Menuju konten utama

Tren Investasi Lewat Gerakan Sosial

Investasi lewat gerakan sosial bukan cuma menginginkan perubahan sosial dan lingkungan ke arah lebih baik, tapi juga keuntungan finansial untuk perusahaan investor.

Tren Investasi Lewat Gerakan Sosial
Ilustrasi investasi bisnis. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Ken Dean Lawadinata hengkang dari Kaskus Oktober tahun lalu. Sahamnya di startup forum komunitas online terbesar di Indonesia itu dijual pada GDP Ventures. Ia juga sempat bilang akan berpindah haluan ke luar zona nyamannya berbisnis di sektor teknologi informatika (IT).

Ken lebih tertarik untuk berbisnis di luar dunia teknologi, seperti properti atau lainnya. Keputusan itu ia buat bukan karena bisnis teknologi tak punya prospek cerah atau sepi pemodal. Justru sebaliknya, para investor menurut Ken sedang ramai-ramainya menyesaki bisnis tersebut, sehingga sudah terlalu banyak persaingan. Ada banyak investor yang datang ke startup-startup untuk menyuntikkan modal, sehingga persaingan jadi lebih ketat.

“Itu saya lakukan justru bukan karena IT kehilangan peminat. Tapi karena sekarang area ini sedang dikejar banyak pemodal. It’s even more popular now than 10 years ago,” kata Ken. “Sebagai pebisnis, keputusan melirik sektor lain itu adalah insting saya," tambahnya.

Namun, rupanya Ken tak bisa lama-lama jauh dari dunia IT. Lepas dari Kaskus, kini Ken tertarik berinvestasi pada sebuah startup lainnya, bernama campaign.com. Startup itu bergerak sebagai social enterprise serupa Go-Jek, Uber, atau Airbnb. Jika bisnis Go-Jek dan Uber adalah sebagai perantara antara penyedia layanan jasa antar-jemput dan konsumennya, sementara Airbnb adalah perantara antara pemilik properti dengan pelanggannya, maka campaign.com akan bergerak sebagai perantara antara pembuat kampanye dan target kampanye.

Misalnya, seseorang ingin berkampanye tentang gerakan membaca buku sejak dini, maka yang harus dilakukannya adalah bergabung dengan aplikasi itu, lalu berkonsultasi tentang bagaimana kampanye tersebut bisa menggaet banyak pemirsa. Sistemnya kurang lebih serupa dengan yang dilakukan konsultan kampanye tradisional, hanya saja campaign.com juga menawarkan kemudahan teknologi dan akses ke media sosial yang lebih luas.

Konsep itu berhasil menarik minat Ken untuk kembali berinvestasi di dunia teknologi. Ia melihat persaingan di bisnis yang dilakukan campaign.com belum marak di Indonesia, bahkan di dunia. Meski enggan menyebut jumlah suntikan dana yang dikucurkannya, Ken bilang ia melihat bisnis ini punya peluang cerah di masa depan.

“Yang pasti enggak sebesar suntikan Alibaba ke Tokopedia-lah,” kata Ken sambil tertawa, di GoWork Coworking Space, Jakarta, 6 September kemarin.

Baca juga: Lazada dan Tokopedia dalam Cengkraman Alibaba

Investasi yang dilakukan Ken pada campaign.com disebut impact investment. Ia adalah istilah yang kini populer untuk jenis investasi dari perusahaan-perusahaan atau organisasi-organisasi untuk mendanai sebuah gerakan yang berdampak sosial dan lingkungan, tapi juga berharap keuntungan dari sana. Keuntungan ini memang tak bisa langsung dinikmati.

Ken sebagai investor menyuntikkan dananya untuk membantu biaya operasi campaign.com, sebuah startup yang memfasilitasi para penggerak perubahan sosial. Jenis investasi ini belakangan makin berkembang, dan menjadi daya tarik sendiri bagi para investor. Sebab, tak cuma bisa menghasilkan pundi-pundi yang kembali ke kantong di masa depan. Di saat bersamaan impact investment juga mengajak para perusahaan untuk peduli pada lingkungan dan perubahan sosial di sekitarnya.

Menurut Daniel Runde dari Center for Strategic & International Studies (CSIS), istilah impact investment pertama kali disebut dalam salah satu acara Rockfeller Foundation pada 2007 silam. Dulunya, impact investment, menurut Runde adalah ganti kulit dari sistem Socially Responsible Investing (SRI)—alias investasi tanggung jawab sosial—yang harus dikeluarkan perusahaan-perusahaan besar sebagai bentuk tanggung jawab mereka pada gejala sosial dan lingkungan, yang pasti berdampak pada perubahan sosial dan alam sekitar. Misalnya pabrik alkohol yang berdampak pada kesehatan rakyat, atau pabrik air minum yang berdampak pada keselamatan alam.

Di perusahaan-perusahaan pada umumnya, sistem SRI dimasukkan dalam sebuah kemasan yang kini lebih dikenal sebagai program Corporate Social Responsibility (CSR)—sebuah program yang biasanya menyasar organisasi atau kelompok tertentu yang fokus menyelamatkan alam atau melakukan perubahan sosial. Biaya yang diberikan CSR sebuah perusahaan jamak dikenal sebagai dana CSR. Namun, CSR memang melekat sebagai tindakan yang juga memanfaatkan kepentingan sebuah merek.

infografik investasi gerakan sosial

Menurut Runde, istilah impact investment punya ambisi lebih besar jauh dari itu atau sebatas CSR. Di dalamnya ada gairah untuk memberi dampak lewat investasi, tak cuma sekadar mengelak dari kerusakan yang mereka buat sebagaimana ketika CSR dan SRI populer di akhir 1990-an. Menurut Runde, ada pengaruh perubahan tabiat generasi yang jadi lebih peduli alam dan lingkungan sekitarnya dalam beberapa dua dekade terakhir, yang akhirnya membuat impact investment tumbuh.

“Tiga puluh persen milenial percaya bahwa prioritas utama bisnis adalah untuk membangun masyarakat,” tulis Runde.

Ia juga mengutip studi Morgan Stanley 2015 lalu, yang menyebut milenial berpotensi “dua kali lebih mungkin untuk berinvestasi di perusahaan atau organisasi yang menargetkan hasil sosial atau lingkungan tertentu, dan melakukan divestasi karena aktivitas buruk sebuah korporat.

Baca juga: Generasi Milenial Lebih Suka Mobil Ramah Lingkungan

Ken yang tergabung dalam generasi milenial juga punya pendapat serupa. “Bagi saya (sebagai investor), investasi tidak bisa cuma dilihat dari jumlah uang saja. Investment on education for example, dengan membantu pendidikan anak-anak yang kurang mampu, siapa tahu di masa depan dia bakal jadi inventor teknologi tertentu. Atau bisa bantu kita kembangkan teknologi baru,” kata Ken.

Nama lain dari generasi milenial yang juga tertarik pada impact investment adalah Mark Zuckerberg pendiri Facebook, dan Pierre Omidyar penemu e-Bay. Menurut Runde, impact investment juga punya peran kontrol penting bukan cuma oleh perusahaan investor, tapi juga bagi masyarakat.

Dengan adanya ketertarikan perusahaan untuk berinvestasi pada gerakan sosial, masyarakat yang punya gagasan untuk memperbaiki lingkungannya punya kesempatan mendapat modal, sesuatu yang sering kali sukar diwujudkan pemerintah. Jadi tak perlu menunggu pemerintah bertindak.

Baca juga: Yuk, Jadi Pendamping Membaca bagi Anak-anak

Menurut David Soukhasing, Direktur Angel Investment Network Indonesia (ANGIN), sebuah organisasi yang mengumpulkan filantropi untuk berdonasi, impact investment terus berkembang dan meroket peminatnya. Para investor tradisional mulai sadar siklus impact investment akan membantu perusahaan untuk lebih peduli pada sosial dan lingkungan, dan dapat benefit secara langsung di saat bersamaan.

Di Indonesia, ANGIN mencatat pada 2016 ada $20 juta sudah diinvestasikan lewat impact investment. Sementara, diprediksi angkanya akan naik sampai lebih dari $100 juta pada 2017. Menurut David, hal tersebut dipengaruhi beberapa hal, misalnya ada pergeseran dari investor tradisional menuju impact investment. Para investor juga sadar kalau iklan dari impact investment juga jadi pemasukan besar bagi mereka.

Namun, ada sejumlah tantangan yang dihadapi impact investment terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Misalnya: hambatan regulasi, terbatasnya pengetahuan perusahaan tentang isu-isu yang bisa mereka bantu, atau kesenjangan jumlah dana yang disumbangkan perusahaan-perusahaan.

“Tapi tak ada tantangan yang benar-benar memalanginya,” kata David kepada Tirto.

Misalnya regulasi, menurut David, “Kita bisa kerja sama dengan para regulator. Kayak OJK (Otorisasi Jasa Keuangan) atau Kementerian Keuangan, untuk menjelaskan keadaannya dan biarkan mereka memperbaikinya.”

ANGIN sendiri melihat beberapa kementerian Indonesia menyambut baik investasi ini. “Perkembangannya memang tak seperti yang kita harapkan, tapi tak ada yang memalanginya.”

Baca juga artikel terkait INVESTASI atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra