Menuju konten utama

Trump Bayar Upeti ke Cina, Ngemplang Pajak ke Negerinya Sendiri

Mayoritas warga Cina tidak membayar pajak. Donald Trump membayar pajak kepada Cina.

Trump Bayar Upeti ke Cina, Ngemplang Pajak ke Negerinya Sendiri
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bekerja di Kamar Kepresidenan sambil menerima perawatan setelah di tes positif penyakit virus korona (COVID-19) di Walter Reed National Military Medical Center di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, Sabtu (3/10/2020). ANTARA FOTO/Joyce N. Boghosia/The White House/Handout via REUTERS/aww/cfo

tirto.id - "Tentu saya bukan orang goblok," ucap Liu Yongli, pengemudi mobil sewaan asal Cina tatkala dimintai keterangan tentang apakah ia membayar pajak penghasilan oleh The Economist, Desember 2018 silam.

Bukan, ucapan Liu tersebut tak merujuk fakta bahwa ia membayar pajak, sesuai ketentuan penghasilannya yang berada di atas ambang mininum kena pajak. Yang dimaksud Liu adalah ia tidak membayar pajak. Baginya, pemerintah tidak akan membelanjakan uang rakyat dengan bijak. Maka, sebagai "bukan orang goblok", Liu enggan membayar pajak.

Liu tak sendiri. Hingga tahun 2018, Kementerian Keuangan Cina memperkirakan terdapat 187 juta warga Cina dengan penghasilan di atas ambang wajib pajak. Ambang batas minimum wajib pajak di negeri Tirai Bambu itu ialah 5.000 yuan--atau sekitar Rp11 juta--per bulan. Sayangnya, dari total warga kena pajak itu, hanya 28 juta orang yang membayar pajak. Singkat cerita, mayoritas warga Cina tidak membayar pajak penghasilannya kepada pemerintah.

Yang unik, meskipun mayoritas warga Cina tidak membayar pajak, Donald Trump yang jelas-jelas bukan warga Cina menyetor pajak ke Beijing atas nama perusahaan miliknya. Dalam debat terakhir calon presiden AS 2020, Trump mengatakan: "Saya seorang pebisnis dan saya berbisnis (di sana). Saya memiliki rekening (dan membayar pajak bukan hanya di Cina, tetapi) di banyak tempat".

Donald Trump: Penguasa Washington yang Membayar Upeti pada Beijing

Dalam perjalanannya untuk tetap tinggal di Gedung Putih, Donald Trump menuduh Joseph R. Biden Jr sebagai pribadi yang kotor. Biden, klaim Trump tanpa menyuguhkan bukti, mustahil membuat AS jadi negara yang jauh lebih baik, wabilkhusus terkait hubungan luar negeri, khususnya dengan Cina.

"Bagaimana mungkin Biden dapat membuat kesepakatan dengan Cina padahal ia mengambil uang dari mereka untuk dirinya sendiri? Putranya menggondol uang senilai 1,5 miliar dolar AS (dari Cina)." Tak ketinggalan, dalam wawancaranya dengan jurnalis CBS Lesley Stahl, yang ironisnya dipotong-potong oleh tim kemenangannya untuk menghilangkan konteks, Trump berujar "tatkala Joe Biden berada di tengah-tengah skandal, semua media malah bertanya kepadanya soal es krim."

Mike McIntire, dalam laporannya untuk The New York Times, membantah tuduhan presiden berambut oranye itu. Trump, tulis McIntire, "memiliki rekam jejak telah membuat banyak kesepakatan finansial di luar AS dan beberapa di antaranya melibatkan Cina". Hingga hari ini, selain memiliki rekening bank di AS, Trump juga memiliki tiga rekening di luar negeri, yakni di Inggris, Irlandia, dan Cina, dengan menggunakan nama perusahaan yang dikendalikannya, Trump International Hotels Management L.L.C.

Di Inggris dan Irlandia, Trump International Hotels Management L.L.C. rutin melaporkan pemasukan hingga jutaan dolar. Sementara itu, dari Cina, perusahaan yang dimiliki Trump ini hanya melaporkan keuntungan beberapa ribu dolar. Sebagai entitas yang berbisnis di negeri orang, tentu perusahaan Trump wajib membayar pajak pada tuan rumah. Di Cina sendiri, sejak 2013 hingga 2015, Trump membayar pajak senilai 188.561 dolar AS atau sekitar Rp2,8 miliar kepada Beijing. Sayangnya, rekening asing yang dimiliki perusahaan milik Trump ini tidak muncul pada laporan keuangan publik Trump. Pasalnya, peraturan di AS hanya mewajibkan kandidat dan pejabat mencantumkan aset pribadi semata, bukan rekening perusahaan yang dimiliki.

Dalam pembelaannya, Alan Garten, kuasa hukum Trump Organization, mengklaim kepemilikan rekening bank Cina dilakukan untuk "membayar pajak lokal", yang semata-mata dilakukan karena urusan bisnis. Lantas, Garten menyatakan bahwa semenjak 2015, atau dua tahun sebelum Trump menjadi presiden, Trump International Hotels Management L.L.C. "sudah tidak melakukan bisnis apapun di Cina". Kantor perusahaan yang dimiliki Trump ini di Cina pun sejak itu sudah tidak aktif.

Pernyataan Garten aneh. Kembali merujuk laporan McIntire, bisnis Trump di Cina memang tidak secemerlang di AS, Inggris, atau Irlandia. Pada 2008, misalnya, proyek menara perkantoran Trump di Guangzhou tidak pernah menampakkan hasil. Namun, selepas bekerjasama dengan State Grid Corporation--perusaan properti yang dikendalikan pemerintah Cina--pada 2016, bisnis Trump di Cina justru menanjak. Pada 2017, kerjasama ini menghasilkan pendapatan sekitar 17,5 juta dolar AS. Atas kesuksesan ini, Trump sendiri menarik dana sebesar 15,1 juta dolar AS dari rekening modal perusahaan. Klaim perusahaan tidak beroperasi sejak 2015 terasa janggal.

Tak ketinggalan, tulis McIntire, "sejak Trump naik tahta, pemerintah Cina mengeluarkan banyak izin (untuk operasional bisnis yang dijalankan Trump di Cina) setelah Trump menjabat presiden. Bahkan, putri Trump, Ivanka, memperoleh hak atas cap dagang di Cina untuk bisnis pribadinya tak lama setelah ia menjadi bagian staf Gedung Putih". Artinya, sangat mungkin bahwa sebenarnya Trump--karena bisnisnya--masih membayar pajak ke Beijing hingga saat ini.

Namun, seperti yang dicontohkan dalam kasus Liu Yongli, penarikan pajak di Cina tidak seketat di AS, negeri yang dipimpin Trump.

Besar Penduduk, Minim Pajak

"Banyak pengamat Cina memperingatkan Beijing bahwa mereka menghadapi masalah besar, khususnya terkait membludaknya populasi, degradasi lingkungan, ketegangan etnis, dan hubungan luar negeri yang buruk," tulis William Gamble dalam studinya berjudul "The Middle Kingdom Runs Dry: Tax Evasion in China" (2000). "Namun," lanjut Gamble, "masalah yang paling mendesak yang dihadapi Cina adalah kenyataan bahwa Beijing hingga saat ini hampir tidak dapat memungut pajak dari rakyatnya dengan baik". Orang-orang seperti Liu Yongli, yang memiliki penghasilan melebihi ambang batas wajib pajak, memilih tidak membayar pajak tanpa konsekuensi hukum apapun, sesuatu yang sukar diperoleh warga AS atau Eropa.

Sejak 1948 hingga 1987, 70 hingga 80 persen warga Cina tidak pernah berurusan dengan pajak seumur hidupnya.

Dalam studi berjudul "Tax Collector or Tax Avoider? An Investigation of Intergovernmental Agency Conflicts" (2017), Tanya Tang menyebutkan Cina melakukan reformasi fundamental di bidang fiskal sejak 1994, salah satunya terkait perpajakan. Kala itu, agar pemerintah daerah memiliki sumber daya memadai untuk membangun wilayahnya sekaligus tetap membuat Beijing perkasa, Cina memperkenalkan sistem pembagian penarikan pajak penghasilan: oleh pemerintah lokal dan oleh pemerintah pusat. Masing-masing memperoleh indikator mana objek pajak mereka, dan masing-masing memperoleh 100 persen dari pajak yang didapat dari masyarakat.

Usaha Cina untuk memungut pajak dari rakyatnya tidak kunjung membuahkan hasil yang positif sepanjang dekade 1990an. Kembali merujuk Gamble, PDB Cina terus-terusan menurun pada dekade tersebut. Tercatat, ada penurunan PDB hingga 12 persen dari 1978 ke 1998. Di sisi lain, rata-rata pendapatan warga Cina meningkat 49 hingga 61 persen pada rentang waktu bersamaan. Akhirnya, pada 2002, Cina kembali mengubah kebijakan pajak. Karena Cina kemudian meluncurkan program-program mercusuar, seperti pembangunan infrastruktur dan bertahun-tahun kemudian lahir Belt and Road Initiative (Jalur Sutera Baru), pajak penghasilan yang ditarik daerah dipotong 50 persen untuk Beijing.

Infografik Trump

Infografik Trump

Secara umum, batas minimum penghasilan dari warga Cina yang terkena pajak adalah 5.000 yuan atau sekitar Rp11 juta per bulan.

Mengapa Cina kesukaran memungut pajak dari rakyatnya? Kembali merujuk studi yang dilakukan Gamble, kesalahan utama mengapa banyak warga Cina yang tak patuh untuk membayar pajak terletak pada struktur pemerintahan Cina sendiri.

Sejak berdirinya pada 1949, kekuatan ekonomi, politik, dan hukum Republik Rakyat Cina terkonsentrasi di tangan pemerintah pusat. Awalnya, tutur Gamble, ini baik-baik saja. Masalahnya, perlahan, kekuasaan Beijing "berpindah" ke pejabat-pejabat lokal. Untuk menghidupkan ekonomi, Beijing rajin membangun perusahaan-perusahaan spesifik di berbagai daerah. Perlahan, bos-bos perusahaan yang didirikan Beijing itu jadi semacam "raja kecil". Tugas utama mereka memang untuk berbisnis demi kepentingan Beijing. Tapi, lambat-laun bos-bos ini menjadi tuan tanah, walikota, kepala bagian, dan bahkan kepala sekolah. Sialnya, karena merasa sebagai "raja", bos-bos ini bertindak atas kepentingan sendiri. Tatkala Beijing memungut pajak dari rakyatnya, "raja kecil" pun memungut potongan.

Lalu munculah orang-orang seperti Liu Yongli.

Hari ini, Beijing memberlakukan pajak penghasilan yang terpotong secara otomatis (otodebet) dari rekening warga yang bekerja di perusahaan-perusahaan Cina. Masalahnya, tutur Gamble, 60 persen kaum pekerja tidak tahu gaji mereka dipotong pajak. Tak ketinggalan, ada 27 juta wiraswasta di Cina yang tidak membayar pajak.

Pajak tentu sangat dibutuhkan untuk membangun negeri. Khusus di Cina, pajak tak hanya digunakan untuk membangun infrastruktur dan proyek-proyek mercusuar mereka, melainkan juga untuk membiayai berbagai BUMN yang beberapa di antaranya dikelola secara tidak profesional, tidak menguntungkan, dan malah membebani negara. Merujuk laporan Xinhua, Pemerintah Cina tak pernah putus asa berusaha menarik pajak dari rakyatnya. Pada 2019, Beijing memberlakukan kebijakan pemotongan pajak bagi individu serta korporasi.

Tak ketinggalan, sebagaimana dilaporkan Yujing Liu untuk South China Morning Post (Juli 2020), subjek pajak Cina hari ini bukan lagi warga Cina yang bekerja di Cina atau perusahaan asing yang beroperasi di sana, tetapi juga warga Cina yang bekerja di luar negeri. Dengan skema itu, Beijing menarik pajak dari warga Cina yang bekerja di Hong Kong, yang sebelumnya memiliki aturan main soal pajak yang berbeda. Di Hong Kong sendiri, ketika pendapatan telah menyentuh angka 960.000 yuan (indikator tertinggi), pajaknya hanya 15 persen. Sementara itu, dengan angka yang sama, Beijing menetapkan tarif sebesar 45 persen.

Cina memiliki cita-cita yang baik terkait jaminan sosial. Sejak 1993, Cina merilis program bernama "dibao" yang berarti "jaminan penghidupan minimal", semacam jaminan bagi warga Cina yang belum kerja atau kehilangan pekerjaan agar tetap bisa hidup layak melalui subsidi pemerintah. Sialnya, merujuk publikasi Asia Media Centre di Selandia Baru, program ini bocor. Pada 2007, 42 persen keluarga tak mendapat dibao. Padahal, mereka berhak menerimanya.

Kisah perpajakan Beijing berbanding terbalik dengan Paman Sam. Di AS, sekitar tiga per empat rumah tangga Amerika membayar pajak. Sepanjang 2019, pemerintah federal memperoleh pendapatan dari pajak sebesar 3,5 triliun dolar AS. Sialnya, seperti Cina, warga AS tidak memperoleh keuntungan sepadan dari pajak yang mereka bayarkan. Biaya pendidikan, kesehatan, dan berbagai kebutuhan dasar lainnya yang semakin mahal tak terjangkau banyak warga AS.

Baca juga artikel terkait DONALD TRUMP atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Politik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf