tirto.id -
Menurutnya, hal itu hanya kekhawatiran yang berlebihan sebab nantinya, tidak semua kendaraan bakal memilih menggunakan jalan tol dan akan terjadi keseimbangan baru di perekonomian.
"Ini hanya temporer karena tol ini akan dengan sendirinya membuat organ-organ yang ada di luarnya itu tumbuh. Jakarta Bandung lewat tol kita bayangkan akan sepi. Ternyata enggak loh. Tumbuh loh," ujar Wijayanto di kantor Wakil Presiden, Merdeka Utara, Jakarta pada Jumat (15/2/2019).
Sejak jalur Tol Trans Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 20 Desember 2018 lalu, pengendara memang punya pilihan untuk menikmati perjalanan lebih cepat ketimbang pantura.
Sehingga, terjadi migrasi cukup besar dari jalan Pantura ke jalan tol. Apalagi tol tersebut menyambungkan 7 ruas yang meliputi Tol Pemalang-Batang Seksi 1-2 (34 km), Batang-Semarang Seksi 1-5 (75 km), Semarang-Solo Segmen Salatiga-Kartasura (33 km), dan Ngawi-Kertosono Segmen Wilangan-Kertosono (38 km).
Kemudian, Kertosono-Mojokerto Seksi Segmen Bandar-Kertosono (1 km), Porong-Gempol Segmen Porong-Kejapanan (6 km) dan Gempol-Pasuruan Segmen Pasuruan-Grati (14 km).
Meski demikian, kata Wijayanto, keseimbangan tak hanya terjadi pada perekonomian masyarakat pesisir. Melainkan juga tarif jalan tol Trans Jawa.
Jika tarif tol dinilai terlalu tinggi oleh pengguna kendaraan, maka jalan tol sepi karena harga terlalu mahal dan operator jalan tol akan berpikir ulang untuk menurunkan harga.
"Pak JK [Jusuf Kalla] kan selalu bilang. Kalau ini kemahalan, ya lewat jalan biasa aja. Kalau ini mahal nanti terjadi keseimbangan baru kok. Ini mekanisme pasar pasti terjadi," tutur dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Agung DH