tirto.id - Pria Paruh Baya Jepang: Orang Paling Kesepian di Dunia, demikian pakar strategi komunikasi Junko Okamoto menjuduli bukunya yang terbit pada 2018 silam. Bisa diduga, pembaca dari kalangan bapak-bapak cemberut menanggapi isinya. Pasalnya, literatur Jepang selama ini kerap mengglorifikasi perilaku menyendiri sebagai hal mulia. “Kesendirian dipahami sebagai pelarian dari konformitas dan ketergantungan terhadap orang lain agar mandiri,” ujar Okamoto dalam wawancara dengan nippon.com pada Agustus 2020.
Okamoto menyoroti kultur kerja bapak-bapak di lingkungan korporat yang konformis selama bertahun-tahun. Tradisi tersebut dinilai melanggengkan kebiasaan berkomunikasi yang cenderung kaku, karena komunikasi terbatas pada perintah dari atasan kepada bawahan. Akibatnya, pria paruh baya relatif susah menjalin koneksi dengan komunitas di luar kantor dan berisiko merasa terisolasi atau kesepian. Pada waktu yang sama, Okamoto tidak menampik bahwa risiko kesepian mulai menyebar ke khalayak luas, sebagaimana tercermin dari maraknya fenomena mengurung diri (hikikomori) yang lintas generasi, serta meningkatnya jumlah perempuan yang kesulitan membangun jaringan.
Kesepian dan Bunuh Diri Selama Pandemi
Mengikuti jejak Inggris, pemerintah Jepang baru saja melantik Menteri Kesepian untuk mengatasi permasalahan terkait orang-orang yang semakin merasa terisolasi, terutama selama pandemi. Stres yang diperparah oleh isolasi dan kesepian akut disinyalir menjadi salah satu faktor di balik tingginya kasus bunuh diri di Jepang akhir-akhir ini. Sepanjang 2020, Badan Kepolisian Nasional mencatat 20.919 korban bunuh diri.
Data di atas menunjukkan penambahan 750 kasus dari tahun sebelumnya. Padahal, Jepang menorehkan momen historis pada 2019, tatkala total kasus bunuh diri berada pada titik paling rendah sejak sensus pertama pada 1978. Fenomena ini sebenarnya sudah berkurang dalam satu dasawarsa terakhir. Pada 2009, tak lama setelah kebangkrutan Lehman Brothers memicu krisis ekonomi global, angka bunuh diri di Jepang sempat bertengger di kisaran 32 ribu kasus. Seiring waktu, persentasenya menurun, sampai akhirnya kembali mengalami kenaikan pada 2020.
Sebagaimana dijabarkan dalam artikel Nikkei, jumlah korban bunuh diri perempuan pada 2020 kira-kira separuh dari laki-laki. Namun demikian, tren dari kelompok perempuan justru meningkat dalam dua tahun terakhir, berkebalikan dengan korban jiwa laki-laki yang konsisten mengalami penurunan sejak satu dekade belakangan.
Berdasarkan kategori umur, korban paling banyak berusia di atas 40 tahun, dengan persentase tinggi ditemukan di angkatan paruh baya dan lansia. Selain itu, terdapat peningkatan kasus sebesar 17 persen pada kategori usia 20-an. Insiden bunuh diri pada anak-anak dan remaja (SD, SMP, SMA) juga meningkat jadi 440 kasus, tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Perempuan dan Anak Muda Rentan
Dalam studi berjudul “Assessment of Suicide in Japan During the COVID-19 Pandemic vs Previous Years” (2021), tim peneliti yang dipimpin Haruka Sakamoto mengungkapkan, “Meskipun kasus bunuh diri pada 2020 bisa jadi dipengaruhi oleh alasan-alasan yang tidak berkaitan dengan pandemi COVID-19, temuan kami sejalan dengan pengamatan selama ini bahwa dewasa muda dan perempuan secara tak imbang terbebani kesehatan mental dan pikiran bunuh diri selama pandemi COVID-19.”
Sakamoto dkk. menjelaskan, perempuan dan kaum muda Jepang kerap diasosiasikan dengan kerentanan ekonomi, terutama semenjak aturan pembatasan diterapkan untuk mencegah penyebaran virus. Padahal, banyak dari mereka yang berkecimpung di sektor jasa dan menduduki posisi tidak tetap, misalnya di restoran dan bidang pariwisata, yang secara operasional paling terdampak pandemi. Selain itu, Sakamoto dkk. menyinggung studi-studi lain tentang kaitan pengangguran dengan tingginya kasus bunuh diri di Jepang. Kelesuan ekonomi akibat pandemi diduga turut berkontribusi terhadap pengangguran atau tekanan finansial lain yang memicu keinginan bunuh diri.
Selama pandemi, organisasi-organisasi nirlaba yang berkecimpung dalam usaha pencegahan bunuh diri mengalami kenaikan jumlah klien. Lembaga swadaya Lifelink menyampaikan kepada Asahi Shimbun, terdapat 3 ribu konsultasi pada awal pandemi di bulan Maret 2020. Jumlah ini meroket jadi 15 ribu konsultasi pada September, dengan 70 persennya perempuan. “Saya disiksa secara fisik oleh suami. Tidak ada yang berubah walaupun saya melawan. Satu-satunya jalan keluar adalah mati,” demikian isi pesan salah satu klien.
Masih dilansir dari Asahi, Childline Support Center melaporkan peningkatan konsultasi sampai 4,6 kali lipat selama pandemi. Keluhan anak-anak dan remaja yang sebelumnya berpusar pada bullying atau perundungan, telah bergeser menjadi hasrat untuk mengakhiri hidup karena stres dengan masalah-masalah selama isolasi di rumah.
Tren Hidup Sendiri di Jepang
Stres yang didorong oleh kungkungan selama pandemi ini mempertegas dampak negatif dari isolasi, termasuk perilaku hidup menyendiri yang semakin banyak ditemui di Jepang dan terus meningkat selama tiga dekade terakhir. Menurut data (PDF) Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, jumlah rumah tangga satu orang mencapai 28 persen pada 2019, sedikit di bawah persentase keluarga yang terdiri suami-istri saja (32 persen). Jumlah lebih kecil ditemukan pada rumah tangga orangtua tunggal (20 persen) dan keluarga tiga generasi (9 persen).
Kecenderungan hidup sendiri mengingatkan pada kodokushi—fenomena meninggal dalam kesendirian yang bahkan tidak diketahui orang lain sampai beberapa hari atau bulan setelahnya. Kodokushi biasanya ditemui pada orang-orang tua atau lansia yang hidup sendirian.
Seiring munculnya fenomena tersebut, perusahaan asuransi dan penyedia layanan kebersihan mulai menawarkan jasa kepada pemilik gedung flat dan apartemen, seperti bersih-bersih kamar, upacara pemakaman, sampai kompensasi sewa yang belum dibayarkan almarhum penyewa properti.
Dalam “Laporan Situasi Kodokushi ke-5” (2020, PDF), Asosiasi Asuransi Jepang mengolah data sepanjang 2015-20 pada 4 ribuan klien yang mengasuransikan properti mereka untuk insiden kodokushi. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa rata-rata korban kodokushi berusia 61 tahun. Angkatan paruh baya sampai umur 60-an mendominasi kasus (48 persen), diikuti kategori usia 70-an tahun ke atas (30 persen). Sehubungan dengan jenis kelamin, persentase korban laki-laki sebesar 83 persen, hampir 5 kali lipat dari perempuan. Mayoritas penyebab kematian adalah sakit (65 persen), diikuti bunuh diri (10 persen).
Japan Today mengungkap bahwa kasus kodokushi ditemui pula pada angkatan muda usia 20 sampai 30-an. Mengambil contoh dari area metropolitan Tokyo pada 2015, dilaporkan 238 kaum muda (80 persen laki-laki) meninggal sendirian di apartemennya.
Seperti pernah diulas Tirto sebelumnya, beragam cara sudah diupayakan oleh orang-orang Jepang untuk mengusir rasa sepi. Misalnya, lansia Jepang, terdorong rasa sepi dan tekanan ekonomi, sengaja melakukan tindakan kriminal kecil-kecilan agar ditangkap polisi. Harapannya, mereka bisa menikmati fasilitas makan, akomodasi sampai layanan kesehatan yang disediakan otoritas penjara. Selain itu, marak biro jasa sewa keluarga yang menyediakan aktor untuk memerankan orangtua, istri, suami, pacar, sampai anak-cucu. Meskipun bersifat sementara, kehadiran layanan ini dinilai bisa menghibur jiwa-jiwa kesepian di Jepang yang semakin terisolasi dari keluarga sendiri.
Usaha Pemerintah
Bunuh diri menjadi puncak dari rasa frustasi, depresi atau ketidakstabilan emosional. Faktor pemicunya luar biasa kompleks, mulai dari masalah keluarga, asmara, kemiskinan atau tekanan finansial lainnya. Semua ini masih bisa diperparah oleh kondisi jiwa yang kesepian dan terisolasi selama pandemi COVID-19.
Tren bunuh diri di Jepang mulai nampak setelah krisis moneter 1997. Jumlahnya meningkat dan bertahan di kisaran 30 ribuan kasus selama satu dasawarsa lebih. Pada 2006, pemerintah mengesahkan UU Penanggulangan Bunuh Diri (PDF). Setelah UU tersebut diamandemen pada 2016, pemerintah prefektur dan kotamadya diwajibkan menyusun kebijakan penanggulangan bunuh diri.
Menurut laman resmi Kementerian Kesehatan, pada 2017 pemerintah merilis panduan untuk meningkatkan usaha pencegahan bunuh diri di tingkat daerah terutama pada kalangan muda, serta untuk menurunkan tingkat bunuh diri sampai 30 persen pada 2026. Kemudian, pada 2018, pihak Kementerian mulai melibatkan berbagai lembaga nirlaba untuk memfasilitasi layanan konsultasi berbasis media perpesanan daring kepada anak-anak muda yang mengalami depresi.
Usaha pemerintah semakin keras setelah didapati peningkatan kasus bunuh diri selama pandemi COVID-19. Melansir pemberitaan dari NH pada Desember silam, Kementerian Kesehatan mendorong masyarakat untuk aktif menjangkau orang lain, misalnya curhat dengan kawan terdekat, organisasi pendukung, sampai kantor-kantor pemda. Selama ini, Kementerian membuka sesi konsultasi yang bisa dipesan di situs pemerintah. Melalui layanan tersebut, warga bisa konsultasi via telepon, email, atau perpesanan daring instan.
Pada 12 Februari 2021, diangkatlah Tetsushi Sakamoto sebagai Menteri Kesepian. “Saya minta agar Menteri Kesepian mengidentifikasi berbagai masalah yang muncul akibat pandemi COVID-19 berkepanjangan, termasuk kasus bunuh diri di kalangan perempuan, serta berkoordinasi dengan masing-masing kementerian dan badan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah komprehensif,” tegas Perdana Menteri Yoshihide Suga dikutip dari Mainichi Shimbun (12/2/2021).
Dilansir dari Asahi (22/2), Menteri Kesepian Sakamoto berkomitmen untuk menangani kasus bunuh diri selama pandemi sebagai masalah sosial jangka panjang. Salah satu rencana awal Sakamoto adalah membuka forum diskusi dengan lembaga-lembaga nirlaba yang selama ini aktif mendukung program-program kesehatan mental, lantas bersama-sama mulai mengidentifikasi permasalahan.
======
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Editor: Windu Jusuf