tirto.id - Malam itu Arema kalah. Malam itu Arema mesti mengakui keunggulan rival bebuyutannya, Persebaya Surabaya. Namun, itu semua tak ada artinya dibandingkan apa yang terjadi selepas peluit panjang ditiup wasit Agus Fauzan.
Segelintir Aremania memutuskan untuk mengungkapkan kekesalan dengan merangsek ke lapangan. Mulanya satu, dua, lalu diikuti segerombolan, dan tak berapa lama kemudian Stadion Kanjuruhan berubah menjadi neraka.
Mereka yang merangsek ke lapangan dihajar aparat. Ada yang dipukul dengan baton. Ada yang ditendang dari belakang. Entah ada kejadian apa lagi yang tak sempat tertangkap kamera dari tribune. Prioritas aparat waktu itu jelas. Mereka ingin supaya para suporter Arema tidak sampai menyakiti pemain serta ofisial kedua klub yang baru selesai bertanding.
Akan tetapi, cara yang ditempuh benar-benar salah.
Tak cuma menghajar suporter yang masuk lapangan, aparat juga menembakkan gas air mata ke arah tribune yang masih penuh oleh penonton. Petaka besar bermula dari sini. Dari sebuah keputusan yang mestinya tidak diambil oleh para petugas keamanan. Dari kealpaan dalam mengikuti prosedur penanganan yang telah ditetapkan oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Asap gas air mata seketika menyesaki stadion. Penonton panik. Mereka berusaha menyelamatkan diri dari zat-zat mematikan yang terkandung dalam gas air mata tersebut. Apa daya, pintu stadion terkunci rapat. Alih-alih selamat, 125 orang justru harus berakhir di liang lahat.
Ada bocah 2 tahun di antaranya.
Banyak lagi bocah di bawah umur yang mesti kehilangan nyawa. Ada orangtua yang mesti menguburkan semua buah hatinya. Ada anak yang harus melanjutkan hidup tanpa kedua orang tuanya. Ada paman dan bibi yang kudu meratapi kemenakannya. Ada kawan yang menangisi kawannya. Tragedi sepak bola terburuk ketiga sepanjang masa pecah di Kanjuruhan.
Siapa yang patut dipersalahkan atas tragedi ini?
Gampangnya, semua pihak punya dosa. Dari aparat keamanan yang melakukan kekerasan dan menembakkan gas air mata ke tribune, panitia pelaksanaan (panpel) pertandingan yang menjual tiket lebih dari kapasitas stadion, PSSI yang alpa mengomunikasikan peraturan FIFA, operator kompetisi dan pemilik hak siar yang ngotot menyelenggarakan pertandingan pada malam hari, sampai oknum suporter yang melakukan invasi ke lapangan.
Boleh dikatakan, semua masalah (sepak bola) Indonesia tumpek blek di Kanjuruhan, Sabtu (1/10) malam itu. Aparat yang represif, panpel yang gegabah, federasi yang tak becus, operator kompetisi dan pemilik hak siar yang kemaruk, sampai suporter yang tak dewasa, semua ada di sana. Tragedi Kanjuruhan adalah titik nadir persepakbolaan Indonesia.
Maka, sepak bola Indonesia kini tak punya pilihan lain kecuali berbenah. Namun, tentu saja, sebelum itu evaluasi menyeluruh mesti dilakukan atas segala masalah yang wajah buruknya terlihat jelas di Kanjuruhan.
Mari kita bedah satu per satu.
Pengendalian Massa
Kapolda Jawa Timur Nico Afinta mendapat kecaman keras atas pernyataan yang dia lontarkan seusai kejadian. Menurut Nico, penembakan gas air mata ke arah kerumunan sudah sesuai prosedur. Yang jadi persoalan, prosedur ini adalah prosedur standar kepolisian.
Untuk membubarkan demonstrasi, menembakkan gas air mata bisa dilakukan karena tujuannya untuk memecah kerumunan. Namun, dalam situasi demonstrasi di jalanan, massa bisa melarikan diri dengan lebih leluasa. Di stadion, kondisinya tidak seperti itu.
Stadion, sebesar apa pun, adalah ruang sempit. Apalagi, dalam laga Arema kontra Persebaya lalu, panpel menjual tiket melebihi kapasitas stadion. Stadion Kanjuruhan di Kepanjen berkapasitas 38 ribu penonton tetapi panpel mencetak hingga 42 ribu tiket dan semuanya ludes.
Dari sini bisa dibayangkan betapa sulitnya mencari ruang pelarian dari gas air mata. Terlebih lagi, akses keluar stadion masih dikunci rapat lantaran di luar stadion aparat pun masih sibuk mengamankan rombongan Persebaya yang hendak pulang.
Inilah alasan di balik larangan FIFA menggunakan gas air mata untuk mengendalikan massa di stadion.
Pada 24 Mei 1964, 328 suporter di Estadio Nacional, Lima, Peru meninggal dunia juga karena gas air mata yang ditembakkan serampangan. Pada 9 Mei 2001, 126 suporter di Accra Sports Stadium, Ghana juga meninggal dunia karena sebab serupa. Sabtu lalu, hal serupa terjadi di Malang.
Pada 2018, Stadion Kanjuruhan sebenarnya sudah menelan satu korban jiwa akibat penembakan gas air mata. Maka, pada tahun berikutnya, jelang pertandingan Arema vs Persebaya, sudah ada kesepakatan bahwa penggunaan gas air mata tidak akan digunakan. Namun, entah bagaimana, pada pertandingan Sabtu kemarin gas air mata kembali digunakan.
Dari sini, PSSI selaku federasi wajib melakukan konsolidasi dan sosialisasi kepada pihak kepolisian untuk tetap mematuhi petunjuk keselamatan dari FIFA. Prosedur pengamanan harus selalu disosialisasikan jelang setiap pertandingan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini.
PSSI harus terus mengingatkan kepolisian bahwa massa suporter sepak bola akan selalu berpotensi membuat kekacauan karena ini adalah sifat dasar sebuah kerumunan. Belum lama, suporter Persebaya juga pernah melakukan invasi ke lapangan usai tim kesayangannya dikalahkan Rans Nusantara. Namun, tak ada korban jiwa yang jatuh karena polisi yang waktu itu bertugas di Sidoarjo mengendalikan massa dengan mematuhi petunjuk FIFA.
Artinya, polisi pernah berhasil mengendalikan massa suporter dengan baik dan benar. Praktik itu mesti diulangi hingga seterusnya nanti.
Jam Tanding
Persoalan jam tanding, terutama yang melibatkan tim-tim tradisional dengan basis suporter besar, sudah menjadi bahan perbincangan di kalangan klub dan suporter. Intinya, mereka meminta supaya pertandingan, utamanya pertandingan dengan risiko tinggi macam Arema vs Persebaya, tidak digelar pada malam hari.
Nah, apa bedanya pertandingan yang digelar sore dan malam hari?
Dalam sesi Spaces dengan Pandit Football, bos Madura United, Achsanul Qosasi, menjelaskan bahwa itu semua berkaitan dengan psikologi massa. Pertandingan risiko tinggi yang digelar malam hari membuat pengendalian massa lebih sulit dilakukan karena kondisi suporter dan aparat keamanan sendiri sudah tidak seratus persen.
Suporter lebih mudah marah, begitu juga dengan aparat keamanan yang bertugas. Gamblangnya seperti itu. Memang, kerusuhan di pertandingan yang digelar sore hari pun bukan hal asing di Indonesia. Akan tetapi, pengendalian massa lebih mudah dilakukan karena aparat keamanan sendiri bisa berpikir lebih jernih karena kondisi fisik dan mentalnya masih lebih baik.
Selain itu, soal jam tanding malam hari ini juga erat kaitannya dengan keselamatan suporter dalam perjalanan pulang. Stadion seperti Kanjuruhan, misalnya, terletak jauh dari pusat kota. Jalan yang harus dilalui suporter pun merupakan jalan yang juga banyak dilewati kendaraan besar macam bus dan truk. Belum lagi jika kita bicara soal potensi terjadinya tindak kriminal.
Maka, sebetulnya, sebelum pertandingan Arema vs Persebaya, Polres Malang sudah memberikan rekomendasi agar laga digelar sore hari. Namun, dengan alasan rating, pemilik hak siar, dalam hal ini Emtek Group, bersikukuh menggelar pertandingan pada malam hari. Maksud mereka, supaya partai akbar seperti itu bisa disaksikan pada masa prime time seperti ketika orang Indonesia menonton laga liga-liga Eropa.
Nah, yang dilupakan pemilik hak siar, serta operator liga, adalah pertandingan liga Eropa yang disaksikan di prime time oleh orang Indonesia tidaklah diselenggarakan malam hari. Laga Derby Manchester, Minggu (2/10), memang ditayangkan pada pukul 20.00 WIB. Namun, laga itu sendiri diselenggarakan pada pukul 13.00 waktu setempat.
Bersambung ke Bagian II: Apa yang Bisa Kita Lakukan Setelah Tragedi Kanjuruhan
Editor: Nuran Wibisono