tirto.id - YLBHI meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menafsirkan Pasal 1 dan Pasal 2 UU 1/PNPS 65 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
Hal itu disampaikan Ketua YLBHI, Asfinawati, dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/7/2018). Menurutnya, penafsiran itu perlu dilakukan sebab Pasal 1 dan Pasal 2 dianggap bermasalah, bertentangan dengan asas negara hukum dan mengandung ketidakpastian hukum.
"Tidak bisa digunakan untuk meniadakan/membatasi hak setiap orang untuk bebas menganut agama dan kepercayaannya masing-masing, melakukan ibadah serta menjalankan/ mengamalkan agama dan kepercayaannya itu secara internal atau masing- masing,” ujar Asfinawati.
Selain itu, menurut Asfinawati, YLBHI juga meminta agar Pasal 2 UU ini dimaknai “Bagi yang dituduh tersebut haruslah diberikan kesempatan melakukan pembelaan secara adil dan Keputusan Bersama tersebut adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.”
Pernyataan Asfinawati tersebut sebagai respons terhadap keputusan MK yang menolak uji materi Pasal 1, 2 dan 3 dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh Jemaah Ahmadiyah.
Jemaah Ahmadiyah mempermasalahkan ketidakjelasan Pasal 1, 2 dan 3 dalam UU Nomor 1/PNPS/1965. Ketidakjelasan soal pasal penodaan agama tersebut mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil serta munculnya ragam penafsiran.
Menurut para Jemaah Ahmadiyah, hal itu membuat mereka dibatasi termasuk dalam beribadah sehingga dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan kerugian konstitusional.
Menanggapi penolakan itu, Asfinawati mengatakan bahwa uji materi UU penodaan agama yang diajukan ke MK oleh Jemaah Ahmadiyah tak hanya soal jemaah tersebut.
"Sidang ini sesungguhnya tentang Hak Konstitusi warga negara khususnya tentang hak beragama dan beribadah sesuai agamanya itu serta hak menganut kepercayaan yang dijamin pasal 28E UUD 1945 dan amandemennya," ujarnya.
Nalar dominan yang digunakan MK untuk menolak permohonan Jemaah Ahmadiyah adalah kebebasan internum beragama yaitu penafsiran perlu dibatasi untuk menjaga ketertiban publik dari adanya gangguan ketertiban masyarakat, bangsa bahkan negara.
Menurut Asfinawati, nalar ini dapat mengakomodasi kemungkinan adanya kelompok intoleran yang menggunakan kekerasan terhadap orang/kelompok yang dianggap menafsirkan secara berbeda.
"Dalam kaitan dengan ini, putusan MK lebih buruk dari SKB terhadap JAI [Jemaah Ahmadiyah Indonesia] yang jelas melakukan pelanggaran HAM," ujarnya.
Editor: Yantina Debora