tirto.id - Lembaga pemasyarakatan (lapas) yang kelebihan kapasitas sudah lama menimbulkan masalah dan baru-baru ini mencapai klimaks. Lapas Kelas I Tangerang blok C2 terbakar, Rabu (8/9/2021), menewaskan setidaknya 49 narapidana hingga Kamis (17/9/2021) kemarin.
Tahanan yang menumpuk dalam satu sel otomatis membuat proses evakuasi menjadi sulit. Petugas jaga tak sempat mengeluarkan seluruh narapidana.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly, yang lembaganya bertanggung jawab terhadap pengelolaan lapas, mengatakan dalam konferensi pers di lokasi pada hari kejadian, “Lapas Tangerang overcapacity 400 persen, penghuni ada 2.072 orang.” Dalam Sistem Database Pemasyarakatan, tercatat per 17 September lapas ini mengurung 2.035 tahanan dan narapidana atau kelebihan 239 persen karena kapasitas normal hanya 600—lebih rendah dari klaim Yasonna tapi sama sekali tidak berarti lebih baik.
Kelebihan kapasitas bukan persoalan baru. Pada November 2017, lapas yang tadinya diisi 1.691 orang tiba-tiba naik hingga 2.200. Sejak itu penghuni lapas tak pernah lagi kurang dari 2.000, bahkan sempat mencapai 2.870 pada Maret 2019. Sebagai pembanding, pada tahun-tahun sebelumnya jumlahnya tak lebih dari 1.500—itu pun sudah melebihi kapasitas.
Ketika jumlah narapidana tiba-tiba bertambah masif pada 2017, kasus pidana di Banten sebenarnya termasuk kecil, yakni 3.692. Sebagai pembanding, Jawa Timur punya kasus 34.598 dan DKI Jakarta 34.767 kasus. Maka kemungkinan ketika itu lapas diisi oleh mereka yang berasal dari daerah lain.
Perbandingan petugas dan narapidana pun jauh dari ideal, yaitu 1 banding 25. Dengan jumlah tahanan sebanyak ketika kejadian, seharusnya lapas dijaga oleh 83 petugas, tapi faktanya hanya 13, menurut Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Apriyanti.
Bukan hanya Lapas Kelas I Tangerang yang kelebihan kapasitas. Dari 33 provinsi, hanya tiga yang lapasnya rata-rata tidak kelebihan kapasitas berdasarkan data SDP, yakni Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara.
Bukan berarti seluruh lapas di tiga provinsi itu layak. Di Yogyakarta, misalnya, dari 9 lapas dan rumah tahanan (rutan) yang ada, 4 masih tergolong kategori merah alias kelebihan kapasitas. Gorontalo masih ada 1 yang merah dari total 5, dan di Maluku Utara terdapat 3 yang kelebihan kapasitas dari total 10 lapas dan rutan.
Daerah lain tentu lebih jauh dari ideal. Banten, tempat Lapas Kelas I Tangerang berada, punya 11 lapas dan rutan lain yang 8 di antaranya masuk kategori merah.
Menteri Yasonna tahu masalah ini. “Permasalahan over kapasitas itu klasik,” katanya. Politikus dari PDIP ini mengatakan “masalah kita” sebagian besar tahanan adalah pelanggar pidana narkotika. “Maka penanganan narkotika mesti menjadi perhatian bersama,” katanya. Alih-alih dipenjara, menurutnya pelanggar kasus narkoba semestinya direhabilitasi.
Tak ada Jaminan Keselamatan
Kasus kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang bukan kali pertama. Pada selama 15 Juli 2014 pukul 12 malam lapas terbakar karena arus pendek listrik. Meski menderita kerugian hingga puluhan juta rupiah, tapi api hanya membakar ruang tamu dan ruang arsip. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Hubungan arus pendek sekali lagi diduga menjadi penyebab kebakaran di lokasi yang sama 7 tahun kemudian. Kali ini korbannya bukan hanya kertas-kertas lapuk, melainkan manusia yang punya keluarga, yang berharap si tahanan kembali dalam kondisi sehat setelah menjalani hukuman.
Apa yang juga mengejutkan dari kebakaran ini adalah fakta bahwa sudah 49 tahun instalasi listrik tak pernah dibenahi. “Sejak itu (1972) kita tidak memperbaiki instalasi listriknya. Ada penambahan daya tapi instalasi listriknya masih tetap,” ujar Yasonna.
Maka tak heran jika muncul anggapan bahwa pemerintah tidak belajar dari kasus-kasus masa lalu di lapas sendiri, juga di banyak tempat lain yang mengalami hal serupa seperti di Honduras pada malam hari Valentine 2012. Hari itu, sebanyak lebih dari 350 narapidana meninggal dunia. Narapidana berteriak minta tolong karena terperangkap di dalam sel, tapi sebagian berakhir sia-sia. Sebagian memang ada yang selamat, ada pula yang hampir berhasil melarikan diri tapi berakhir meninggal karena ditembaki penjaga.
Penyakitnya sama: jumlah penjaga tak sebanding dengan narapidana dan membuat pengawasan terhambat, termasuk malah membatasi mereka yang ingin melarikan diri dengan nyawa utuh.
Tidak ada hasil investigasi yang pasti mengapa kebakaran tersebut terjadi. Tapi investigasi oleh Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives (ATF) menemukan sumber api terbuka seperti rokok adalah biang keladinya.
Penjara yang paling aman di Indonesia justru adalah penjara yang paling ketat, yaitu Nusakambangan. Di lapas kelas I high risk narkotika, gembong narkoba ditempatkan dalam sistem satu sel satu orang. Sejauh ini, dari kapasitas 96, hanya 58 yang dipergunakan. Dengan jumlah sebanyak itu, jika terjadi kebakaran, kemungkinan penanganannya bakal lebih mudah.
Tapi tidak semua lapas di Nusakambangan juga aman. Ada pula yang kelebihan kapasitas seperti lapas kelas II A Besi, lapas kelas II A Kembang Kuning, dan lapas kelas II A Permisan.
Selain tak ada jaminan keselamatan, kelebihan kapasitas juga membawa banyak dampak buruk lain, yang itu diakui sendiri oleh Kemenkumham. Mereka mengakui bahwa kelebihan kapasitas juga berdampak “memicu rendahnya kondisi kesehatan narapidana yang buruk dan terkadang berujung pada kematian, suasana psikologis penghuni yang tidak sehat, sering terjadi konflik antar narapidana dengan narapidana maupun dengan petugas lapas, terjadi pelanggaran hak asasi manusia, tidak berjalannya program pembinaan di dalam lapas, dan menurunnya kualitas layanan pemasyarakatan di lapas/rutan.”
Konflik antarnarapidana ini berpeluang menjadi kasus serius. Tiga tahun lalu, narapidana di Lapas Kelas I Tangerang kedapatan mempunyai banyak senjata tajam. Jika ada konflik di dalam lapas, potensi hilangnya nyawa antar napi dan sipir tentu akan lebih besar.
Andil Menkumham dan Penegak Hukum
Berdasarkan data dari Kemenkumham, sampai akhir 2018, jumlah narapidana kasus narkotika yang menghuni lapas mencapai 115.289 jiwa. Jumlah itu sebanding dengan 95 persen total narapidana di seluruh lapas yang ada di Indonesia.
Kendati demikian, berada dalam penjara tidak membuat mereka jera. Pelaku tindak pidana narkotika bahkan tetap menjadi pengedar. Beberapa orang pernah ditangkap pada 2018, dua di antaranya berasal dari Lapas Kelas I Tangerang. Hal ini hanya dapat terjadi karena mereka kongkalikong dengan sipir yang dibayar beberapa juta.
Melihat fakta-fakta ini, solusi yang ditawarkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yaitu dekriminalisasi pengguna narkotika semakin mendesak (PDF). “Upaya yang dilakukan oleh pemerintah... untuk meningkatkan kapasitas hunian akan sia-sia jika jumlah orang yang akan dipenjara tumbuh tajam,” tulis mereka.
Penambahan bangunan juga tampak sia-sia karena, seperti dikatakan Ken Ken, salah satu warga binaan dalam surat yang dibukukan oleh Zheng Wei Jian dengan judul Surat-surat dari Balik Jeruji (2017), “bukan urusan polisi memusingkan kapasitas rutan yang meluber,” sementara di sisi lain mereka, bersama BNN, “berlomba-lomba menangkapi pemadat dan bandar narkotika, lalu dilimpahkan ke kejaksaan, kemudian kasus ditangani hakim, berakhir di lembaga pemasyarakatan.”
Menkumham Yasonna Laoly mengaku sudah mengajukan revisi UU Narkotika untuk dibahas ke DPR demi mengurangi jumlah pelaku tindak pidana narkotika yang dikirim ke penjara.
Namun hingga saat ini baik revisi regulasi maupun pembangunan tempat baru–yang sekali lagi tetap tak efektif jika orientasi penegakan hukum lebih condong ke pemenjaraan–nyatanya belum ada yang berjalan.
Koalisi masyarakat sipil, terdiri dari beberapa LSM seperti Imparsial, LBH Masyarakat, dan LBH Jakarta lantas mendesak Yasonna untuk mundur dari jabatannya. Mereka berpendapat seharusnya Yasonna bisa mengantisipasi kejadian, apalagi seperti perkataan kader PDIP itu sendiri, bahwa masalah ini sudah “klasik.”
Sampai hampir 7 tahun menjabat, solusi konkret dari Yasonna belum tampak ada yang terealisasi. Dan penegak hukum terus saja mengirim pelaku kejahatan narkotika ke balik jeruji.
Editor: Rio Apinino