tirto.id - Baca Bagian I: Tragedi Kanjuruhan dan Hal yang Tak Boleh Terjadi Lagi
Pemimpin Redaksi Narasi, Zen Rachmat Sugito, dalam cuitannya di Twitter, menjelaskan bahwa ketika ada pertandingan sepak bola, terutama yang gengsinya besar macam Arema vs Persebaya, atmosfer bisa terasa hingga setengah hari. Penumpukan massa, antisipasi aparat, dan ketegangan-ketegangan lain bisa terasa sampai selama itu.
Atmosfer itu, tentu saja, dirasakan baik sebelum maupun sesudah pertandingan. Bukan cerita baru lagi jika penonton sepak bola mesti menunggu berjam-jam supaya bisa keluar dari area stadion. Di sana jelas akan terjadi penumpukan massa dan jelas ada potensi rusuh. Maka, aparat pun mesti terus berjaga sampai semuanya usai.
Jika laga digelar malam hari, di mana sepak mula dilakukan pukul 20.00 WIB dan pertandingan kelar pukul 22.00 WIB, aktivitas suporter bisa dimulai dari sore bahkan siang hari dan baru selesai hingga lewat tengah malam. Di mana ada aktivitas suporter, di situ pula polisi mesti bertugas.
Jadi, jam tayang malam ini memang sebetulnya merugikan banyak pihak dan selayaknya hanya diberikan kepada tim-tim yang tak punya basis suporter besar. Polisi sendiri juga mesti tegas. Kalau memang tidak sesuai rekomendasi, izin jangan sampai diberikan.
Penyelenggaraan Pertandingan
Mencetak tiket melebihi kapasitas stadion adalah sebuah kesalahan besar. Memang benar dalam stadion yang memiliki tribune berdiri, kapasitas penonton seringkali bisa berbeda-beda. Akan tetapi, tentu sudah ada hitungan soal seberapa ruang yang bisa diisi seorang pemegang tiket pada tribune tersebut.
Risiko yang muncul bisa bermacam-macam. Penumpukan massa di area leher botol seperti pintu masuk tribune adalah salah satunya. Kemudian, jika stadion terus-menerus diisi penonton melebihi kapasitas, dalam jangka waktu panjang kekuatan struktur bangunan pasti akan terkompromi dan sangat berpotensi menimbulkan keruntuhan.
Di laga Arema vs Persebaya lalu, panpel bahkan menyediakan dua layar lebar di sekeliling stadion. Artinya, jumlah massa yang terkonsentrasi di area Kanjuruhan benar-benar jauh melebihi kapasitas stadion. Dengan begitu, pengendalian massa pun menjadi lebih sulit bagi aparat.
Dalam kondisi seperti Sabtu lalu, misalnya, ketika aparat berusaha melindungi rombongan Persebaya, mereka mesti menembus lautan manusia dengan kecepatan rendah. Kendaraan taktis (rantis) yang ditumpangi rombongan Bajul Ijo pun dengan mudah jadi sasaran pelemparan oleh massa yang ada di area luar stadion itu.
Inilah yang membuat pintu stadion akhirnya ditutup. Supaya tidak ada penambahan massa di area yang rawan bagi rombongan tim tamu tersebut. Celakanya, ini justru membuat suporter yang masih ada dalam stadion terjebak dalam kepungan gas air mata. Mereka pun tak bisa menyelamatkan diri.
Keselamatan harus menjadi prioritas dan di sini kita bicara soal keselamatan semua pihak, mulai dari pemain dan ofisial tim, perangkat pertandingan, suporter, bahkan aparat keamanan sendiri. Dua polisi meninggal dunia dalam Tragedi Kanjuruhan dan ini harus disikapi sebagai sebuah tamparan keras bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pertandingan.
Kedewasaan Suporter
Satu hal lain yang tak bisa dilupakan adalah bagaimana suporter sendiri mesti lebih dewasa dalam menyikapi hasil laga. Demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan, suporter sendiri harus sadar untuk tidak melakukan pelanggaran. Kecuali ada izin khusus seperti pada pertandingan terakhir Tottenham Hotspur di White Hart Lane atau dalam suasana selebrasi, invasi ke lapangan adalah sebuah pelanggaran berat bagi seorang suporter.
Tidak ada yang melarang suporter melancarkan protes tetapi ada tata cara yang mesti dipatuhi. Suporter bisa berdemonstrasi, membentangkan spanduk-spanduk, atau menyerukan pesan-pesan tertentu tanpa melanggar aturan.
Ini sudah dilakukan banyak suporter dari berbagai tim. Suporter Persis Solo, misalnya, memilih jalur demonstrasi di depan mes pemain dan hasilnya positif. Manajemen waktu itu mengabulkan aspirasi suporter dengan merumahkan pelatih Jacksen Tiago. Jadi, ada waktu dan tempat untuk segala sesuatunya.
Respons Terhadap Sebuah Tragedi
Hal terakhir yang mesti jadi bahan evaluasi adalah respons pemangku kebijakan terhadap sebuah tragedi. Kecaman meluncur dari berbagai arah terhadap para pemangku kebijakan yang tak peka terhadap situasi. Kapolda Jatim tadi, misalnya.
Namun, Kapolda Jatim tak sendiri. Ada Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali yang justru lebih khawatir dengan kans Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia U-20. Ada Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan yang entah bagaimana bisa menyapa hadirin konferensi pers dengan kata-kata "hadirin yang berbahagia". Ada pula sejumlah elite politik yang terkesan menunggangi tragedi untuk mendulang pamor.
Sebuah tragedi membutuhkan respons yang sensitif. Berpihak kepada korban adalah langkah pertama. Tunjukkan empati. Tunjukkan rasa berduka. Tunjukkan bahwa kamu peduli tanpa menonjolkan siapa dirimu. Tunjukkan bahwa hatimu ikut hancur melihat apa yang telah terjadi.
Selain itu, rasa tanggung jawab juga mesti ditunjukkan. Saat ini, Kapolres Malang sudah dicopot. Sembilan polisi yang bertanggung jawab dalam pengamanan pertandingan pun telah dinonaktifkan. Ini adalah langkah bagus dari pihak kepolisian. Langkah yang cepat dan tegas adalah bukti keseriusan dalam merespons sebuah tragedi.
Selain itu, Panglima TNI Andika Perkasa juga melakukan langkah bagus dengan tidak membela anggotanya yang tertangkap kamera menyerang seorang suporter. Andika dengan tegas mengatakan bahwa tentara itu tidak membela diri, tindakannya tidak bisa dibenarkan, dan bakal ada sanksi tegas.
Pemerintah Indonesia juga bergerak cepat dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Langkah apik pemerintah di sini salah satunya adalah dengan menunjuk ahli pengendalian massa Nugroho Setiawan sebagai salah satu anggota tim. Nugroho sendiri sebelumnya pernah menjadi pengurus PSSI dan saat ini bertugas di AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia).
PSSI juga telah membentuk tim investigasi yang dikepalai sendiri oleh Iriawan alias Iwan Bule. Akan tetapi, langkah ini sejatinya kurang ideal karena PSSI punya keterlibatan dalam Tragedi Kanjuruhan dan mestinya ada investigasi terhadap mereka dari satuan independen. Dalam wawancara dengan ABC, Nugroho menyebut bahwa semestinya federasi yang diberi kewenangan menginvestigasi adalah AFC dan FIFA, bukan PSSI sendiri.
Sekarang, yang bisa kita lakukan bersama adalah terus mengawal segala investigasi ini. Masyarakat, suporter, dan klub tidak boleh lengah dalam menuntut keadilan. Tragedi ini harus diusut tuntas dan tak boleh terulang kembali. Cukup sudah duka ini.
Editor: Nuran Wibisono