tirto.id - Saat Gunung Agung di Bali meletus, Sabtu sore, (25/11), perlahan sebagian wilayah udara di sekitar Pulau Bali dipenuhi abu vulkanik. Selain membahayakan kesehatan bagi manusia di darat, abu vulkanik merupakan 'ranjau udara' yang berbahaya bagi pesawat terbang saat mengudara.
Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai akhirnya pun ditutup sejak Senin (27/11) ketika erupsi Gunung Agung mencapai setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut. PT Angkasa Pura I Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, menyatakan penutupan operasional penerbangan dilanjutkan hingga Kamis (30/11) pukul 07.00 WITA.
"Dari laporan pilot pada ketinggian 2.000 hingga 4.000 kaki masih ditemui adanya abu di ruang udara dengan arah angin ke barat daya," kata Arie Ahsanurrohim, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Bandara International I Gusti Ngurah Rai, Rabu (29/11) dikutip dari Antara.
Seberapa bahaya abu vulkanik bagi pesawat terbang? Alex Davies, dalam tulisannya di Wired, menyebut bahwa abu vulkanik merupakan material “yang cukup mengerikan bagi pesawat.” Ketika gunung berapi memuntahkan material ke udara dalam bentuk abu vulkanik, di dalamnya mengandung partikel-partikel kaca seukuran mikro serta batuan kecil.
Abu vulkanik hasil letusan Gunung Eyjafjallajökull di Islandia pada 2010 misalnya, materi terkecil yang ada di dalam abu vulkanik tersebut berukuran rata-rata sekitar 200 mikrogram. Materi kecil-kecil itu membentuk formasi setebal sekitar 200 meter dengan panjang 2-12 kilometer.
Davies menerangkan bahwa material abu vulkanik memiliki sifat abrasif dan erosif. Ia mampu mengikis bilah kompresor hingga kemudian meningkatkan tekanan udara pada pesawat. Dampaknya mengurangi efisiensi pesawat kala terbang. Selain itu, abu vulkanik pun mampu merusak sistem ventilasi di pesawat. Membuat kabin, kehilangan temperatur.
Yang lebih mengerikannya lagi, material abu vulkanik bila masuk ke ruang bahan bakar, material abu vulkanik bisa mengeras seketika. Saat material abu vulkanik mengeras, dampaknya bisa menghalangi aliran udara ke mesin, dan bisa merusak mesin pesawat. Abu vulkanik juga mampu merusak beragam sensor yang menempel di pesawat. Ia juga dapat menghalangi pandangan mata pilot yang mengemudikan pesawat.
International Civil Aviation Organization (ICAO) mencatat dalam rentang 1935 hingga 2008 tercatat ada 83 kasus gangguan yang dialami pesawat ketika mengudara akibat abu vulkanik. Contoh kasus paling tersohor terjadi pada Juni 1982 silam. Pesawat Boing 747, British Airways mengalami kerusakan terhadap empat mesinnya sekaligus. Ini terjadi selepas pesawat itu menerjang abu vulkanik yang tengah melayang di udara hasil dari letusan Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Otoritas penerbangan berupaya mencari risiko paling nihil bila berurusan dengan abu vulkanik. Namun, bukan berarti tak ada teknologi yang bisa membaca pergerakan abu vulkanik dari darat, termasuk yang disematkan pada setiap pesawat terbang modern saat ini.
Henk W. Jentink dalam jurnal yang berjudul “Volcanic Ash Observation Flights and Ash Detection” menerangkan bahwa setidaknya ada dua teknologi yang bisa dipakai dunia aviasi untuk membaca abu vulkanik di udara. Pertama, dengan memanfaatkan LiDAR atau Light Detection and Ranging.
Secara sederhana LiDAR merupakan teknologi penginderaan jauh memanfaatkan mekanisme optikal dengan menembakkan laser. Benda atau objek, ditembak oleh laser. Pantulan kemudian dianalisa. Dalam konteks mendeteksi abu vulkanik, LiDAR menembakkan lasernya pada material abu vulkanik.
Jentink, lebih lanjut mengungkapkan bahwa LiDAR, untuk mendeteksi abu vulkanik, dimanfaatkan dalam tiga cara. Ground Based, Space Based, dan kemudian Airbone. Ground Based merupakan suatu sistem LiDAR yang terpasang di Bumi untuk mendeteksi abu vulkanik dan kemudian mengirimkan data-datanya pada pesawat yang terbang. Uni Eropa memiliki 28 Ground Based LiDAR untuk keperluan mendeteksi abu vulkanik.
LiDAR Space Based, merupakan suatu sistem LiDAR yang menempatkannya di luar angkasa. Sayangnya, menurut Jentink, langkah ini terbilang jarang digunakan. Ini terutama karena LiDAR bukanlah benda ringan dan mudah diluncurkan. Misalnya LiDAR jenis ini ialah pesawat angkasa STS-64 yang mengudara pada 1994 silam. Airbone, secara sederhana merupakan sistem LiDAR yang terpasang di pesawat.
Selain memanfaatkan LiDAR, cara Kedua, bisa dengan memanfaatkan teknologi infra merah. Pemanfaatan teknologi infra merah dilakukan atas kemampuan teknologi ini yang mampu mendeteksi partikel-partikel kecil, terutama yang berukuran di bawah 10 mikro meter yang terbang di udara. Pesawat masa kini juga sudah disematkan teknologi membaca abu vulkanik sehingga terhindar dari kecelakaan.
Teknologi Menghindar Abu Vulkanik di Udara
Airbone Volcanic Object Imaging Detector (AVOID), sistem di pesawat terbang yang mampu mendeteksi abu vulkanik di udara. Pada 4-14 Juli 2012, pesawat Airbus A340-300 yang melaju di atas 40 ribu kaki, hasil kerja sama antara esyJet, Nicarnica Aviation, serta Airbus, merupakan pesawat pertama yang melakukan ujicoba sistem ini.
A. J. Prata dalam jurnalnya berjudul “Artificial Cloud Test Confirms Volcanic Ash Detection Using Infrared Spectral Imaging” mengungkapkan bahwa AVOID merupakan sistem taktis yang menyediakan pencitraan real-time dari bahaya abu vulkanik, yang disematkan di bagian depan pesawat terbang.
AVOID bekerja dengan memanfaatkan dua sensor inframerah yang dipasang di pesawat. Dua sensor itu memancarkan gelombang yang berguna untuk mendeteksi SiO2, rumusan kimia untuk oksida silikon, material yang termuat dalam debu abu vulkanik. Secara otomatis, sistem tersebut membaca unsur-unsur selain abu vulkanik seperti awan, kristal es, atau tetesan air.
Sama seperti yang dijelaskan Jentink, pemanfaatan infra merah terutama dilakukan karena kemampuannya bisa mendeteksi material sangat kecil. AVOID dirancang untuk dapat bekerja pada pesawat yang mengudara setinggi 34 ribu hingga 42 ribu kaki.
Ia dirancang untuk bekerja pada kecepatan pesawat hingga 900 km per jam. Pesawat yang dibekali AVOID, maka pilot akan mampu mendeteksi keberadaan abu vulkanik dengan waktu terbang 7-10 menit di depannya. Ini memberikan kesempatan pada pilot untuk menghindari lintasan penerbangan yang terdapat abu vulkanik.
Prata, dalam jurnalnya menyebut bahwa kekeliruan AVOID mendeteksi abu vulkanik berada di angka 7 persen. Ia mengklaim, dengan melakukan modifikasi pada algoritma di dalam sistem AVOID kekeliruan bisa ditekan hingga 0 persen. Kekuatan AVOID tidak semata-mata dimiliki pesawat terbang. Hasil olah data yang dimiliki AVOID pun bisa didistribusikan pada pesawat lain. Sehingga ada pertukaran informasi antara pesawat satu dengan yang lainnya soal keberadaan dan pergerakan abu vulkanik.
“Dengan AVOID, kami ingin membuktikan bahwa konsep deteksi abu vulkanik dapat bekerja, dan ini telah ditunjukkan dalam pengujian,” ucap Charles Champion, Executive Vice President Engineering Airbus.
Teknologi membaca abu vulkanik sangat menentukan dunia penerbangan komersial masa kini. Tentu selain mengurangi risiko celaka, juga menambah keyakinan bagi pengguna jasa bahwa pesawat terbang sebagai transportasi yang aman. Bagi dunia bisnis maskapai penerbangan juga bermanfaat bagi menekan risiko kerugian finansial akibat kerusakan yang ditimbulkan abu vulkanik pada pesawat terbang.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra