tirto.id - Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta, KH Jazilus Sakhok menyatakan tradisi pendidikan agama di pesantren memiliki narasi yang bisa menangkal ekstrimisme dan radikalisme.
Pria yang akrab disapa Gus Sakhok tersebut berpendapat sejarah pengajaran agama Islam di banyak pesantren di Indonesia selalu berhubungan erat dengan budaya lokal. Relasi itu menyebabkan tradisi pesantren menciptakan pandangan keagamaan yang tidak kaku.
"Pengakuan terhadap budaya lokal membuat pesantren lembut dalam memahami agamanya, tidak keras tidak kaku, tidak hitam-putih. Model ini bisa dipakai sebagai narasi kontra-terorisme" kata Dekan Fakultas Dirasah Islamiyah Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta tersebut, pada Jumat (25/5/2018).
Gus Sakhok menyatakan hal itu saat berbicara di seminar bertajuk "Peran Pemerintah dan Pesantren Dalam Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme" di Hotel Cemara 2, Gondangdia, Jakarta Pusat.
Dia menambahkan paham keagamaan yang ekstrem dan radikal selama ini datang dari luar Indonesia sehingga tidak mengakar pada budaya lokal.
"Pemikiran yang radikal tidak berbasis pada nilai lokal. Rata-rata [ajaran] yang ekstrimis tidak asli dari Indonesia sehingga menyebabkan model-model pemahaman keagamaan yang tidak soft, tidak lembut, tidak ramah,” ujar dia.
Gus Sakhok berpendapat tradisi pesantren memiliki narasi yang bisa membendung radikalisme dan ekstrimisme karena didasari 3 nilai utama. Ketiganya ialah tawassuth atau sikap tengah-tengah, tawazun yang artinya seimbang dalam segala hal, dan i`tidal yaitu bersikap adil dan lurus.
"Kalau yang ekstrimis itu cuman satu potong, satu potong [pemahaman agamanya] sehingga itu lah yang menyebabkan akhirnya bertindak seperti itu [berpaham keras dan radikal]," kata dia.
Pada seminar yang sama, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyurmardi Azra mengingatkan sebagian pesantren yang saat ini menganut paham salafi dan terpengaruh dinamika keagamaan di Timur Tengah berpotensi terpapar paham radikal.
"Nah, pesantren [jenis] ini yang mengajarkan paham-paham transnasional. Tapi pesantren salafi tidak seragam karena ada yang berorientasi ke Yaman, Arab Saudi, Kuwait. Yang [berorientasi] ke Yaman lebih bisa jadi radikal karena di Yaman terjadi radikalisasi," kata Azyurmardi.
Menurut Azyumardi, upaya Kementerian Agama melakukan pengawasan dan mendorong pengajaran kurikulum kebangsaan di sejumlah pesantren salafi belum cukup untuk mencegah masuknya pengaruh paham radikal.
"Kementerian agama biasanya kasih kurikulum yang nasional padahal yang berbahaya itu hidden kurikulumnya. Nah, ini yang harus diwaspadai," ujar dia.
Azyurmardi berpendapat kurikulum pengajaran agama di Indonesia harus didorong mengadopsi paham keagamaan wasatiyyah atau moderat untuk mencegah perluasan pengaruh radikalisme dan ekstremisme.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Addi M Idhom