tirto.id - Tersangka kasus korupsi distribusi pupuk, Bowo Sidik Pangarso "bernyanyi". Politikus Golkar ini menyeret Nusron Wahid, rekan separtai sekaligus kompetitornya di Daerah Pemilihan (Dapil II) Jawa Tengah –meliputi Demak, Kudus, dan Jepara-- pada Pileg 2019.
Bowo mengatakan dirinya diperintah partai dan Nusron Wahid untuk menyiapkan 400 ribu amplop untuk "serangan fajar". Namun, Bowo tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum mendistribusikan ratusan ribu amplop yang berisi pecahan uang Rp20 ribu dan Rp50 ribu itu.
“Saya diminta oleh partai untuk menyiapkan 400 ribu [amplop]. Nusron Wahid meminta saya untuk menyiapkan 400 ribu [amplop]” kata Bowo, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (9/4/2019).
Nusron dan petinggi Golkar lainnya sontak membantah “tudingan” Bowo itu. Saat dikonfirmasi reporter Tirto, pada Rabu, 10 April 2019, Nusron mengelak.
“Tidak benar,” kata pria yang saat ini menjabat sebagai kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Hal senada juga diungkapkan Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan. Ia menilai pengakuan Bowo yang menyeret nama Nusron itu cukup meragukan. Sehingga, kata Ace, partainya tidak akan langsung percaya terkait tudingan itu.
“Itu, kan, pengakuan dari Bowo. Apa itu benar? Selalu ada tendensi seseorang yang [kena] OTT, berusaha melibatkan pihak lain,” kata politikus Golkar yang juga juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf ini.
Karena itu, kata Ace, partainya menyerahkan masalah ini sepenuhnya kepada penegak hukum, yakni KPK.
Namun, anggota Komisi VIII DPR RI itu pun menegaskan, sejak awal Golkar telah memerintahkan seluruh kadernya untuk menggunakan cara-cara yang tidak melanggar aturan perundang-undangan, termasuk tidak menggunakan politik uang.
“Soal strategi di lapangan, tentu setiap orang memiliki caranya masing-masing,” kata Ace.
Ancam Suara Golkar di Dapil II Jateng?
“Nyanyian” Bowo soal keterlibatan Nusron ini tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap perolehan suara Golkar di Dapil Jateng II yang meliputi Kabupaten Demak, Kudus, dan Jepara. Sebab, dua kader Golkar yang terseret dalam kasus ini adalah caleg petahana yang sukses melenggang ke Parlemen dari dapil ini pada Pileg 2014.
Sebagai gambaran, dari 7 kursi yang diperebutkan di Dapil Jateng II itu, dua kursi di antaranya diborong Golkar. Suara Nusron bahkan tercatat yang paling tinggi dari sejumlah kontestan yang bertarung di daerah itu.
Saat itu, Nusron memperoleh suara sebesar 243.021, sementara Bowo Sidik di angka 66.909 atau berada di peringkat keempat. Peringkat kedua diduduki politikus PKB Fathan dengan perolehan suara 93.097 suara; peringkat ketiga diraih caleg PPP Mukhlisin (71.515 suara). Peringkat kelima, Abdul Wachid dari Gerindra (65.925 suara), dan HM Prasetyo dari Nasdem dengan total suara 51.999. Sementara caleg PDIP, Daryatmo Mardiyanto hanya memperoleh 41.453 suara.
Founder lembaga survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Opini Publik Indonesia) Hendri Satrio menilai “nyanyian” Bowo soal 400 ribu amplop yang diduga akan digunakan untuk serangan fajar akan berpengaruh pada elektabilitas Golkar.
Apalagi, kata Hendri, Bowo mengaku diperintah elite Golkar, Nusron Wahid. Menurut Hendri, dengan munculnya nama baru dari Golkar, secara pasti dapat menurunkan elektabilitas partai berlambang pohon beringin itu.
"Kalau Golkar saat ini sedang menghadapi permasalahan besar tuh. Makanya pasti bisa turun elektabilitas mereka. Kalau selama ini 14 persen, mungkin saat ini sembilan sampai 10 persen," kata Hendri.
Hal itu, kata Hendri, karena korupsi sudah menjadi momok yang buruk bagi masyarakat. Apalagi kasus penyalahgunaan uang itu tak hanya terjadi saat ini saja di tubuh Partai Golkar. Bahkan, kata Hendri, sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu, seperti kasus Setya Novanto dan Idrus Marham.
“Ini membuktikan kelemahan Golkar selain kadernya yang korupsi, ini leadership ketumnya juga patut dipertimbangkan," kata Hendri.
Namun, Direktur Riset Populi Center Usep S. Achyar pesimistis akan ada perubahan signifikan suara di Dapil Jateng II akibat pengakuan Bowo Sidik yang menyeret Nusron soal rencana "serangan fajar".
Sebab, kata Usep, publik tidak serta-merta meninggalkan parpol atau caleg pilihannya karena politik uang. Alasannya, kata Usep, para pemilih sudah mafhum bila praktik politik uang yang terjadi di Indonesia tidak hanya dilakukan Golkar, tetapi partai lain juga.
“Kalau yang melakukan Golkar saja sih, saya kira jelas lah itu akan berpengaruh banyak, tapi kalau ini semua melakukan, cuman enggak ketahuan, saya kira enggak terlalu jadi pembeda. Jadi tidak akan terlalu mencolok lah kalau ada penurunan,” kata Usep saat dihubungi reporter Tirto.
Usep pun mengingatkan, pemilih terdiri atas sejumlah karakter. Menurut dia, ada pemilih yang mengambil uang kemudian memilih sang paslon; ada pemilih mengambil uang tetapi memilih orang lain; ada pula yang menolak dan memilih kandidat lain.
Di era pemilihan langsung seperti saat ini, kata Usep, pemilih tidak sekadar memilih karena uang. Ia beralasan, masyarakat mulai mencari nilai plus selain menerima uang. Jika tidak memilih akibat nilai tambah, maka partai seperti Golkar pun masih sulit untuk takluk dengan alasan politik uang.
Menurut Usep, Golkar merupakan salah satu dari 5 partai besar di Indonesia. Partai yang dipimpin Airlangga Hartanto itu sudah malang-melintang di dunia politik dan mempunyai kader senior yang berpengalaman.
Ia menilai, kasus politik uang yang dialami Bowo dan menyeret nama Nusron ini tidak akan berpengaruh banyak untuk penurunan suara Golkar di dapil itu.
“Selama Orde Baru mereka (Partai Golkar) merajalela di semua daerah. Politik sampai ke desa dan itu susah ketika sekejap mata mau berubah. Kantong-kantong loyal Golkar itu sekejap mata pindah ke partai lain, saya kira agak sulit memprediksi,” kata Usep.
Bawaslu Perlu Bertindak
Terkait kasus ini, Bawaslu belum mengambil sikap. Komisioner Bawaslu M. Afifudin mengatakan institusinya belum memutuskan akan melakukan penyelidikan atau tidak. Namun, Afif menilai insiden tersebut sebagai pengingat bahwa potensi politik uang itu nyata.
“Ini pengingat bahwa potensi politik uang ada. Tapi praktiknya sendiri dalam kasus ini, kan, belum dilakukan,: kata Afif saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu mempunyai wewenang untuk meminta keterangan yang dibutuhkan kepada pihak terkait dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu.
Kewenangan tersebut sudah beberapa kali dilakukan Bawaslu dalam sejumlah kasus, seperti dugaan mahar Partai Gerindra dalam kasus La Nyalla Mattaliliti saat mau maju dalam Pilkada Jatim. Namun, dalam kasus Bowo ini, Bawaslu belum memutuskan langkah apa yang akan diambilnya.
Dalam kasus ini, kata Afif, Bawaslu mengapresiasi langkah KPK yang melakukan OTT, sehingga aksi politik uang berhasil digagalkan.
Ia mengingatkan penyidik KPK masih melakukan penyidikan terkait kasus Bowo Sidik. Karena itu, Bawaslu berencana melakukan koordinasi lanjutan terkait pencegahan politik uang ini.
“Kami akan ketemu KPK untuk koordinasi lanjutan kaitan dengan pencegahan [politik uang]” kata Afif.
Peneliti dari Perludem Fadli Ramadhanil memandang, Bawaslu harus menjadikan temuan KPK sebagai bukti kalau ada potensi politik uang dalam Pemilu 2019. Menurut dia, Bawaslu harus melakukan pemantauan intensif di sejumlah daerah agar politik uang dapat diantisipasi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz