Menuju konten utama

Tepatkah Insentif Rp600 Ribu untuk Buruh Bergaji di Bawah Rp5 Juta?

Data BPJSK sebagai basis BLT karyawan bergaji di bawah Rp5juta dinilai tidak tepat, nasib karyawan tidak terdaftar terabaikan.

Tepatkah Insentif Rp600 Ribu untuk Buruh Bergaji di Bawah Rp5 Juta?
Sejumlah pekerja di kawasan Sentral Senayan, Jakarta yang masih beraktivitas di masa pandemi Covid-19 pada Rabu (1/4/20). Meski pemerintah menganjurkan pembatasan aktivitas di luar rumah, ada beberapa pekerja yang pekerjaannya menuntut mereka masuk kantor. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Pemerintah berencana memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada karyawan swasta dengan gaji di bawah Rp5 juta. Mereka nantinya bakal menerima transfer tunai Rp600 ribu per bulan selama empat bulan.

Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Erick Thohir mengatakan ada 13,8 juta pekerja yang bakal mendapatkan bantuan ini. Datanya diambil dari BPJS Ketenagakerjaan. Kriterianya mereka bukan PNS-pekerja BUMN dan memiliki iuran di bawah Rp150.000/bulan. Total anggaran yang dipersiapkan pemerintah mencapai Rp31,2 triliun.

Lewat keterangan tertulis, Kamis (6/8/2020), Erick, juga berstatus Menteri BUMN, mengatakan bantuan ini “untuk mendorong konsumsi masyarakat.” Harapannya dengan demikian ekonomi Indonesia cepat pulih di tengah pandemi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan bantuan ini diberikan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III (Q3) 2020 bisa positif. Angka positif di Q3 penting untuk menghindari resesi teknikal. Pada Q2 2020 pertumbuhan ekonomi minus 5,32%, alias terburuk sejak 1999.

Di samping BLT ini, pemerintah juga menambah bantuan lain seperti bansos produktif untuk usaha mikro sampai perpanjangan bantuan bagi rakyat miskin hingga Desember 2020 meski nilai manfaatnya dikurangi.

Ia juga mengatakan penambahan bantuan sosial (bansos) ini juga dapat mempercepat realisasi anggaran PEN yang masih sangat lamban.

Pada Rabu (5/8/2020), belanja penanganan COVID-19 baru terealisasi 21% dari pagu Rp695 triliun. Sekitar Rp238,9 triliun bahkan tak punya dokumen anggaran akan digunakan untuk apa. Rinciannya, anggaran kesehatan baru terealisasi 7,79% dari Rp87,55 triliun; perlindungan sosial 41,84% dari pagi Rp203,91 triliun; sektoral 6,97% dari Rp106,05 triliun; UMKM 24,47% dari Rp123,47 triliun; pembiayaan korporasi nol; dan insentif usaha 13,43% dari Rp120,61 triliun.

“Berbagai langkah dilakukan sampai Agustus 2020, PEN masih dirasa perlu ditingkatkan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).

Timbul Masalah Baru

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai BLT untuk pekerja berupah di bawah Rp5 juta ini akan sia-sia. Ia bilang alih-alih untuk konsumsi, BLT malah akan disimpan untuk keperluan mendesak di masa depan.

Ia mengatakan para pekerja ini bakal menyimpan uang karena pada dasarnya kemampuan finansial mereka masih memadai. Dengan kata lain, salah sasaran.

“Kalau jadi simpanan menghadapi resesi tentu saja ekonomi akan mandek atau stagnan,” ucap Tauhid dalam konferensi pers virtual, Kamis (6/8/2020).

Tauhid beralasan batas gaji Rp5 juta itu terlalu tinggi, padahal menurut Badan Pusat Statistik (BPS) upah buruh saja rata-rata Rp2,92 juta. Artinya, dalam rentang Rp2,9-5 juta, ada banyak yang masih mampu dengan asumsi mereka tidak dirumahkan atau di-PHK.

Ia juga menyoroti batas gaji Rp5 juta yang notabene bukan penghasilan orang miskin. Menurutnya mereka yang berpenghasilan di bawah Rp2,3 juta justru lebih berhak apalagi jika pemerintah tidak ingin terjadi lonjakan kemiskinan akibat COVID-19.

Ia bilang penghasilan yang rendah membuat kebutuhan mereka hanya dapat dipenuhi dalam beberapa hari dan minggu. Lewat tambahan uang, sumber penghasilan mereka bisa dialihkan untuk non makanan seperti pendidikan-kesehatan.

Tauhid juga menilai pemilihan data BPJS Ketenagakerjaan sebagai basis BLT bermasalah. Ia mempertanyakan nasib mereka yang ekonominya kesulitan tapi tak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan akibat terkena PHK, dirumahkan, habis kontrak, dan tak terdata oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

Menurut Bappenas, per Selasa (28/7/2020) saja sudah ada tambahan 3,7 juta penganggur. Dengan data BPS per Februari 2020 6,88 juta, maka diperkirakan sudah ada 10,58 juta penganggur. Data whitelist Kemnaker justru baru mencatat sekitar 1,7 juta penganggur.

Tauhid juga menyoroti nasib pekerja informal yang setahunya banyak tak terdaftar. BPJS Ketenagakerjaan per Januari 2019 mencatat hanya ada 2,4 juta pekerja informal yang terdaftar, padahal potensinya 60 juta.

“Ada ketidakadilan jika itu diterapkan dan kenapa hanya peserta BPJS yang dijadikan dasar,” ucap Tauhid.

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan menilai uang sebanyak itu masih bisa disalurkan untuk keperluan lain yang juga mendesak seperti subsidi pulsa siswa-siswi di daerah yang kesulitan internet.

Ia juga meminta pemerintah memperhatikan lebih dulu korban PHK, mereka yang menganggur dan kesulitan mendapat kerja, sampai orang miskin. Jangan sampai ketika ekonomi Q3 tumbuh positif secara nominal, tetapi masyarakat di daerah, korban PHK, dan orang miskin justru terabaikan.

“Jangan sampai muncul kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang sama-sama terdampak oleh pandemi,” ucap Heri dalam keterangan tertulis, Kamis (6/8/2020).

Baca juga artikel terkait STIMULUS EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Reja Hidayat