tirto.id - Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah yang berkantor di Semarang, Yofi Okatrisza, dituntut pidana penjara 4 tahun oleh Penuntut Umum KPK di Pengadilan Tipikor Semarang, Kamis (13/2/2025).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Agus Prasetya Raharja, menyatakan, terdakwa Yofi Okatrisza terbukti menerima suap dengan total Rp55,4 miliar dari para kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek perkeretaapian di Jawa Tengah dan DIY.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan," ucapnya saat membacakan berkas tuntutan di hadapan Majelis Hakim, Kamis (13/2/2025).
JPU KPK meyakini terdakwa menerima suap Rp55,4 miliar sebagaimana fakta-fakta yang telah terungkap di persidangan. Ia tidak sependapat dengan dalih terdakwa yang mengaku hanya menerima Rp30,6 miliar.
"Bantahan terdakwa tidak berkesesuaian dengan alat bukti, sehingga harus dikesampingkan," tutur Penuntut Umum.
JPU KPK juga menuntut agar terdakwa Yofi Okatrisza dihukum membayar uang pengganti kerugian negara senilai suap yang ia terima.
"Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp55,4 miliar," tegasnya.
Nilai uang pengganti tersebut dikurangi dengan hasil sitaan berupa deposito, logam mulia, properti, dan kendaraan terdakwa dengan nilai Rp34,06 miliar. "Sehingga uang pengganti yang dibenankan kepada terdakwa sejumlah Rp21,3 miliar," imbuhnya.
Apabila uang pengganti itu tidak dibayar dalam waktu sebulan setelah putusan inkrah, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kerugian negara. Jika tidak cukup, diganti dengan 2 tahun 2 bulan kurungan.
Menurut JPU KPK, tuntutan hukuman terdakwa Yofi Okatrisza sebanding dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan. Kata dia, ada beberapa pertimbangan yang memperberat dan meringankan tuntutan hukuman terdakwa.
Pertimbangan yang memberatkan, yakni perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Perbuatan terdakwa merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah.
Adapun pertimbangan yang meringankan hukuman terdakwa yaitu terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, terdakwa bersikap sopan, dan menghargai persidangan.
Terdakwa dinilai terbukti melakukan pidana Pasal 12 Huruf b jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Dalam tuntutannya, Penuntut Umum KPK menyetujui permintaan Yofi untuk menjadi justice collaborator atau pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap keterlibatan pihak-pihak lain.
"Menyetujui, menetapkan Yofi Okatrisza sebagai pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator dalam tindak pidana korupsi," jelas Penuntut Umum.
Sebelumnya Yofi mengaku, selama menjabat sebagai PPK pada kurun waktu 2017-2020 telah menerima pemberian di luar pendapatan resminya sebagai ASN. Ia menerima fee sebagai imbalan atas pengondisian proyek-proyek perkeretaapian.
Yofi mengungkap bahwa penerimaan fee tidak hanya dilakukan olehnya, melainkan juga para pejabat lain di bawah naungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Dalam sidang sebelumnya, terdakwa buka-bukaan menyatakan bahwa uang korupsi juga mengalir ke atasannya mulai dari Kepala BTP Semarang, Direktur Sarana Transportasi Jalan Kemenhub, hingga Inspektur Jenderal Kemenhub.
Ada juga jatah fee yang diberikan secara rutin untuk auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memeriksa pekerjaan perkeretaapian. Besaran fee biasanya kisaran 1 persen hingga 1,5 persen dari nilai proyek.
Bahkan, aliran fee hasil pengondisian proyek juga digunakan untuk membiayai kampanye Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Nama eks Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, beberapa kali disebut dalam persidangan korupsi ini.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Andrian Pratama Taher