tirto.id - Putri Candrawathi hari ini menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam keterangannya, Putri menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya di Magelang, Jawa Tengah sembari menangis.
"Sekarang saya mau tanya kapan saudara sadar bahwa Yosua masuk ke kamar saudara,” tanya Hakim Wahyu dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (11/1/2023).
Putri Candrawahi kemudian mulai bercerita dan mengaku bahwa saat itu tengah beristirahat di kamarnya di rumah Magelang.
“Waktu itu saya tertidur terus terdengar pintu kayak dibuka keras kayak ‘grek’ gitu terus saya membuka mata saya,” ucap Putri Candrawathi sambil menangis.
Tak hanya itu, Putri pun kembali menangis saat bercerita tentang permintaan suaminya supaya ia mau bersaksi terkait kejadian di Magelang tersebut. Sambo, kata Putri, menelponnya dari tahanan Mako Brimob dan memintanya memberikan kesaksian terkait kejadian tersebut.
"Suami saya menelpon saya menyampikan bahwa saya diminta untuk menjelaskan peristiwa tanggal 7 juli tersebut mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yosua. Waktu itu sebenarnya saya tidak mau, karena saya malu, tapi suami saya meminta," kata Putri menjeda kalimatnya lalu menangis.
"Dan mengatakan bahwa 'dek, kamu harus bersaksi apa yang terjadi di tanggal 7 Juli saat itu'," kata Putri sambil terisak.
"Tapi setelah saya menjelaskan di Mako saat itu, tidak lama saya menjadi tersangka. Padahal saat itu saya sangat malu sekali, karena saya sebenarnya tidak ingin peristiwa ini diketahui banyak orang," ucapnya terbata-bata.
Dalam kasus ini terdapat 5 terdakwa yang diduga merencanakan dan melakukan pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Mereka adalah mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, Richard Eliezer, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal (RR), dan Kuat Ma'ruf.
Kelima terdakwa tersebut didakwa melanggar Pasal 340 subsidair Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 340 mengatur pidana terkait pembunuhan berencana dengan ancaman pidana hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto