tirto.id - Dua kader partai pengusung pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin terjaring operasi tangkap tangan KPK sepanjang Maret 2019. Usai Romahurmuziy, ketua umum PPP resmi ditetapkan tersangka pada 16 Maret, KPK juga menangkap politikus Golkar, Bowo Sidik Pangarso akhir Maret lalu.
Namun, Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Usman Kansong optimistis dua kasus yang menimpa kader partai pengusung kandidat petahana ini tidak akan berpengaruh pada elektabilitas Jokowi-Ma'ruf.
“Enggak ada. Enggak ada pengaruhnya,” kata Usman saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (11/4/2019). “Kalau secara kualitatif, kan, tidak ada pengaruhnya. Itu urusan personal, tidak terkait partai atau capres.”
Pernyataan Usman ini berpatokan pada hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga yang menempatkan pasangan Jokowi-Ma'ruf masih di atas 50 persen.
Usman optimistis kasus korupsi yang menyeret kader partai pendung tidak akan berpengaruh pada elektabilitas Jokowi-Ma'ruf. Sebab, kata dia, masyarakat sudah cerdas menyikapinya.
Dari hasil survei yang dilakukan dalam rentang waktu kader Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso tertangkap, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf memang dalam posisi stabil. Misalnya, survei Indikator Politik yang dilakukan pada 22-29 Maret 2019. Sementara Bowo tertangkap 28 Maret 2019.
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik tersebut, paslon nomor urut 01 unggul dengan suara 55,4 persen. Sementara capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga hanya mendapatkan 37,4 persen suara.
Hal yang sama juga tercermin dalam hasil survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang dilakukan 1-4 April 2019. Berdasarkan survei ini, pasangan Jokowi-Ma'ruf mendapat 57,30 persen dan Prabowo-Sandiaga 32,50 persen.
Jika mau menilik lebih jauh ketika kabar penangkapan Romahurmuziy pada 15 Maret 2019, maka hasilnya juga tak berbeda jauh dengan hasil survei sejumlah lembaga. Survei yang dilakukan oleh CSIS pada 15-22 Maret menunjukkan Jokowi-Ma'ruf unggul dengan 51,40 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga 33,30 persen.
Keunggulannya masih di angka 18 persen dan tidak jauh berbeda dengan lembaga survei lain yang rata-rata menunjukkan perbedaan mencapai 20 persen. Bila pun diartikan angkanya menurun, tetapi tidak lama angka elektabilitas mereka kembali menanjak.
Hasil survei Charta Politika Indonesia pada periode 1-9 Maret 2019 juga menunjukkan 36,4 persen responden mengaku bakal mengubah pilihan capres-cawapres akibat faktor debat. Kemudian, 10 persen lebih responden mengubah pilihan karena faktor tokoh agama, 9,2 persen karena terpengaruh bantuan sembako, dan 8,4 persen akibat politik uang.
Survei ini melibatkan 2.000 responden dari 34 provinsi di Indonesia, dengan metode acak bertingkat. Kemudian margin of error 2,19 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengatakan, debat jadi faktor dominan yang bisa mengubah pilihan pemilih pada paslon. Hal ini disebabkan karakter kedua pemilih paslon bersifat fanatik.
Yunarto mengatakan, narasi yang dibangun kedua tim kampanye capres-cawapres dalam kampanye diprediksi juga tak memengaruhi pemilih berpindah haluan. Kasus yang terkait korupsi ternyata juga tak menjadi salah satu faktor penting.
"Kasarnya mau ada tsunami apa pun asal enggak heboh banget, susah [...] trennya sudah stagnan. Problem buat penantang, karena yang dibutuhkan akselerasi,” kata Yunarto, pada 25 Maret 2019.
Partai Lain Juga Korup
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin mengatakan hal serupa. Bagi dia, korupsi dari koalisi partai pendukung tidak akan serta-merta memengaruhi Pilpres. Apalagi jika Bowo yang melakukan politik uang menyatakan kasusnya terkait Pileg.
"Itu, kan, bukan terkait soal Pilpres," kata Ujang kepada reporter Tirto. "Kalaupun terkait Pilpres, kemungkinan bisa berpengaruh, itu pun belum tentu terlalu signifikan.”
Ujang menegaskan kasus kader korupsi tersebut kemungkinan justru berpengaruh kepada partai. Apalagi PPP dan Golkar suaranya memang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, PPP bahkan terancam tidak lolos ke parlemen.
“Elektabilitas Jokowi hanya akan turun jika kebijakannya dianggap tidak sukses,” kata Ujang menegaskan.
Ujang menilai hal ini sama seperti efek ekor jas. Jika Jokowi tak mampu membawa naik elektabilitas partai lain selain PDI-P, maka partai lain juga tak mampu menyeret jatuh elektabilitas mantan gubernur DKI Jakarta itu.
Sedangkan Direktur Populi Center Usep S Ahyar menyatakan hal senada dengan Usman. Menurut dia, masyarakat juga sudah mengetahui jika partai yang kadernya melakukan korupsi dan politik uang tidak hanya parpol pendukung paslon 01.
Oleh sebab itu, kata Usep, masyarakat juga tak merasa partai pendukung Jokowi lebih buruk daripada partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Tidak ada bedanya dengan yang lain karena semua sama-sama melakukan," kata Usep kepada Tirto. "Tinggal yang satu ketahuan, yang lain enggak."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz