Menuju konten utama

Tentang Polisi Pengguna Narkoba

Banyak polisi menggunakan narkoba karena berbagai alasan. Di Indonesia, solusi yang menonjol adalah rehabilitasi. Hal ini dianggap kurang tepat.

Tentang Polisi Pengguna Narkoba
Petugas merapihkan barang bukti dalam rilis pengungkapan jaringan narkoba internasional di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (9/12/2021). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Ketergantungan atau kepemilikan narkotika tidak hanya muncul di masyarakat biasa, tapi juga polisi. Namun terdapat perbedaan proses penyidikan perkara di antara keduanya. Polisi, selain tunduk pada peraturan perundang-undangan, juga terkait aturan disiplin dan kode etik.

Jika masyarakat yang terjerat, maka Tim Assessment Terpadu (TAT)--terdiri dari Polri, BNN, Kejaksaan, dan Kemenkumham--akan memutuskan apakah yang bersangkutan direhabilitasi saja atau pidana penjara. Jika memang hanya pemakai atau pencandu, mereka bisa langsung direhabilitasi. Jika terkait dengan sindikat tertentu, maka proses hukum akan diteruskan sampai tingkat pengadilan.

Hasil penilaian bersifat rahasia. Namun, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung, ada indikator pemakaian satu hari yang dapat menentukan apakah seseorang dikenakan pidana atau rehab. Untuk sabu-sabu, misalnya, batasnya adalah 1 gram. Jadi, jika saat tertangkap tangan seseorang memilikinya 1,5 gram saja, dia bisa jadi dikenakan pidana.

Jenis narkotika lain seperti heroin, kokain, atau ganja punya batas lebih besar, dari mulai 1,8 gram sampai 5 gram.

Dalam praktiknya lebih banyak masyarakat umum yang dipenjara ketimbang direhabilitasi. Salah satu indikatornya adalah tindak pidana narkotika berkontribusi besar terhadap kapasitas berlebih lapas. Selain itu rehabilitasi juga tidak jadi opsi utama karena tak semua daerah memiliki tempatnya/panti. Jika ada, itu milik swasta yang berbiaya mahal.

Lalu bagaimana dengan pelaku polisi? Sebuah riset pada 2018 lalu menyebut pidana bagi polisi yang terjerat narkotika bisa lebih berat karena pertimbangan status mereka sebagai penegak hukum.

Masalahnya terletak pada sanksi lain, yaitu penegakan kode etik. Riset tersebut menyebut “sanksi etik belum terlaksana dengan baik,” yaitu Polri tidak langsung menindak tegas anggota. “Seakan-akan pihak kepolisian masih melindungi anggotanya,” demikian tulis riset tersebut.

Kenapa Pakai Narkoba?

“Apa hal paling sederhana yang sering orang salah persepsikan tentang pekerjaanmu?” demikian pertanyaan dari The Marshall Project kepada polisi New York, Amerika Serikat, dalam sebuah wawancara.

Seorang veteran polisi 20 tahun lebih kemudian menjawab singkat: “Orang-orang lupa bahwa kami juga manusia dan kami juga berbuat kesalahan.”

Tak bisa dimungkiri bahwa tekanan pekerjaan polisi cukup berat. Setiap hari mereka harus bergumul dengan kejadian traumatik entah kecelakaan, pembunuhan, atau pemerkosaan--yang bisa menimbulkan stres. Belum lagi jam kerja yang mungkin tidak wajar sehingga menyebabkan kelelahan berlebihan.

“Pekerjaan ini… benar-benar harus dibayar mahal,” kata Kapten Sarah Creighton dari kepolisian San Diego.

Hal ini, menurut catatan Drugrehab, bisa menyebabkan rasa cemas dan depresi yang memicu ketergantungan pada narkotika atau obat-obatan. Kelanjutan dari situasi-situasi ini bisa berujung pada Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Ron Clark, pemimpin dari Badge of Life Police Mental Health Foundation, memperkirakan satu dari delapan polisi di AS menderita PTSD.

Tapi banyak orang biasa juga menggunakan narkoba karena alasan yang sama persis. Satu hal yang membedakan polisi dengan warga biasa adalah mereka memiliki akses terhadap barang tersebut karena kewenangan yang diberikan, lalu kemudian disalahgunakan.

Salah satu liputan Washington Post membeberkan bagaimana hal ini dapat terjadi. Tersebutlah seorang agen Federal Bureau of Investigation (FBI) bernama Matthew Lowry. Latar belakangnya mentereng: meraih gelar sarjana bidang pidana kriminal di Universitas Maryland hanya dalam tiga tahun dengan IPK 3,9 alias lulus dengan status magna cum laude.

Lowry menderita penyakit kolitis atau radang usus yang membuatnya mengonsumsi Hydrocodone atau obat pereda nyeri sejak 2007. Kondisi kesehatan ini yang kelak menuntunnya mencicipi narkoba.

Suatu kali Lowry terlibat dalam operasi “Midnight Hustle” dan “Broken Cord”, keduanya terkait dengan narkotika jenis heroin. Ia sempat menginterogasi salah satu penggunanya.

Pada 2013, sekitar empat tahun setelah lulus dari FBI, dia mengingat kembali omongan orang yang ia interogasi, bahwa mengonsumsi narkotika “sama seperti meminum obat pereda nyeri.” Dia kemudian menepikan sedannya. Mata Lowry beralih ke kantong barang bukti dari kasus pertama yang ia tangani, “Midnight Hustle”. Di sana ada barang haram yang lebih dari cukup untuk membuatnya tak sadar.

Jarinya masuk ke dalam kantong tersebut untuk menyerok 0,25 gram bubuk heroin di dalam kantong. Dia kemudian merobek satu kertas dan digulung menjadi alat bantu sedot. Tak butuh waktu lama, satu baris heroin itu dia isap lewat hidung. Dalam waktu 15 menit, Lowry merasa dirinya membaik.

Semenjak hari itu, hampir setiap hari, dia selalu menggunakan heroin.

Di Indonesia juga ada kasus penyalahgunaan barang bukti narkoba. Seorang polisi di Sumatera Utara mengambil alih sabu, tapi bukan untuk dikonsumsi melainkan dijual kembali. Kasusnya terbongkar dan dia divonis seumur hidup.

Infografik SC Golongan Narkoba dan Psikotropika

Infografik SC - Golongan Narkoba & Psikotropika. tirto.id/Sabit

Rehabilitasi Saja Tidak Cukup

Polisi Indonesia yang menyalahgunakan narkoba mencapai hampir seribu, setidaknya sejak 2018 lalu. Pada saat itu ada 297 polisi yang terjerat. Setahun kemudian naik lebih dari 50 persen menjadi 515. Sampai Oktober 2020, jumlah yang dipecat karena pelanggaran berat, dan sebagian besar di antaranya karena narkoba, mencapai 113.

Di Amerika Serikat, salah satu cara penanganan yang tepat bagi kecanduan ini adalah rehabilitasi dan pemulihan. Sementara proses tersebut berjalan, mereka dibebastugaskan.

Hal serupa juga coba diterapkan di Indonesia. Medio Mei lalu, Polri mengirim 136 anggotanya yang bermasalah dengan narkotika ke satuan Brimob untuk menjalani “pembinaan.” Divisi Propam menganggap dengan cara ini mereka dapat sembuh.

Langkah ini beberapa waktu lalu menuai kritik. Salah satunya karena fokus kerja Brimob bukan untuk rehabilitasi.

Fakta bahwa ada ratusan polisi yang mengonsumsi narkoba membuat ahli hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi tak percaya akar masalahnya adalah sikap masing-masing individu--misalnya tak berintegritas atau tidak bertakwa. Karena itu menurutnya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) semestinya bukan mendorong rehabilitasi, tapi “evaluasi kenapa ada 136 anggota polisi yang menjadi pecandu narkotika. Apa yang salah dengan sistem kepolisian.”

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino