Toblerone Mengecil

Yang menarik adalah dua pendapat berbeda dari Euromonitor dan Bloomberg tentang prospek penjualan cokelat. Euromonitor menganggap cokelat adalah kudapan yang dianggap mewah di beberapa kawasan, seperti India, Timur Tengah, dan Asia. Walau mereka tetap menjabarkan potensi pembeli yang berasal dari negara-negara yang memiliki angka pertumbuhan kelas menengah yang tinggi.

Sedangkan Bloomberg pada 2014 menulis bahwa pasar cokelat di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika akan tumbuh 5 persen per tahun hingga 2018. Jumlah ini lebih dari dua kali pertumbuhan angka global.

Pasar Indonesia memiliki potensi yang bsar. Terutama berkat pertumbuhan kelas menengah yang pesat. Tapi khusus untuk Toblerone, citranya masih dianggap sebagai cokelat mahal dan tak semua orang sanggup atau mau membeli.

Menurut Euromonitor, pangsa pasar cokelat di Indonesia masih didominasi oleh produk dari Ceres. Perusahaan yang didirikan pada akhir 1940-an ini menguasai sekitar 52 persen pasar cokelat di Indonesia. Produk yang paling laris tentu Silver Queen. Produk unggulan ini sudah hadir di pasar Indonesia sejak 1950-an dan nyaris tak tergoyahkan hingga saat ini. Produk Ceres yang lain adalah Silver Queen Chunky dan Delfi.

Pada 1984, Jhon Chuang, anak sulung pemilik Ceres, mendirikan Petra Foods untuk pasar ekspor. Sekarang Petra Foods sudah ada di 11 negara, termasuk di prancis, Belanda, Meksiko, juga Amerika Serikat.

Mondelez --yang mengandalkan Toblerone dan Cadbury untuk pasar Indonesia—memang masih jadi raja untuk kawasan Eropa dan Amerika. Tapi di Asia, mereka masih akan kesusahan melawan dominasi aneka macam produk Ceres. Apalagi Ceres didukung oleh Petra Food yang merupakan pemasok kakao terbesar ketiga di dunia setelah Archier Daniels Midland dan Cargill. Toblerone dan Cadbury juga masih harus bertarung dengan pesaing lain yang sama kuat, seperti Kit Kat dari Nestle.

Ini tentu pertarungan yang berat. Konsumen Indonesia termasuk pembeli yang sensitif dengan harga. Jika ada pilihan yang lebih murah dengan kualitas yang sama, maka itu yang akan dipilih. Apalagi jika Mondelez akhirnya menerapkan bentuk baru cokelatnya hingga ke kawasan Asia, pasti konsumen akan keberatan dengan harga mahal dan berat yang berkurang.

Jadi kata siapa bentuk dan ukuran itu tak penting?

Baca juga artikel terkait TOBLERONE atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Marketing
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti