tirto.id - Sekali waktu pertengahan dekade 1980-an, seorang pria yang dikenal bandar judi togel di Mataram bertandang ke Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan di Pancor, Selong, Lombok Timur. Nada bicaranya bikin orang ngajak berantem. Di halaman muka pesantren, ia berteriak, “Mana Tuan Guru Pancor? Mana Tuan Guru Pancor?”
Sosok yang disebut tuan guru itu menemui si pria. Mendengarkan keluh kesahnya.
“Tuan guru, dagangan saya susah, usaha tidak ada yang jalan.”
Kemudian si pria putus asa itu justru mengakhiri curhatnya dengan satu pertanyaan tolol: “Kira-kira nomor togel yang keluar besok berapa tuan guru?”
Blunder! Bukannya mendapat jawaban, ayunan tongkat melayang ke badan si pria. Lucunya, pria itu malah tertawa girang seraya lari tunggang-langgang.
“Dipukul dia lari sambil ketawa-tawa. Maulana Syaikh juga ketawa saja tidak marah,” kata Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi saat menceritakan kembali peristiwa yang ia saksikan langsung itu kepada saya, Kamis sore kemarin.
Fragmen peristiwa yang diceritakan Zainul sebetulnya menjelaskan sejumlah hal tentang sosok Zainuddin sebagai tuan guru. Ia sosok egaliter yang tahu kapan saatnya menasihati orang dengan dalil agama, dan kapan saatnya menasihati orang dengan “tindakan”.
“Beliau sangat terbuka. Siapa pun beliau terima,” ujar Zainul, satu dari 13 cucu Zainuddin.
Tuan Guru Pancor hanyalah satu dari sejumlah gelar kehormatan yang diberikan kepada pria bernama lengkap Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Istilah tuan guru lazim diberikan kepada ahli dan pendakwah agama Islam di Pulau Lombok—serupa sebutan kiai di Pulau Jawa.
Selain Tuan Guru Pancor, masyarakat Pulau Lombok menggelarinya Tuan Guru Kiai Haji (TGKH), Maulana Syaikh, dan Abul Masajid wal Madaris (bapak masjid dan madrasah). Kamis kemarin, 9 November, gelar-gelar itu bertambah satu: Pahlawan Nasional Indonesia.
Seorang Pengajar
Gelar pahlawan nasional yang dikukuhkan Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk Zainuddin menjadi gelar yang pertama bagi masyarakat NTB. Penganugerahan ini tak lepas dari kontribusinya semasa hidup.
Zainuddin lahir pada 5 Agustus 1898 di Pancor. Ia dikenal sebagai ulama, pejuang, dan pelopor pendidikan di Pulau Lombok, khususnya Lombok Timur.
Dalam bidang pendidikan, Zainuddin adalah orang pertama di NTB yang memperkenalkan penggunaan kursi dan meja dalam belajar agama. Sistem ini ia terapkan pada lembaga pendidikan di Madrasah Nahdlatul Wathan Diniah Islamiyah dan Madrasah Nadhlatul Banat Diniah Islamiyah. Kedua lembaga ini didirikan Zainuddin selepas kembali dari belajar di Madrasah As-Saulatiyyah Makkah.
“Sebelum beliau, pendidikan keislaman sangat tradisional, model bersila sorogan. Ketika beliau datang kemudian membangun sekolah pertama yang menggunakan kursi dan bangku,” kata Zainul.
Kedua lembaga itu menganut asas Ahlussunnah wal Jamaah. Bagi Zainuddin, asas ini solusi mempertemukan dua kutub ekstrem dari kelompok yang menganggap dunia segalanya dan yang menganggap kepasrahan segalanya.
Baca juga:Nahdlatul Wathan Cikal Bakal Nahdlatul Ulama dan Yang Bukan
Pilihan nama Nahdlatul Wathan untuk lembaga pendidikannya juga bukan tanpa alasan.
Zainul menerangkan Nahdlatul Wathan, yang dalam bahasa Indonesia ‘kebangkitan tanah air’, menunjukkan semangat sang kakek dalam menyatukan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.
“Jadi beliau selalu menyampaikan perjuangan kita ibarat satu mata uang logam ada dua sisi yang tak bisa terpisahkan, yaitu keindonesiaan dan keislaman,” ujarnya.
Lebih dari sekadar tempat belajar ilmu keagamaan, kedua institusi ini juga digunakan Zainuddin sebagai basis perlawanan terhadap penjajahan. Saat perang revolusi kemerdekaan, Zainuddin bersama para guru menginisiasi pembentukan “Gerakan al-Mujahidin”.
Bersama gerakan-gerakan rakyat lain di Pulau Lombok, al-Mujahidin berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan Sukarno-Hatta di Jakarta. Ia memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong pada 7 Juli 1946.
Dalam peristiwa ini adik kandung Zainuddin, yakni TGH Muhammad Faizal Abdul Majid, gugur bersama dua santri.
“Adik beliau orang pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Rinjani, Selong,” kata Zainul.
Dunia Politik
Selepas penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, Zainuddin aktif di dunia politik. Ia menjadi anggota Konstituante hasil Pemilu 1955 dari Partai Masyumi. Dari sidang-sidang konstituante, Zainuddin kemudian mengenal sosok M. Natsir yang kemudian ia kagumi.
“Baginya Natsir adalah orang hebat dan lawan merindukan kehadirannya,” ujar Zainul.
Baca juga:Masyumi dan Ilusi Persatuan Umat Islam
Selain Natsir, Zainul mengatakan kakeknya mengagumi sosok Sukarno dan Soeharto. Baginya, tanpa Sukarno, Indonesia mungkin tidak akan meraih kemerdekaan. Sedangkan tanpa Soeharto, Indonesia mungkin akan jatuh dalam kekuasaan komunis.
Selepas jatuhnya kekuasaan Sukarno, Zainuddin menjadi salah satu mobilisator utama pemenangan Golkar di NTB. Rezim militer Soeharto memintanya memobilisasi dukungan ulama Lombok untuk pemenangan Golkar pada pemilu 1971. Ia setuju dan kemudian menjadi manajer kampanye Golkar di Lombok Timur untuk pemilihan parlemen nasional 1971 dan 1977.
“Golkar memenangkan mayoritas di Lombok pada kedua pemilihan tersebut, dan TGH Abdul Madjid mewakili provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Musyawarah Nasional Majelis Permusyawaratan Rakyat,” tulis John M. Macdougall dalam artikel “Criminality and The Political Economy of Cecurity in Lombok”, dalam Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia (ed. Gerry van Klinken; 2007)
Memasuki dekade awal 1980-an, hubungan Golkar dan umat Islam mulai menunjukkan ketidakharmonisan. Hal ini turut merembes pada sikap antipati kebanyakan ulama di Lombok Timur terhadap Golkar.
Abdul Madjid akhirnya memilih berhenti menjadi manajer kampanye Golkar.
“Pada 1982, bagaimanapun, pada saat banyak pemimpin Muslim tidak bahagia dengan kebijakan pemerintah Soeharto, TGH Abdul Madjid mengumumkan menyerahkannya kepada pengikut Nahdlatul Wathan untuk menentukan pilihan mereka sendiri,” kata Macdougall.
Baca juga:Bagaimana Sukarno Menciptakan (Partai) Golkar?
Selepas dari dunia politik, Zainuddin kembali aktif di dunia pendidikan. Ia mendirikan sejumlah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan—sebut saja: Ma'had li al-Banat, Universitas Hamzanwadi, menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi, mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi, STKIP Hamzanwadi, Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Hamzanwadi, Yayasan Pendidikan Hamzanwadi, Universitas Nahdlatul Wathan Mataram, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi, Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah Hamzanwadi, Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri, dan Institut Agama Islam Hamzanwadi.
Salah satu ajaran Zainuddin yang ditanamkan kepada murid-muridnya adalah pentingnya membangun kemandirian tanpa bergantung kepada pemerintah. Hal ini tercermin dari pembangunan gedung perpustakaan Birrul Walidain Nahdlatul Wathan sejak 1987 dan baru selesai pada 2002 selepas ia meninggal.
Pada awal pendirian perpustakaan itu, salah seorang murid Zainuddin bertanya mengapa sang guru tidak meminta bantuan pemerintah agar pembangunan lekas selesai. Dengan menggunakan bahasa Sasak, Zainuddin menjawab hal itu tidak ia lakukan karena ingin setiap muridnya berperan dalam kebaikan.
“Salah satu esensi [jawaban] itu membangun ketahanan masyarakat. Daya masyarakat yang harus ditumbuhkan bukan bergantung pada pemerintah.Masya Allah, itu dalam sekali,” kata Zainul, yang mendengarkan langsung dialog tersebut.
Semangat mengajar Zainuddin sempat mengundang kekhawatiran dua dokter. Mereka mengingatkan Zainuddin berhenti berkeliling kalau tak ingin lekas tutup usia. Tapi Zainuddin menampik saran itu. Ia menilai bahwa berkeliling adalah obat mujarab menjaga napasnya tetap panjang. Di saat berkeliling itulah, katanya, seluruh persendiannya terus bergerak. Terbukti, kedua dokter itu justru lebih dulu mangkat ketimbang Zainuddin.
Pada 21 Oktober 1977, dalam usia 99 tahun, Zainuddin tutup usia. Warisan perjuangannya tersebar dalam bentuk 1.060 sekolah Nahdlatul Wathan di 18 provinsi.
“Matahari guruku, sebagaimana matahari yang tidak pernah berhenti memancar, aku juga tidak akan pernah berhenti mengajar.”
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam