tirto.id - Tim peneliti Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ngotot menggelar uji klinis kendati belum mendapat persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM menyebut ada banyak temuan dari uji klinis sebelumnya yang belum dibereskan oleh tim peneliti, salah satunya soal sterilitas dalam pembuatan vaksin.
"Produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril," kata Kepala BPOM Penny Lukito pada Selasa (13/4/2021).
Vaksin Nusantara pertama kali dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, AIVITA Biomedical. Cara kerjanya, penerima vaksin akan diambil darahnya, dan dalam waktu dua Minggu dipaparkan dengan antigen virus covid-19, ketika antibodi sudah terbentuk barulah disuntikkan kembali ke tubuh pasien. Awalnya metode ini digunakan untuk penyakit kanker, tapi karena pandemi covid-19 AIVITA mencoba metode itu untuk vaksinasi covid-19.
Perusahaan asal Indonesia memiliki lisensi untuk mengembangkannya di Indonesia. Sebanyak 28 relawan menjalani uji klinis tahap 1 pada 23 Desember sampai 6 Januari di RSUD Kariadi Semarang. BPOM menginspeksi proses uji klinis tersebut.
Sebelumnya dikatakan, vaksin dibuat secara close system, artinya mulai dari tahap pengambilan darah, pemaparan antigen virus, hingga memasukkannya kembali ke dalam tubuh, darah tidak pernah keluar dari tabung. Namun dari inspeksi BPOM didapati proses pembuatan vaksin dilakukan secara manual dan open system.
Kemudian, antigen yang digunakan untuk pembuatan vaksin bukanlah pharmaceutical grade. Produsen antigen tersebut yakni Lake Pharma-USA pun tidak menjamin sterilitasnya sebab sejak semula antigen itu dibuat untuk riset di laboratorium bukan untuk dimasukkan ke tubuh manusia.
Selain itu, setelah vaksin selesai dibuat, tidak pernah dilakukan uji sterilitas sebelum diberikan kepada manusia. Akibatnya, muncul risiko produk akhir vaksin nusantara tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin.
"Terhadap pemenuhan GMP (Good Manufacturing Process), telah dilakukan inspeksi sebelumnya oleh BPOM sebelum pelaksanaan uji klinik (bulan Desember 2020), tetapi tidak pernah
ditindaklanjuti dengan perbaikan dan penyerahan CAPA (corrective and preventive action)," kata Penny.
Penny menjelaskan, itu menjadi satu alasan bagi BPOM enggan menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) tahap 2 bagi vaksin nusantara.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Gilang Ramadhan