tirto.id - Menjelang Pilkada serentak 2018 serta Pileg dan Pilpres 2019, Tamasya Al-Maidah 51 akan kembali berjalan. Hal ini ditegaskan melalui pernyataan Ketua Presidium Tamasya Al-Maidah Ansufri Idrus Sambo di Masjid Baiturrahman, Tebet, Jakarta Selatan.
Menurutnya, Tamasya Al-Maidah sepatutnya menjadi presidium ad hoc yang sifatnya sementara dan dibubarkan setelah Pilkada Jakarta 2017. Namun, melihat kondisi pemerintahan yang sekarang, Sambo mengimbau umat Islam dan masyarakat Indonesia agar ikut bergabung lagi menjalankan Tamasya Al-Maidah ini.
“Ini menjadi sikap kami untuk menegaskan bahwa Tamasya Al-Maidah mulai sekarang kita hidupkan kembali,” kata Sambo saat membuat konferensi pers terkait klarifikasi keanggotaan Asma Dewi, Kamis (14/9/2017).
Dituturkan Sambo, pemerintahan sekarang banyak membuat kebijakan yang menyudutkan umat Islam. Ia juga menganggap Presiden Joko Widodo mulai memenjarakan kebebasan berpendapat dengan penangkapan Sri Rahayu Ningsih dan Asma Dewi atas dasar kaitannya dengan sindikat ujaran kebencian Saracen. “Ini kan peringatan bagi yang lain supaya tidak bersuara,” katanya lagi.
“Jadi mulai sekarang harusnya sudah tidak ada, tapi karena dipancing seperti ini, maka Tamasya Al-Maidah kita hidupkan kembali untuk mengawal pilkada-pilkada yang serentak 2018 dan mengawal Pileg dan Pilpres 2019,” tegasnya.
Ketika ditanyakan terkait Tamasya Al-Maidah akan masuk pada gerakan politik, Sambo membenarkan hal tersebut. Selain untuk membela umat Islam, Sambo menuturkan bahwa langkah ini diperlukan untuk menghindari Indonesia yang dikuasai oleh cukong – pemilik modal – yang ada di Indonesia. Menurutnya, kebijakan Jokowi sudah tidak bisa dihentikan dengan cara-cara yang biasa.
“Kita sudah demo sampai 7 juta turun demo, tapi faktanya kebijakan ini tidak pernah berhenti. Jadi yang bisa menghentikan kebijakan represif Bapak Jokowi adalah gerakan politik. Gerakan yang konstitusional diberikan kepada kami,” tuturnya.
Meski demikian, Sambo menegaskan bahwa Tamasya Al-Maidah 51 ini tidak akan menjadi satu partai politik tertentu. Hal ini semata-mata untuk mengarahkan agar umat Islam bisa memilih pemimpin yang berpihak pada umat Islam.
“Waktunya? Tergantung kapan teman-teman (masyarakat) siap,” katanya lagi.
Tamasya Al-Maidah sendiri masih menjadi perdebatan efisiensinya di mata publik. Sebelumnya Kapolri Jenderal Tito Karnavian melarang pengerahan massa, termasuk Tamasya Al-Maidah. Menurutnya, hak itu sudah masuk dalam kewenangan aparat yang berwajib. Polri pun mengeluarkan diskresi.
“Diskresi kepolisian yaitu kewenangan yang melekat kepada seluruh anggota kepolisian seluruh dunia untuk dapat menilai dan mengambil tindakan dalam rangka kepentingan publik,” kata Tito dalam acara pembekalan pengamanan pilkada di Econvention Ancol April lalu.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon justru menilai sebaliknya. Ia menyampaikan optimismenya terhadap pelaksanaan Tamasya Al-Maidah yang memang hanya sebatas untuk mengawasi jalannya pesta demokrasi pada 19 April kemarin.
“Lho ini kan bukan gerakan massa, orang mau lihat gitu tidak ada masalah menurut saya,” tambah politisi Partai Gerindra itu.
Laporan mengenai rencana dilaksanakannya Tamasya Al Maidah pun telah sampai ke pihak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Akan tetapi seperti diungkapkan Komisioner Bawaslu DKI Jakarta, Muhammad Jufri, ia mengaku Bawaslu akan mendalami perihal Tamasya Al Maidah terlebih dahulu, beserta bagaimana sistematika pelaksanaannya.
“Kalau memang itu nanti dianggap dapat mengintimidasi pemilih, saya kira itu bisa diberikan pencegahan, supaya tidak dilakukan,” Kata Jufri.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari