tirto.id - Wasit yang paling dibenci fans Inggris adalah Ali Bennaceur. Insiden "gol tangan tuhan" yang dicetak Maradona saat Argentina bersua Inggris pada perempatfinal Piala Dunia 1986 dipandang sebagai momen paling ikonik sepanjang sejarah sepakbola.
Gol ini jadi salah satu kontroversi yang menuai perdebatan panjang dan jadi perbincangan dari masa ke masa. Gol bermula ketika Maradona tiba-tiba saja menyambar bola liar yang diarahkan Jorge Valdano ke kotak pinalti Inggris. Maradona yang muncul tiba-tiba dari belakang melompat menyongsong bola hendak menganggu kiper Inggris Peter Shilton yang mau meninju bola.
Saat sama-sama meloncat itulah Maradona dengan cerdik mentip bola dengan tangannya. Shilton tak menyangka Maradona akan melakukan itu. Ia hanya terpelongo saat bola masuk ke gawangnya yang kosong. Shilton yakin gol tidak sah karena bola terlebih dahulu mengenai tangan Maradona.
Seorang pria bertinggi badan 165 cm memenangkan duel udara melawan kiper dengan postur setinggi 185 cm (plus diizinkan menggunakan tangan). Mestinya keganjilan itu menyelinap di kepala Ali.
Gambar-gambar TV menunjukkan Ali berlari perlahan mundur ke tengah lapangan dan melirik hakim garis Goran Dotchev yang tak bereaksi apapun. Terasa bahwa tatapan mereka penuh dengan keraguan, kebingungan dan sikap saling lempar. Dengan waktu yang amat singkat, Ali memutuskan gol ini sah.
Mereka belum menyadari bahwa ini handball. Namun yang pasti Ali dan Dotchev sadar bahwa ada sesuatu yang salah. Setidaknya itulah yang menyebabkan pemain Inggris protes memaki mereka.
Setelah insiden itu, ia tak pernah lagi dipanggil memimpin laga Piala Dunia. Kariernya sebagai wasit hanya berkutat di kancah kompetisi domestik Tunisia.
Usai pertandingan, saat ditanyai wartawan, Maradona hanya menyeringai. "Gol ini dicetak dengan sedikit kepala dan sedikit tangan Tuhan,” katanya.
Bagi Maradona dan pendukung Argentina, gol ini mungkin disebut bagian dari intervensi ilahiah, namun bagi fans inggris ini intervensi dari tangan iblis yang sedang bekerja. Dan bantuan terhadap iblis itu tentu saja diarahkan kepada sang wasit.
Hampir lebih dari 15 tahun, Ali bersikap bungkam. Kali pertama ia berbincang soal insiden ini terjadi 2001, saat perayaan 15 tahun gol tangan tuhan. Kepada koran Argentina, Ole, ia mereka ulang kebingungannya kala itu.
“Setelah Maradona mencetak gol, saya ragu sejenak, tetapi kemudian saya melihat Dotchev berlari ke tengah lapangan," tuturnya. “Saya sedang menunggu Dotchev untuk memberi saya petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi tetapi dia tidak memberi isyarat untuk handsball. Dan instruksi yang diberikan FIFA kepada kami sebelum pertandingan itu jelas - jika seorang rekan berada di posisi yang lebih baik daripada saya, saya harus menghormati pandangannya,” kata Ali membela diri.
Dotchev enggan dijadikan kambing hitam atas kejadian ini. “Meskipun saya merasa ada sesuatu yang janggal, pada waktu itu FIFA tidak mengizinkan asisten untuk mendiskusikan keputusan dengan wasit," kata Dotchev kepada media Bulgaria, Union.
Ia pun menyerang Ali yang bukan wasit dari Eropa. "Pada laga sepenting ini, jika yang ditugasi oleh FIFA adalah wasit asal Eropa, gol pertama Maradona ini pasti akan dianulir," kata Dotchev lagi.
Pada 2017, beberapa bulan jelang kematiannya, Dotchev kembali menyudutkan Ali. Ia menyebut kompetensi Ali tidak siap untuk memimpin pertandingan penting sekelas perempatfinal Piala Dunia.
“Dan bagaimana dia bisa melakukan itu? Toh, pengalamannya hanya pernah memimpin beberapa pertandingan antar unta di padang pasir,” ucapnya.
Kebencian Dotchev pada Ali sudah tak terperi. Momen di Piala Dunia 1986 telah menghancurkan karier emasnya sebagai wasit. Ia dibenci publik Bulgaria sendiri. Mereka menyebutnya sebagai aib bagi sepakbola.
Ketimbang aktif di sepakbola, ia lebih memilih mengasingkan diri dan memulai kehidupan baru di sebuah desa kecil. “Jangan pedulikan reaksi media asing, penghinaan terbesar yang saya terima saat itu berasal dari orang Bulgaria. Bahkan ada yang menyebut saya sebagai pengkhianat nasional,” kata Dotchev dengan getir.
Dotchev adalah wasit elite di Bulgaria pada 1970-an dan 1980-an. Sebelum Piala Dunia 1986, ia juga tampil di Piala Dunia 1982 dan sering jadi pengadil di kompetisi Piala Champions. Selain pada Ali, Dotchev juga menimpakan kekesalannya pada Maradona yang sudah menghancurkan karier dan hidupnya.
"Diego Maradona menghancurkan hidupku. Dia adalah pemain yang brilian, tetapi dia seorang pria kecil dengan postur yang rendah dan rasa kemanusiaan yang juga sama rendahnya."
Usai Dotchev meninggal, sang istri, Emily, mengaku suaminya hidup dalam bayang-bayang yang runyam. "Setelah Piala Dunia, hidup kami hancur. Bogdan menarik diri dan teman-temannya tidak pernah menyapaku lagi. Itu bukan Tangan Tuhan untuk kami. Saya tidak akan pernah memaafkan wasit itu (Ali) dan Diego Maradona," tegasnya.
Berbeda dengan Dotchev, Ali masih mengaku tak bersalah. Sebagai wasit ia mengaku memiliki kelemahan. Namun begitu ia mengaku kepemimpinannya itu cukup baik, sebab saat evaluasi dilakukan usai turnamen berakhir, FIFA memberinya nilai 9,4, membuatnya didapuk jadi wasit terbaik ketiga selama Piala Dunia 1986.
Kepada majalah Prancis, So Foot, Ali mengaku bangga atas perannya dalam gol kontroversial itu.
"Saya mengambil bagian pada gol ini," katanya. “Maradona selalu menyulitkan wasit. Anda harus waspada. Dia mampu melakukan apa saja: menipu, menggiring bola, memprovokasi lawan. Ketika saya mengikutinya, saya tidak memakai tiga mata. Tapi memiliki empat mata. Saya selalu membayanginya."
Tidak seperti asisstennya di Bulgaria yang hidup menderita, Ali terus bekerja di sepakbola. Meski karier internasionalnya sudah tamat, ia masih aktif memimpin pertandingan liga lokal. Pada 2010 ia bahkan menjadi bagian dari komite teknis khusus yang mereformasi sepakbola Tunisia.
Hubungan Ali dan Maradona amatlah harmonis. Kepada media, Maradona bahkan menyebut Ali dengan sebutan "My Amigo" atau "sahabat karibku".
Setelah hampir 29 tahun, Ali dan Maradona akhirnya kembali bersua. Coca Cola mengajak Maradona datang ke Tunisia berjumpa dengan Ali. Di depan kamera, mereka bertukar hadiah. Maradona memeluk dan mencium wasit yang membuat namanya akan selalu dikenang itu. Melalui Facebook-nya, Maradona memuji Ali.
"Saya melakukan reuni yang penuh emosi dengan Ali Bennaceur, saya memberikan dia sebuah kostum tim nasional Argentina, dan dia memberikanku gambar pertandingan tersebut yang ada di rumahnya," kata Maradona.
Malam nanti Inggris akan berjumpa Tunisia. Sikap Ali yang tak merasa bersalah ditambah hubungan mesranya dengan Maradona yang sudah kadung dicap sebagai musuh bersama oleh fans Inggris, akan mempertebal kekesalan pada Ali dan Tunisia. Dan malam nanti adalah momen tepat untuk melampiaskan dendam itu.
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan