Menuju konten utama
Misbar

The Bear: Segelas Soda Gembira di Tengah Lautan Es Kopi Susu

The Bear berkisah tentang seorang chef muda yang pulang kampung untuk mengurus kedai sandwich warisan kakaknya.

The Bear: Segelas Soda Gembira di Tengah Lautan Es Kopi Susu
Poster The Bear. FOTO/IMDB

tirto.id - Carmen "Cammy" Berzatto terbangun dari mimpi buruknya. Bel berdentang. Jam berdetak. Telepon berdering. Dari sana hari dimulai. Hari-hari penuh kekacauan Carmen yang dipepatkan dalam delapan episode serial The Bear.

Carmen (Jeremy Allen White) adalah seorang chef muda cemerlang peraih penghargaan James Beard Award —semacam Grammy Award untuk para chef, pengusaha restoran, dan jurnalis— dan bekerja di sebuah restoran fine dining di New York.

Hidupnya berubah ketika kakaknya, Michael, bunuh diri. Meninggalkan utang 300 ribu dolar, serta sebuah kedai sandwich, The Original Beef of Chicagoland. Michael berwasiat untuk mewariskan kedai itu ke Carmen. Sang adik memutuskan menjalankan wasiat itu, mengemasi barang dan karier gemerlapnya, kembali ke Chicago dan memulai segalanya dari awal.

Seperti semua yang dimulai dari nol, Carmen menghadapi banyak aral.

Dimulai dari para staf dapurnya. Ada Richie Jerimovich (Ebon Moss-Bachrach) yang keras kepala, ngawur, dan suka seenaknya sendiri. Ada pula Tina (Liza Colon-Zayas) yang merasa sudah punya sistem dan enggan diatur. Dari departemen roti, ada Marcus (Lionel Boyce) yang terinspirasi untuk belajar dunia pastry dan kue dengan lebih serius berkat kedatangan Carmen.

Carmen kemudian berusaha pelan-pelan mengubah kultur kerja di kedai itu. Dimulai dengan memanggil satu sama lain dengan sebutan chef. Kemudian para pekerja diberi apron dengan warna senada. Carmen juga perlahan menerapkan sistem chain command yang jamak dipakai di restoran fine dining.

Untuk menerapkan disiplin dan sistem brigade de cuisine itu, Carmen bertemu dengan orang yang tepat: Sydney Adamu (Ayo Edebiri), seorang sous chef muda lulusan The Culinary Institute of America yang pernah bekerja di beberapa restoran fine dining populer.

Tentu perubahan ini membawa resistensi di sana-sini. Seperti resep yang digunakan, misalnya. Para punggawa The Original Beef ngotot bahwa resep yang mereka pakai tak bisa tergantikan, dan tak perlu digantikan. Begitu pula dengan cara dan urutan memasak.

“Kami punya sistem! Jangan mengacaukan tempat kami!” teriak salah satu juru masak di Original Beef, Ebraheim (Edwin Lee Gibson).

Richie yang merupakan sahabat Michael berkali-kali meledek pendekatan Carmen —termasuk memanggilnya Bobby Flay, nama seorang celebrity chef— yang dianggap sangat elitis dan tak adaptif. Sedangkan Tina memilih menghindar dari konfrontasi versus Carmen dengan cara pura-pura tak bisa Bahasa Inggris, meski tetap nyinyir —mengganti panggilan chef dengan Jeff— dan memilih melawan langsung Sydney yang dianggapnya anak bau kencur yang mau mengganti sistem.

Kutub-Kutub yang Bertabrakan

Kisah benturan dua kutub selalu menjanjikan jalan cerita yang menarik, termasuk di film bertema kuliner. Benturan-benturan ini menjadi motor bagi film-film seperti Eat Drink Man Woman (Ang Lee, 1994), Big Night (Campbell Scott dan Stanley Tucci, 1996), Mostly Martha (Sandra Nettelbeck, 2001), The Ramen Girl (Robert Ackerman, 2008), hingga Today’s Special (David Kaplan, 2009).

Benturan yang terjadi beragam wujudnya.

Dalam Eat Drink Man Woman, benturan ini berupa perbedaan nilai yang dianut oleh Zhu, sang ayah yang merupakan head chef sebuah restoran Cina besar, dengan tiga orang putrinya. Yang paling kentara adalah perang dingin antara Zhu dengan Jia-Chien, anak keduanya yang ingin jadi head chef seperti ayahnya tapi ditolak mentah-mentah karena menganggap pekerjaan itu tak cocok untuk perempuan.

Sedangkan Big Night dan Mostly Martha membenturkan dua sifat karakter utama yang bertolak belakang.

Di Big Night, kisah itu terjadi di restoran Italia di New Jersey bernama Paradise. Primo sang chef yang keras kepala dan idealis, beberapa kali berdebat dengan adiknya, Secondo yang merupakan manajer restorannya. Tema debatnya: apakah rasa masakan Italia harus disesuaikan dengan lidah orang AS, atau sebaliknya, biar orang AS yang belajar cita rasa Italia yang sesungguhnya.

Karakter di Mostly Martha juga demikian bertolak belakang. Martha Klein adalah chef di Lido, sebuah restoran fine dining di Hamburg. Ia perfeksionis, kaku, dan obsesif. Sifat-sifat ini membawa banyak tekanan terhadap dirinya, juga orang-orang dekatnya. Suatu saat, dia kedatangan sous chef bernama Mario, yang santai, ceria, dan menganggap dapur adalah arena bermain dan bersenang-senang.

Yang juga menyenangkan untuk disimak adalah benturan di Today’s Special. Latar belakang film ini tak beda jauh dengan premis The Bear. Seorang chef India dengan karier mentereng di restoran fine dining, harus menggantikan sang ayah yang jatuh sakit, dan terpaksa menjalankan restoran India yang nyaris bangkrut.

Friksi-friksi semacam itu juga diterapkan di The Bear, dan berhasil.

Infografik The Bear

Infografik The Bear. tirto.id/Quita

Carmen yang merupakan gambaran chef restoran fine dining, dengan semua ilmu, disiplin, dan nilai-nilai yang ia pegang teguh, harus berhadapan dengan kedai sandwich tua yang segalanya jauh dari kata ideal —bahkan mendapat nilai C dari pengawas kelayakan dan kesehatan.

Sistem dan nilai-nilai yang diimpor Carmen dari dapur bersih dan modernnya, tampak tak berdaya melawan institusi berantakan yang sudah lebih dulu mapan dan berjalan. Pendekatannya mental melawan oven rusak, ketiadaan modal, sumber daya manusia yang ogah berubah dengan cepat, hingga tumpukan utang yang menghantui.

Friksi lain adalah perkara relasi antar manusia.

Di dapur lamanya, ada sistem dan hierarki yang absolut. Chef de cuisine adalah Tuhan, semua perintahnya adalah firman yang tak boleh dibantah. Di satu sisi, sistem ini dianggap efisien dalam menjalankan restoran. Di sisi lain, sistem ini bikin banyak pekerja dapur merasa stres dan depresi karena seringkali tak dianggap sebagai manusia berdaya.

Sistem seperti itu tak berlaku di The Original Beef yang egaliter (jam makan bareng para pekerja disebut dengan family, menggambarkan semua orang adalah keluarga). Semua pekerja setara sebagai manusia merdeka dari berbagai latar belakang. Tak ada yang lebih superior ketimbang lainnya. Seorang pencuci piring bisa saja memakimu cunt, lalu melemparmu dengan piring yang masih berlumuran sabun, jika kamu kurang ajar dan tak menghormati pekerja lain.

Cara seperti itu punya banyak keuntungan. Selain memanusiakan sesama pekerja, rasa memiliki juga akan tumbuh kuat. Namun, sistem seperti ini juga bisa memunculkan apa yang disebut sebagai cultural conflict, konflik yang lahir karena benturan norma dan nilai-nilai yang berbeda.

Narendra Singh Chaudhary dan Radha Yadav menyebut konflik seperti ini bisa menghadirkan, “…tantangan yang tak diharapkan." Tantangan yang dimaksud merentang dari gesekan hingga benturan, jelas bisa berpengaruh ke suasana kerja.

Ini juga dialami oleh Carmen dan Sydney, yang mewakili kultur fine dining, dengan tim The Original Beef yang datang dari kultur semau-gue-yang penting-makanannya enak.

Cepat dan Singkat

Sebagai sebuah serial, setiap episode The Bear terbilang punya durasi singkat, rata-rata 30 menit saja. Konsekuensinya, dengan delapan episode, Christopher Storer sang kreator, harus menghadirkan cerita yang sangkil dan mangkus. Maka tak heran kalau pilihannya adalah pace yang cepat. Laju seperti ini seperti menggambarkan suasana dapur yang memang selalu digambarkan kilat, sat set, dan minim ruang bagi kesalahan, keleletan, dan improvisasi.

Cara bercerita yang cepat —seperti satu titik tiap dua tiga kata dalam tulisan— ini menghadirkan ketegangan yang cukup intens. Ditambah lagi cara pengambilan gambar yang kerap menampilkan zoom, dan berganti gambar dengan cepat. Seakan kita turut berada di dalam dapur sempit yang pengap dan kacau itu.

Sayang, kecepatan bercerita seperti yang dipilih oleh Storer ini tak jarang mengorbankan beberapa logika cerita. Salah satu yang paling mengundang pertanyaan adalah perihal utang Michael, dan untuk apa 300 ribu dolar yang ia pinjam ke pamannya. Membuat penonton mungkin bertanya-tanya, “Apaan sih?”

Di luar satu dua logika cerita yang mungkin perlu dipertanyakan, serial ini kuat dalam perkara akting para pemainnya.

Penampilan White mau tak mau mengingatkan saya pada penampilan ikoniknya sebagai Lip Gallagher di serial Shameless: sama-sama jenius, sama-sama bocah Chicago, dan sama-sama terjebak dalam keluarga berantakan. Aktingnya sebagai chef jenius yang harus menghadapi banyak tekanan, terasa begitu memukau. Begitu pula dengan sparring partnernya, Moss-Bachrach yang tampil mengesankan sebagai seorang “senior” yang belagu, konservatif, tapi di sisi lain juga punya kerapuhannya sendiri.

Secara keseluruhan, The Bear adalah sebuah serial yang segar. Di tengah arus peak TV, serial-serial dengan penuturan lambat dan durasi panjang, beragam serial populer berbiaya bombastis, juga serial yang mengandalkan plot twist, The Bear justru tampil tanpa pupur berlebihan. Ia tampil lugas, tanpa basa-basi, dengan penyajian cerita lurus tanpa banyak berbelok, dan karenanya jadi sesuatu yang memuaskan.

Di tengah lautan es kopi gula aren, The Bear adalah es soda gembira. []

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Lilin Rosa Santi