Menuju konten utama
Miroso

Tangyuan: Manis Kuliner & Pahit Sejarah Keturunan Tionghoa

Festival Dongzhi atau festival titik balik matahari musim dingin, adalah salah satu perayaan penting dalam penanggalan Imlek.

Tangyuan: Manis Kuliner & Pahit Sejarah Keturunan Tionghoa
Header Miroso Manis Tangyuan. tirto.id/Tino

tirto.id - Pagi itu, warung Ronde Jahe Gardujati, di Jalan Astana Anyar No 25 Bandung, menjadi tempat Yunita Tan, dan ayahnya, Tan Tjin Oen, menikmati wedang ronde. Warung ini tidak hanya menyajikan minuman penghangat tubuh, tapi juga menjual berbagai jajanan lawas, seperti biskuit Nissin mini stik yang diletakkan dalam toples kaca.

Tan Tjin Oen, memesan khusus untuk ronde yang dipesannya pagi itu:

“Rondenya yang warna-warni, manis, jangan pedes, pakai gula putih ya."

Pagi itu, ujar Yunita, adalah momen orang keturunan Tionghoa melakukan ritual sembahyang Tang Chi, yang sepaket dengan menyantap tangyuan atau ronde. Tradisi ini merupakan satu rangkaian festival Dongzhi atau festival titik balik matahari musim dingin. Ini adalah salah satu perayaan penting dalam penanggalan Imlek, dan biasanya jatuh pada tanggal 22 Desember.

“Jadi keluargaku cuma sembahyang tiga kali: sembahyang Imlek, cengbeng, dan pehcun. Kalau Tangchi tidak sembahyang. Seperti kebanyakan Tionghoa tradisional, kami sembahyang hanya di rumah keluarga tertua. Dan hanya kumpul keluarga saja, tidak pergi ke klenteng," ujar Yunita.

Sajian ronde, dalam buku Budaya dan Kuliner:Memoar tentang Dapur China Peranakan Jawa Timur (2015, halaman 233) disebut sebagai salah satu turunan dari patisserie. Makanan ini, menurut sejarawan Denys Lombard, dianggap sebagai pengaruh Perancis dan China yang biasanya punya ciri-ciri berwarna cerah dan bercita rasa manis.

Ada perbedaan antara ronde dan tangyuan.

Wedang ronde berbentuk bulatan yang terbuat dari campuran tepung ketan dan tepung tapioka. Ia dihidangkan dengan cacahan kacang goreng, irisan kolang-kaling, potongan roti tawar, dan kuah dengan warna kemerahan campuran gula aren dan jahe.

Sementara untuk tangyuan, rasa kuahnya lebih ke manis dan tidak pedas. Warnanya lebih bening karena tidak memakai gula aren dan jahe. Tangyuan yang berbentuk bola dari tepung ketan yang kenyal, melambangkan hal-hal yang baik.

Yunita sering menamakan tangyuan sebagai onde saja, untuk membedakan dengan ronde. Menurut Yunita, ada alasan kenapa tangyuan tidak boleh bercita rasa pedas. Ini karena hampir semua makanan untuk sembahyang atau perayaan dalam budaya Tionghoa memang mengutamakan rasa manis dan gurih.

Hidangan dalam perayaan Tang Chi memang sangat menghindari rasa pahit, pedas, dan asam. Alasannya, semua perayaan tadi memiliki harapan-harapan yang baik seperti usia panjang, kesehatan, hubungan yang harmonis, ketentraman, dan kesejahteraan. Dan representasi rasa manis dalam makanan perayaan-perayaan tadi menjadi perlambang pas untuk semua harapan yang dipanjatkan.

Penjelasan Yunita ini mengingatkan saya pada salah satu esai perihal falsafah makanan yang dtulis Bondan Winarno dalam buku Jalansutra (2003, halaman 292). Suatu pagi, Bondan mengunjungi restoran Mandala di Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sambil menunggu pesanan bubur ayamnya, Bondan juga memesan cah fumak. Tak lama, pemilik restoran yang juga merangkap sebagai kasir menghampirinya.

“Bapak pesan cah fumak bukan karena sedang berduka, kan?”

Pertanyaan tersebut ternyata kemudian membuka kepada percakapan yang serius dan membuka wawasan Bondan.

“Kalau boleh tahu apa hubungannya?” tanya Bondan dengan penuh keingintahuan.

Pemilik restoran tadi kemudian menjelaskan, “fu” itu berarti pahit, sedangkan “mak” berarti sesuatu yang lembut. Seperti halnya pare, yang juga pahit, disebut fukua. Orang yang sedang berduka, misalnya karena kematian anggota keluarganya yang disayangi, menyantap fumak dan fukua untuk menghayati kepahitan dan rasa duka yang sedang dialaminya.

Karenanya, beberapa orang Tionghoa pantang menanam pare di lingkungan rumah, agar mereka terhindar dari kepahitan, kalaupun ingin menanamnya, tanamlah di kebun yang tanahnya tidak menjadi bagian dari rumah, imbuhnya.

Kembali ke soal tangyuan atau onde tadi, Yunita juga bercerita bahwa filosofi makan onde yang manis adalah tentang memaknai kembali keharmonisan ikatan kekeluargaan. Mulai dari proses memasaknya yang butuh banyak tangan, proses makan bersama, sembari berbincang tentang apa saja yang mengakrabkan.

Yunita lebih lanjut menjelaskan, selain disajikan dalam perayaan Tang Chi, tangyuan atau onde ini juga disajikan dalam acara pernikahan waktu dua keluarga pengantin bertemu di hari pernikahan. Harapannya adalah hubungan dua mempelai dan dua keluarga bisa lengket dan manis.

“Aku pernah tuh jadi bridesmaids, dari dini hari harus sudah merebus tangyuan dulu di rumah sebelum ikutan prosesi nikahan” ungkapnya sambil tertawa.

Infografik Miroso Manis Tangyuan

Infografik Miroso Manis Tangyuan. tirto.id/Tino

Kegetiran dan Rasa Pahit Masa Lalu

Yunita adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Selain bercerita tentang tangyuan, perbincangan kami juga diselipi ingatan-ingatannya tentang dirinya yang terlahir sebagai keturunan Tionghoa, dan mempunyai memori yang tidak selalu manis dalam menjalankan tradisinya.

Ada perbedaan yang dialami Yunita dalam memandang tradisi Tang Chi. Ada rasa getir yang tersirat, kontras dengan rasa manis dari tangyuan yang disantapnya.

Sewaktu kecil, Yunita dan keluarganya tidak pernah membahas tradisi Tionghoa. Mereka juga sembahyang diam-diam, agar tidak terlihat, tidak terdengar, atau tercium tetangga. Meja sembahyang ditaruh di belakang rumah, di dekat kamar mandi. Gentengnnya sengaja dibuka beberapa bagian supaya asap dupa/ hio langsung ke atas langit.

"Anak-anak kecil tidak boleh ribut. Orang-orang tua ngobrol bisik-bisik. Lalu setelah selesai sembahyang, dibereskan semua. Pulang ke rumah masing-masing, dan tidak pernah dibahas apapun tentang yang tadi dilakukan.”

Setelah reformasi datang, Yunita mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Koko atau kakak lelakinya bahkan bilang padanya.

“Ah kita ini orang nggak jelas, disebut Cina kita tidak tahu apa-apa, disebut Indonesia kita juga tidak diakui.”

Beranjak remaja, Yunita merasa bimbang. Hal yang dialaminya, seperti dijelaskan dalam buku Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa Sebuah Kajian Pascakolonial (2009, halaman 169), adalah identitas yang dikonstruksi sebagai “liyan” dan membuat dampak yang tidak ringan.

Banyak warga keturunan Tionghoa yang kemudian mengalami apa yang disebut sebagai authohypanic amnesia. Ini adalah keadaan yang melahirkan sisi psikologis yang berat, yang mengakibatkan mereka merasa bersalah dan tidak nyaman dengan identitas yang disandangnya.

Namun seiring kedewasaan dan pergaulannya sebagai aktivis keberagaman dan kesetaraan gender di Bandung, dirinya tidak mau punya identitas yang tidak jelas. Yunita justru ingin memahami lebih jauh sejarah keluarganya yang berkelindan dengan sejarah Indonesia yang menurutnya ruwet.

“Aku ingin merawat tradisi keluarga kami sekaligus membuat kenangan-kenangan baru yang manis, untuk bersanding dengan kenangan-kenangan getir leluhur kami. Sekarang, aku bisa mendefinisikan diri bahwa aku adalah orang Tionghoa Indonesia yang merangkul kebudayaan Indonesia,” ungkapnya dengan haru.

Setelah maminya mangkat, 2017 silam, Yunita ingin selalu bisa bercengkerama dengan papinya, termasuk saat menikmati onde dalam perayaan Tang Chi ini.

Papi Yunita sudah yatim piatu sejak usianya 10 tahun. Dan waktu Orde Baru berkuasa, dirinya tidak mau mengganti namanya. Ini karena, menurut Papinya, kalau nanti dia meninggal, leluhurnya atau orangtuanya akan menjemput dan memanggil dirinya sesuai dengan nama lahirnya.

Santapan onde di pagi itu adalah bentuk kecil yang Yunita lakukan untuk menemani papinya sebelum pergi ke toko. Meski toko pilihan papinya bukan favorit Yunita, ini bukan masalah besar buatnya. Menurut Yunita, hari makan onde untuknya dan papinya adalah semacam usaha untuk merawat ingatan. Sambil makan berdua, papinya akan bercerita kilasan-kilasan masa kecilnya dulu.

Yunita memungkasi ceritanya dengan tradisi untuk memakan tangyuan atau onde sesuai jumlah umur plus 1, sebagai harapan umur panjang.

“Eh tapi masa Babeh makan 83 butir tangyuan? Nanti nggak jadi panjang umur, malah harus pergi ke rumah sakit, semangkok aja cukup lah ya” ujarnya sambil tertawa.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Husni Efendi

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono