Menuju konten utama

Tim Pesepeda Greenpeace Alami Intimidasi Jelang KTT G20 Bali

Tim Pesepeda Greenpeace terus alami intimidasi sejak di Probolinggo pada 7 November & dipaksa menulis pernyataan untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Tim Pesepeda Greenpeace Alami Intimidasi Jelang KTT G20 Bali
Tim Pesepeda Greenpeace Alami Penghadangan Jelang KTT G20 di Bali. FOTO/Greenpeace

tirto.id - Tim Pesepeda Greenpeace mengalami penghadangan dan intimidasi menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.

Tidak hanya Greenpeace, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Bali mengalami hal serupa. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan menjelang perhelatan G20 membuat sejumlah kegiatan tak mendapat izin dari otoritas setempat dan terpaksa dibatalkan.

Dua anggota pesepeda Chasing The Shadow Greenpeace, Rafii Puji Berkah dan Kania Yuthika, mengungkapkan bahwa intimidasi dan pemantauan melekat terjadi sejak mereka berada di Semarang, Jawa Tengah (Jateng). Kania misalnya, sempat ditanya-tanyai, difoto, hingga dimintai nomor telepon oleh orang tak dikenal yang diduga mengawasi kegiatan para pesepeda.

“Kami ditanya detail tentang aktivitas, dari mana, mau ke mana, bahkan sampai nomor kamar tempat kami beristirahat. Itu sudah sangat mengganggu privasi," terang Kania lewat keterangan tertulis, Rabu (9/11/2022).

Sementara Rafii bercerita, sebuah mobil polisi sempat berjalan memepet dirinya yang tengah mengayuh sepeda menuju Probolinggo, Jawa Timur (Jatim). Dia hampir kehilangan keseimbangan.

“Kami masih terus diikuti setelah keluar dari Probolinggo. Di Malang pun, banyak sekali orang-orang yang kami duga membuntuti dan memantau kami, seperti mau konser,” ujar Rafii.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menilai intimidasi terhadap tim Greenpeace berjalan dengan terstruktur dan sistematis. Dengan eskalasi intimidasi yang terjadi di Probolinggo, Jatim pada Senin, 7 November lalu, Greenpeace memutuskan tak melanjutkan tur bersepeda ke Bali.

Tim Greenpeace yang tengah singgah di daerah tersebut didatangi sekelompok anggota organisasi masyarakat (ormas) dan dipaksa menulis surat pernyataan untuk tidak melanjutkan perjalanan.

“Kami mendeteksi bahwa upaya-upaya ancaman ini akan berlanjut terus sampai ke Banyuwangi dan kemungkinan besar juga di Bali," kata Leonard.

Hal ini, menurutnya, telah mencederai kebebasan berpendapat dan prinsip demokrasi yang sejatinya dijamin dalam konstitusi negara Indonesia.

Dia menjelaskan, kampanye Greenpeace adalah menyuarakan tentang dampak krisis iklim dan pentingnya transisi energi secepatnya. Pesan itu yang hendak dibawa ke Bali, agar para pemimpin negara besar yang akan berkumpul di sana untuk perhelatan G20 sadar dan berkomitmen terhadap transisi energi secepatnya demi mengatasi krisis iklim.

Lanjut Leonard, hal itu tak bisa terjadi tanpa demokrasi dan partisipasi publik yang sehat.

“Tanpa demokrasi yang sehat, kebebasan sipil, dan partisipasi publik, kami khawatir transisi energi yang kita inginkan terancam kembali didominasi oleh oligarki. Jadi kami juga dalam konteks mencoba untuk menegakkan demokrasi energi," ujar dia.

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, menilai intimidasi terstruktur dan sistematis yang dialami tim Greenpeace hanya mungkin terjadi dengan adanya komando.

“Kita patut menduga ini komando yang kuat sejak awal, dan komando hanya dimiliki oleh institusi militer, kepolisian, dan intelijen. Siapa pun yang melakukan, mereka sedang melanggar Undang-Undang (UU) mereka sendiri,” kata dia.

UU Kepolisian misalnya, jelas menyatakan polisi yang profesional harus mengayomi, melindungi, dan menghormati hak masyarakat, serta menjamin hak asasi manusia (HAM). UU tentang intelijen pun tak membolehkan aparat melakukan tindakan yang menakuti warga. “Tidak boleh menciptakan psywar," ujar Isnur.

Dia juga menjelaskan, surat pernyataan yang ditandatangani tim Greenpeace saat di bawah ancaman atau pemaksaan juga tidak sah dan justru melanggar hukum. Isnur menduga masyarakat yang mengintimidasi tim Greenpeace pun tak melakukannya atas inisiatif sendiri.

“Berbagai jurnal internasional menyebut ada korelasi kuat ormas Indonesia dengan aparat pemerintah," ungkap dia.

Baca juga artikel terkait INTIMIDASI AKTIVIS LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri