tirto.id - Pesawat Lion Air PK-LQP nomor penerbangan JT-610 yang jatuh Senin lalu, sempat dikabarkan tak layak terbang. Pesawat disebut punya masalah sejak digunakan dari Denpasar, sehari sebelumnya. Namun, anggapan itu buru-buru dibantah Direktur Umum Lion Air Edward Sirait.
Edward mengatakan pesawat rute Jakarta-Pangkalpinang itu layak terbang karena mereka membawa serta mekanik.
"Di dalam pesawat itu, kan, ada engineer-nya. Ikut dia terbang. Berarti, kan, pesawat layak terbang," kata Edward dalam wawancara kepada KompasTV (keterangan bisa disaksikan pada menit 6:28) Senin (29/10/2018) siang, atau beberapa jam setelah pesawat dinyatakan jatuh.
"Dia ikut terbang. Ada di dalam dia," katanya lagi, meyakinkan.
Edward tidak menjelaskan lebih jauh soal engineer yang ia maksud. Telepon reporter Tirto tak diangkat. Hal ini penting diperjelas sebab keberadaan mekanik di dalam pesawat adalah hal yang tak lazim, setidaknya sejak akhir 1980-an.
Delmar M. Fadden dkk, mengatakan pada mulanya pesawat terbang selalu dilengkapi lima kru (kecuali pramugari): dua pilot, navigator, operator radio, dan satu lagi mekanik atau biasa disebut flight engineer. Flight engineer bertugas mengecek sistem pesawat mulai dari kelistrikan, pendingin, hingga jumlah bahan bakar. Mereka juga bertugas memonitor tekanan pesawat saat hendak mendarat.
Flight engineer tak lagi dibutuhkan ketika komputer dan teknologi digital yang lebih canggih mulai diterapkan pada kokpit pesawat. Konsekuensinya, pesawat sebetulnya sudah bisa terbang hanya dengan seorang pilot dan seorang ko-pilot saja.
"Flight engineer bertanggung jawab untuk mengoperasikan sistem di pesawat yang lebih tua. Jet modern tidak memerlukannya. Pilot bisa mengelolanya sendiri," kata John Cox, pensiunan pilot dari Amerika.
Corporate Communication Strategist Lion Air Danang Mandala Prihantoro menjelaskan kalau yang atasannya maksud bukan flight engineer, melainkan engineer onboard—istilah yang sebetulnya juga tak lazim, minimal tak ada entri soal itu jika mencarinya di Google, beda dengan flight engineer.
"Engineer onboard ya memang ada," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (31/10/2018) kemarin.
Hal yang sama diungkapkan Gerry Soejatman, konsultan penerbangan dari CommunicAvia. Katanya, banyak orang salah kaprah menyamakan antara engineer onboard dengan flight engineer. Saat ini yang lumrah memang engineer onboard, sementara flight engineer sudah "punah."
"Engineer onboard itu tugasnya merilis agar pesawat layak terbang lagi dari tempat tujuan," katanya kepada reporter Tirto.
Engineer onboard tidak bertugas saat pesawat terbang, melainkan ketika mendarat. Engineer onboard akan memeriksa apakah pesawat layak terbang lagi atau tidak. Pesawat tidak bisa jalan apabila tidak mempunyai persetujuan dari mereka.
Umumnya, engineer onboard dibawa serta karena di daerah tujuan tidak ada mekanik yang mumpuni, apalagi 737 MAX 8 yang jatuh itu adalah pesawat baru. Hal yang sama dikatakan Danang, tak semua pesawat didampingi mekanik.
"Masih baru pesawatnya, jadi tidak semua engineer bisa menangani MAX," kata Gerry.
Namun pernyataan ini tidak membuat semua jadi terang benderang. Soalnya, dalam daftar pilot dan awak kabin pesawat yang dirilis Kementerian Perhubungan, tidak ada satu pun kru yang atribusinya mekanik.
Hanya ada satu pilot, satu ko-pilot, dan lima pramugari. Ada satu nama tersisa, Deny Maula, tapi tak ada keterangan apa pun soal apa deskripsi kerjanya.
Laporan Indepth kami juga menemukan Lion Air JT 610 memang bermasalah sebelum dipakai mengangkut penumpang dari Cengkareng ke Pangkalpinang, terutama saat terbang dari Denpasar ke Jakarta pada 28 Oktober 2018 malam hari.
Data Flightradar24 memperlihatkan proses menaikkan lambung pesawat tak stabil, malah turun dari ketinggian.
Pesawat yang sama juga selalu terlambat selama tiga hari berturut-turut.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino