tirto.id - Seorang pemuda bernama Alimudin Baharsyah ditangkap polisi pada 3 April 2020 sekitar pukul setengah sembilan malam. Ia diduga menghina Presiden Joko Widodo karena berniat menetapkan status darurat sipil untuk menangani pandemi COVID-19.
"Ini ada virus, darurat kesehatan, kok yang diterapin malah kebijakan darurat sipil? Emang ada perang? Ada kerusuhan? Ada pemberontakan? Heran deh," katanya lewat video. Dalam video itu ia juga menyebut presiden "gobl*k."
Pemilik akun Twitter @alibaharsyah007 ini dikenakan pasal tentang diskriminasi ras dan etnis, berita bohong, dan penghinaan terhadap penguasa. Ia kini resmi berstatus tersangka dan ditahan di sel Bareskrim Polri.
Darurat sipil sendiri--yang memberikan kekuasaan yang besar terhadap aparat keamanan--tidak jadi diterapkan. Pemerintah lebih memilih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dua bulan sebelumnya, pada awal Februari, polisi menangkap KR dan FB di Balikpapan, Kalimantan Timur, karena mengunggah status di Facebook yang menyatakan ada pasien terjangkit virus Corona di Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo. Pasien pertama terjangkit COVID-19 baru diumumkan awal Maret, dua orang anak-ibu asal Depok, Jawa Barat.
Polisi memang gencar menyisir penyebar hoaks tentang virus itu. Hingga 21 April ada 96 kasus yang mereka usut. 24 kasus ditangani Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur; 9 kasus ditangani Polda Riau; 12 kasus diselidiki Polda Jawa Barat dan Bareskrim Mabes Polri; dan sisanya di polda lain.
"Motif yang dilakukan oleh para pelaku adalah iseng, bercanda, dan ketidakpuasan terhadap pemerintah," kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono di Mabes Polri, kemarin lusa (22/4/2020).
Para terduga pelaku dijerat Pasal 45a UU 19/2016 tentang Perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Kemudian Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dengan ancaman 10 tahun penjara; serta Pasal 16 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dengan ancaman lima tahun penjara.
SAFEnet, perkumpulan yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara, dibentuk karena meluasnya kriminalisasi terhadap pengguna internet setelah diberlakukannya UU ITE, menyebut orang-orang ini semestinya tidak langsung "dihukum dengan jeratan undang-undang atau penjara."
Anggota Tim Monitoring SAFEnet Abul Hasan Banimal mengatakan alasannya adalah kerapkali orang-orang punya kecenderungan "ingin tampil" karena selama ini "sudah terbukti banyak orang mendadak terkenal dari perilaku itu." Dengan kata lain, tidak selamanya bermotif buruk.
"Orang-orang yang tidak tahu itu, seolah mereka ingin jadi [pihak] pertama yang mengabarkan sebuah kejadian, walau kadang dibumbui drama. Mereka ingin eksis di lingkaran sendiri," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (22/4/2020).
Apa yang perlu dilakukan adalah mengajarkan mereka bagaimana cara menyebarkan informasi di dunia maya.
"Banyak hal yang bisa dilakukan untuk sosialisasi mengenai bagaimana berperilaku di medsos, juga hak-hak digital seseorang, berikut hak berekspresi," kata Banimal.
SAFEnet sendiri mendata ada 39 orang ditangkap karena dituding menyebar hoaks soal COVID-19. Banimal mengatakan dasar pendataan tersebut adalah pemberitaan media massa. Angkanya berbeda dengan versi polisi karena "tidak semua [kasus] terpublikasi, ada beberapa yang belum diketahui media."
Banimal menduga kasus yang tidak diberitakan media karena terduga pelaku hanya diperiksa lalu dikenakan wajib lapor. Faktor lainnya semisal penangkapan itu dinilai isu lokal sehingga wartawan luput memberitakan.
Hasil pemantauan SAFEnet sejak 2 Februari hingga 19 April menyebut platform terbanyak yang dipakai dan lantas diperkarakan polisi adalah Facebook, jumlahnya 27. Ada pula YouTube (3), Instagram (1), dan Whatsapp (8).
Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyatakan per 19 April ada 560 isu hoaks soal Corona. Persebarannya mencapai 1.222 kasus di empat media sosial, Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube.
Tangkap-Periksa-Wajib Lapor
Hibnu Nugroho, guru besar bagian hukum acara pidana dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, menyatakan aparat harus memiliki indikator yang jelas soal hoaks sebelum memproses terduga pelaku.
"Patroli Siber harus tahu betul, apakah [informasi] ini bentuk penyesatan masyarakat atau mengadu domba? Harus ada klasifikasi hoaks," katanya kepada reporter Tirto. Kejelian penyidik dimulai dari kejelasan indikator hoaks agar tidak terjebak dalam sistem peradilan tidak berkesudahan.
Saat ini menurutnya proses tangkap-periksa-wajib lapor cukup untuk menangani semua perkara. Pertimbangannya adalah karena situasi pandemi sekarang, kapasitas tahanan yang penuh, dan program asimilasi dan integrasi narapidana. Namun jika misalnya pelaku mengulanginya lagi, maka ia baru dapat dipertimbangkan untuk ditahan.
"Penyidik harus ada batasan, peringatan penting. Bentuk tindakan alternatif [pada masa pandemi] penting sekali," tegasnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino