Menuju konten utama

Tenaga Honorer Bisa Jadi PNS, Tapi Masalah Tidak Selesai Seketika

Harus dipastikan berapa kuota yang tersedia untuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Tenaga Honorer Bisa Jadi PNS, Tapi Masalah Tidak Selesai Seketika
Sejumlah guru yang tergabung dalam Forum Honorer Kategori 2 (FHK2) melakukan doa bersama saat unjuk rasa di depan gedung Pemkab Kediri, Jawa Timur, Senin (1/10/2018). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

tirto.id - Presiden Joko Widodo membuat peraturan yang memungkinkan tenaga honorer berusia lebih dari 35 tahun diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Nama aturannya: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Aturan ini membuka peluang seleksi dan pengangkatan bagi berbagai kalangan profesional, termasuk tenaga honorer yang telah melampaui batas usia pelamar PNS, untuk menjadi ASN dengan status PPPK,” kata Jokowi di Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, seperti dikutip dari Setkab.

Dokumen ini belum tersedia di situs resmi pemerintah. Oleh karena itu belum diketahui secara rinci apa saja yang diatur. Namun ada beberapa hal sudah jelas.

Misalnya, batas usia pelamar ditetapkan paling rendah 20 tahun dan maksimal satu tahun sebelum batas usia pensiun. Ini berbeda dengan syarat CPNS yang mengharuskan pelamar berusia tak lebih dari 35 tahun.

Sebelumnya, tenaga honorer yang usianya sudah lebih dari itu bisa saja menempuh jalur P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), tapi tidak dapat uang pensiun.

Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho mengatakan pada dasarnya PPPK akan memiliki kewajiban dan hak keuangan yang sama dengan PNS dalam pangkat yang setara.

Disambut, Tapi...

Aturan ini disambut positif oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim mengatakan PP ini adalah perwujudan dari tuntutan yang selama ini mereka perjuangkan.

Akan tetapi, perjuangan para tenaga kerja honorer, khususnya guru, tidak berhenti sampai di sini saja. Satriwan bahkan mengatakan kalau masalah yang menyangkut tenaga kerja honorer tidak akan pernah selesai.

“Tenaga kerja honorer akan tetap menjadi isu. Namun dengan ini bisa dilihat bahwa sudah ada political will untuk berusaha menyelesaikannya,” ujar Satriwan kepada reporter Tirto, Selasa (4/12/2018).

Isu yang dimaksud salah satunya adalah kuota. Sampai sekarang tak jelas berapa jumlah PPPK yang tersedia untuk tenaga honorer.

“Itulah yang harus diungkap pemerintah: berapa banyak formasi yang disediakan. Karena yang menunggu ini ada jutaan,” ucap Satriwan.

Satriwan sadar apabila jumlah guru honorer saat ini—yang mencapai 1 juta lebih—tidak akan seluruhnya diangkat jadi PNS. Ia memperkirakan paling banter pemerintah bisa mengangkat tak lebih dari 200 ribu orang.

Karena tak semua tenaga honorer bisa diangkat jadi PNS, Satriwan meminta pemerintah mula mengambil ancang-ancang agar juga memperhatikan mereka yang tak lolos ujian. Caranya, kata Satriwan, bisa dengan menjadikan mereka sebagai pegawai honor daerah dengan gaji minimal UMP atau UMR.

“Meski dikembalikan ke daerah, tapi harus ada aturan hukum yang jelas. Jangan sampai dari pusat melepas ke daerah, lalu di daerah berdalih kemampuan keuangan tidak bisa menjamin mereka,” jelas Satriwan.

Agar hal itu bisa dilakukan, Satriwan menilai pemerintah pertama-tama harus bisa memperbaiki data mereka. Dengan memiliki data yang presisi soal jumlah dan jenis tenaga honorer, maka kebijakan yang dikeluarkan bisa tepat menjawab persoalan.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino