tirto.id - Capres nomor urut 01 Joko Widodo melakukan kampanye di Gedung Olahraga Ciracas, Jakarta Timur, Rabu (10/4/2019). Dalam sambutannya, mantan gubernur DKI Jakarta itu menyinggung soal kebijakan dia pada 2012 sampai dengan kerukunan antar-masyarakat di ibu kota.
“Pada saat saya jadi gubernur keluar Pergub yang mewajibkan saat itu setiap hari Jumat harus mengenakan pakaian sadariah dan kebaya encim. Benar? Itu tahun 2012 dan alhamdulilah sampai sekarang masih dipakai terus,” kata Jokowi membanggakan kebijakan masa lalunya.
Jokowi juga sempat membanggakan bahwa Jakarta bisa menjadi miniatur Indonesia. Meski banyak suku, agama, ras, dan antar-golongan yang tinggal di ibu kota, tetapi hidup dengan rukun.
“Saya ucapkan terima kasih karena seluruh masyarakat DKI terus merawat, memelihara persatuan, kerukunan, persaudaraan meski berbeda suku agama, berbeda adat, tradisi, dan budaya,” tegas Jokowi.
Akan tetapi, satu yang hilang dari pidato Jokowi, yaitu soal keberadaan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan Pilkada DKI 2017. Dia sempat menyinggung sedikit soal pilgub, tetapi konflik politik identitas di Pilkada yang menerpa Jakarta sama sekali tidak dibahas Jokowi.
Jokowi bahkan mengklaim tidak lupa terhadap orang-orang yang dia temui pada 2012 saat maju sebagai calon gubernur dan 2014 saat menjadi capres untuk pertama kalinya. Namun, Jokowi sama sekali tak menyinggung nama BTP yang menjadi salah satu pendamping dan penerus kebijakan di Jakarta selama dia pergi.
“Jangan ada yang berpikiran saya tidak ingat. Saya ingat," ucapnya lagi.
Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Usman Kansong beralasan, pujian mantan wali kota Solo itu soal menjaga kerukunan bukan untuk kepentingan elektoral.
Usman melihat Jokowi menyampaikan fakta. Menurut dia, meski ada demonstrasi sebesar apa pun, tetapi tidak ada kericuhan yang terjadi ataupun timbul korban jiwa.
“Tetap rukun, kan, di lapangan? Tidak terjadi konflik fisik dan gesekan-gesekan berarti lah,” kata Usman saat dihubungi reporter Tirto, Kamis, 11 April 2019.
BTP Tak Bisa Bantu Elektoral?
Namun, kalau dikatakan Jokowi tak hendak mengambil keuntungan elektoral, bisa jadi klaim itu keliru. Sebab, Jokowi justru mengajak masyarakat yang hadir di GOR Ciracas untuk membantu memenangkan 55 persen suara di DKI Jakarta, lebih besar 2 persen dari perolehan di Pilpres 2014.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai langkah yang dilakukan Jokowi sudah tepat. Mengumbar nama BTP tidak akan memberikan dampak elektoral yang baik di Jakarta.
Pertama, kata Ujang, karena BTP sudah kalah di Pilgub DKI 2017. Kedua, hal ini akan mengusik luka lama soal kericuhan politik identitas yang bisa memicu kisruh yang tak perlu dan merugikan paslon 01 di Pilpres 2019. Apalagi, Jokowi juga maju bersama Ma'ruf Amin yang berperan mengeluarkan fatwa FMU yang membuat BTP dinyatakan bersalah dalam kasus penodaan agama.
“Sudah tepat itu. Nanti kalau diungkit bisa menebar kebencian,” kata Ujang.
Apa yang dilakukan Jokowi, menurut Ujang, harus bisa merangkul pihak lawan dan menyolidkan dukungan. Pendukung BTP bisa jadi adalah pendukung Jokowi karena kala itu BTP didukung PDI-P dan juga Golkar. Dua partai yang juga berkoalisi di Pemilu 2019.
Sementara masyarakat lain yang anti pada BTP dan harus diajak memilih Jokowi-Ma'ruf tentu lebih banyak lagi. “Makanya cara-cara menyanjung dan mendukung pihak lain [lawan BTP] lebih penting,” kata dia.
Jokowi-Ma'ruf Berpeluang Menang di Jakarta
Meski PDI-P dan Golkar kalah di Pilkada DKI 2017, namun hasil Pilpres 2019 di wilayah DKI Jakarta bisa saja dimenangkan Jokowi. Jika sesuai target, maka hasilnya adalah 55 persen.
Menurut Direktur Populi Center, Usep S Ahyar, kemungkinan ini karena pilihan dan atmosfer Pilpres 2019 berbeda dengan Pilkada DKI 2017.
Apalagi, kata Usep, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun belum secara resmi mengarahkan masyarakat ibu kota untuk memilih Prabowo atau Jokowi. Meski beberapa kali ada dugaan Anies sudah tegas mendukung Prabowo-Sandiaga.
“Memang agak beda memandang pilkada dengan pilpres,” kata Usep kepada reporter Tirto. "Tidak bisa dikatakan pemilih pasangan Anies-Sandi memilih 02.”
Usep menyatakan di Indonesia, pemilihan kepala daerah dan kepala negara tentu berbeda. Pemilih Gerindra dan PKS di daerah, belum tentu sama ketika memilih untuk skala nasional.
“Jadi ini tidak terpecah seperti BTP lawan Anies. Saya melihatnya 50-50 di Jakarta. Bisa saja pemilih BTP memilih 02, begitu pun sebaliknya,” kata Usep.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz