tirto.id - Tol Trans Jawa kembali menjadi sorotan usai juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dian Fatwa “menuding” jalan yang diresmikan Presiden Jokowi, pada 20 Desember 2018 itu membuat ban mobil cepat pecah saat melaju dalam kecepatan tinggi.
Sorotan Dian Fatwa tertuju pada konstruksi yang tidak memenuhi standar, seperti permukaan jalan yang bergelombang dan bentuknya adalah rigid pavement atau menggunakan beton. Hal ini dinilai dapat membuat ban cepat halus dan mudah meletus sehingga membahayakan keselamatan para pengguna.
“Dari semua jalan tol yang sudah diresmikan baru 48%. Lampu jalan banyak yang belum tersedia, jalan bergelombang dan rigid pavement (masih dicor) tanggal diaspal,” kata Dian saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (17/2/2019).
Menurut Dian, jika gesekan ban dengan beton terjadi berulang apalagi dengan kecepatan tinggi, maka akan panas dan membuat ban menipis serta mudah meletus. Padahal, kata dia, mengemudi di jalan tol rata-rata di atas 40 km/per jam.
“Jelas orang akan mengemudi dengan cepat, namanya juga bebas hambatan,” kata Dian.
Namun, pernyataan Dian Fatwa itu ditepis Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Endra S Atmawidjaja.
Ia menjelaskan, permukaan jalan yang berupa beton bukan satu-satunya penyebab ban meletus, terlebih bila dinilai sebagai penyebab kecelakaan.
Dalam pembangunan jalan tol yang diresmikan Jokowi, kata Endra, para tenaga ahli yang terlibat telah memperhitungkan standar kekasaran dan kelicinan permukaan jalan. Menurut dia, seluruhnya telah diperhitungkan demi kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan tol.
“Kami desain, kami membangun, mengoperasikan infrastruktur, kan, itu perlu persyaratan ketat. Kalau yang berkaitan dengan kondisi kekerasan, kan, ada dua, ada aspal kemudian ada beton yang kami sebut rigid,” kata Endra saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Endra menambahkan “dua-duanya ini memenuhi ketentuan, memenuhi syarat. Itu yang namanya IRI [International Roughness Index], koefisien kekasaran.”
Menurut Endra, penyebab kecelakaan di jalan tol tidak boleh hanya dilihat dari sekedar faktor permukaan jalan. Namun, harus dilihat faktor lain, seperti stamina pengemudi.
Melintas di jalan mulus beraspal pun, kata Endra, bisa berisiko mengalami kecelakaan, apabila pengemudi kendaraan dalam kondisi kelelahan atau mengantuk.
“Sekarang ini, kan, jalan tol dari Merak ke Pasuruan 933 kilometer. Jadi kondisi jalan tol yang panjang itu ada risiko kelelahan. Jadi pengguna itu, karena infrastrukturnya panjang, dia ada risiko kelelahan. Ada risiko lagi human eror, misalnya dia ngantuk,” kata Endra.
Faktor lainya, kata Endra, adalah kondisi kendaraan yang dipandang kurang siap, bahkan tidak laik jalan. Ada juga pengendara yang memaksakan kendaraannya melaju dengan kondisi yang tidak sesuai dengan standar keamanan berkendara. Ia mencontohkan truk yang melaju dengan muatan berlebih alias overloading.
Pakai Beton Aman?
Pakar konstruksi dari Universitas Indonesia (UI), Yuskar Lase menilai tidak masalah jalan tol Trans Jawa yang diresmikan Jokowi menggunakan beton. Alasannya, kata dia, lebih awet dan kuat. Hanya saja, kata dia, biar lebih halus perlu dilapisi aspal.
“Harganya juga lebih murah. Nanti di bagian atasnya itu ada pelapisan lagi, ada lapisan aspal di atasnya,” kata Yuskar saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Yuskar mengatakan jalan tol yang menggunakan beton masih tergolong aman. Artinya tidak membuat ban cepat pecah seperti yang dikhawatirkan juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Dian Fatwa.
“Kalau aman sih, yang beton tadi aman. Tapi kalau mau lebih nyaman pakai aspal lagi,” kata Yuskar.
Sementara itu, Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia, Drajat Hudayanto mengatakan kondisi jalan tol yang sebagian besar masih menggunakan beton merupakan konsekuensi dari usia jalan tol yang tergolong masih 'muda'.
Ia memaklumi karena di era Jokowi banyak pembangunan jalan tol dikebut setelah sempat lama tertunda. Sehingga, kata Drajat, wajar saja permukaan jalan tol yang terbangun saat ini sebagian besar belum beraspal.
“Jadi terlepas dari siapa pun, program yang sekarang ini sudah merupakan suatu yang baik. Belum sempurna, ya memang, karena enggak mungkin orang sudah sebegitu banyak sekaligus semua sempurna,” kata Drajat.
Selain itu, Drajat menjelaskan, dengan kondisi jalan tol yang masih baru, permukaan jalan berupa beton rigid dipandang sudah sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol.
SPM adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol, mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan serta unit pertolongan atau penyelamatan dan bantuan pelayanan. Besaran ukuran yang harus dicapai untuk masing-masing aspek dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz