tirto.id - The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) TII menilai kampanye politik di media sosial masih belum diatur secara spesifik dan jelas.
Hal ini didapat dari hasil penelitian TII tentang “Penataan Regulasi Kampanye Politik di Media Sosial Jelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 yang Informatif dan Edukatif”.
Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan penelitian itu diharapkan menjadi masukan bagi penyelenggara pemilu dalam melakukan penataan terhadap pengaturan hukum terkait kampanye politik di media sosial, khususnya persiapan Pemilu 2024 agar berjalan secara informatif dan edukatif.
"Penelitian ini menggunakan dua pendekatan dalam analisis temuan dan rekomendasi kebijakan yang diberikan, yaitu dengan aspek regulasi dan aspek evaluasi implementasi kebijakan," kata Adinda di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Kamis (13/4/2023).
Dari aspek regulasi, kata Adinda, merujuk pada teori pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada aspek ini, TII menemukan beberapa temuan, seperti kampanye politik di media sosial masih belum diatur secara spesifik dan jelas.
Kedua, pengaturan yang ada memiliki ketidaksinkronan antara KPU dan Bawaslu. Ketiga, bentuk dan mekanisme pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di media sosial yang masih belum memadai.
Lalu, pada aspek evaluasi implementasi kebijakan, TII merujuk pada empat variabel, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi.
Adinda mengatakan pada aspek komunikasi, implementasi kebijakan pengaturan kampanye di media sosial oleh KPU dan Bawaslu menemukan tantangan komunikasi karena struktur yang berjenjang pada penyelenggara pemilu, sehingga menyebabkan ketidaksamaan pandangan akibat proses sosialisasi yang tidak optimal.
"Pada aspek disposisi/ sikap, terdapat perbedaan penafsiran antara KPU dan Bawaslu terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," ucap Adinda.
Lebih lanjut, Adinda mengatakan pada aspek sumber daya terdapat dua tantangan, yaitu faktor kewenangan, khususnya dalam memberikan sanksi administratif bagi peserta pemilu yang belum memberikan efek jera bagi peserta yang melanggar larangan pemilu.
"Faktor lain adalah masih minimnya jumlah sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan minimnya sarana prasarana yang dapat menunjang pengawasan kampanye di media sosial," tukas Adinda.
Ia mengatakan pada aspek struktur birokrasi, tidak ada divisi khusus yang menangani permasalahan kampanye media sosial. Menurut dia, hal inilah yang perlu ditekankan, khususnya bagi Bawaslu, agar optimal mengawasi kampanye termasuk di media sosial untuk tetap menaati peraturan.
"Penelitian ini memberikan beberapa butir rekomendasi yang dikelompokkan dalam dua aspek, yakni regulasi dan implementasi kebijakan," kata Adinda.
Ia mengatakan pada aspek regulasi, TII memberikan lima rekomendasi. Pertama, KPU dan Bawaslu perlu membuat peraturan teknis untuk pemilu dan Pilkada yang secara spesifik mengatur kampanye politik di media sosial dan menyelaraskan peraturan-peraturan yang telah ada.
Kedua, Bawaslu perlu memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye politik di media sosial.
"Misalnya, dengan mengumumkan kepada publik secara berkala tentang kasus pelanggaran kampanye di media sosial dan mengeluarkan peringatan kepada peserta yang melanggar peraturan kampanye," kata Adinda.
Ketiga, lanjut dia, KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan sosialisasi mengenai aturan mengenai kampanye politik di media sosial kepada para peserta Pemilu agar dapat dipatuhi dengan baik.
Keempat, KPU perlu mengatur mengenai standar transparansi dan akuntabilitas iklan kampanye politik.
Pengaturan ini dinilai akan menjadi landasan untuk mengawasi bahwa partai politik, kandidat, tim kampanye, maupun platform media sosial transparan mengenai metode iklan politik berbayar maupun dana kampanye yang dikeluarkan untuk metode tersebut.
"Kelima, pemerintah perlu menyusun regulasi khusus yang mengatur praktik transparansi dan akuntabilitas tata kelola platform media sosial dengan mengacu pada standar-standar internasional," ucap Adinda.
Lalu, pada aspek implementasi kebijakan, TII mengajukan empat rekomendasi.
Pertama, KPU dan Bawaslu perlu menyamakan persepsi mengenai definisi kampanye, definisi media sosial, materi kampanye, metode kampanye, larangan kampanye, iklan kampanye, serta sanksi pelanggaran kampanye di media sosial.
Kedua, KPU dan Bawaslu perlu meningkatkan sosialisasi di segenap perangkatnya, baik di pusat maupun daerah, terkait peraturan tentang kampanye di media sosial untuk menyamakan persepsi, sikap, dan langkah dalam penerapan kebijakan, khususnya dalam menyediakan dukungan sumber daya yang memadai dalam pelaksanaan peraturan ini.
Ketiga, KPU, Bawaslu, dan Kemenkominfo bersama masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya didorong untuk meningkatkan literasi digital, serta literasi politik dan literasi Pemilu kepada masyarakat.
Keempat, KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan kolaborasi dengan masyarakat sipil, PSE media sosial, dan para pemangku kepentingan lainnya, untuk mensosialisasikan peraturan tentang kampanye politik di media sosial kepada masyarakat.
Sementara itu, anggota KPU August Mellaz mengatakan penelitian oleh TII tersebut dinilai relevan dengan kebutuhan KPU untuk mendapatkan masukan dalam membuat Rancangan Peraturan KPU tentang Kampanye.
August mengatakan bahwa pilihan kebijakan yang diambil terkait dengan penataan kampanye di media sosial, sama halnya dengan kebijakan pada umumnya, juga akan merujuk pada payung hukum yang ada.
August juga merespons salah satu masukan penelitian terkait penguatan sanksi administratif. Ia mengatakan saat ini telah ada kesepahaman dari para pemangku kebijakan agar tidak dengan mudah menggunakan sanksi pidana, termasuk dalam pelanggaran kampanye.
"Sangat baik jika ada penguatan sanksi administratif untuk pengaturan kampanye pada Pemilu 2024," pungkas August.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri