Menuju konten utama

Tak Seorang pun Tahu ke Mana Biji Donald Trump

Sekelompok seniman anarkis, INDECLINED, memamerkan patung telanjang Donald Trump tanpa biji pelir. Mereka memprotes kemunculan Trump sebagai capres. "Dia tidak berada di jalan testis."

Tak Seorang pun Tahu ke Mana Biji Donald Trump
Orang memotret patung telanjang Donald Trump di Union Square Park di New York. [Foto/Reuters/Brendan McDermid]

tirto.id - "Jangan beli produk Nestle, ada fluoridanya," kata Jim, seorang pendukung Donald Trump, kepada Dave Eggers.

Jim orangnya hangat, ramah, baik hati dan bersemangat. Ia membelikan Dave sebotol air mineral. Ketika Dave mencoba mengganti uangnya, Jim langsung mengibaskan tangan tanda menolak. Dave lalu bertanya kenapa Nestle menaruh zat fluorida di jualan mereka.

"Mereka mencoba membodohi kita supaya kita tidak memilih Trump," jawab Jim, "Kamu baca sejarah? Hitler yang memulai itu."

Dave bertanya lagi untuk apa Hitler meracuni air dengan fluorida. Keduanya sedang berada di antrean menuju lokasi kampanye Donald Trump di Sacramento, California, pada 1 Juni 2016. Dave melihat antrean di depannya masih panjang, jadi ia pikir tidak ada salahnya membunuh waktu bersama Jim.

"Guna membodohi orang banyak," kata Jim. "Membuat mereka mengalami letargi." Jim mengalihkan pandangannya ke langit, "Lihat itu?" tanyanya, menunjuk jejak putih sebuah jet yang terbang di atas mereka. "Itu kerjaan angkatan udara. Mereka menyemprotkan kotoran dari langit."

Jim bukan nama sebenarnya. Ia nama yang asal saja diberikan Dave kepada pria setinggi enam kaki yang perutnya agak buncit karena kebanyakan bir dan mengenakan kaos kuning bertuliskan "Don't Tread on Me" di kampanye Trump sore itu. Selama 90 menit antrean menuju hanggar tempat kampanye berlangsung, Jim tak henti-hentinya menawarkan beragam teori konspirasi.

"Mereka memanipulasi cuaca dengan teknologi," lanjut Jim, "dan mereka sebut itu perubahan iklim. Merekalah sebenarnya yang mengubah-ubah iklim dengan teknologi."

Dave sangat terkesan atas pengalamannya sore itu dan menuliskan laporannya di The Guardian. Kisah Jim hanya satu di antara sekian fans Trump yang ajaib. Sejak memarkir mobil Dave sudah dibuat terpana, mendapati sepasang muda-mudi yang sedang saling grepe di mobil yang terparkir di sebelahnya.

Setahun sebelumnya, Dave secara intensif mengikuti pencalonan Trump dengan mata kepala yang kurang lebih sama dengan cara pandang manusia seluruh dunia—dan setidaknya setengah dari warga Amerika: Pertama-tama sebagai tontonan menyenangkan yang tidak berbahaya, lalu sebagai tontonan yang mengkhawatirkan, lalu sebagai tontonan sureal yang berbahaya, dan akhirnya sebagai mimpi buruk menakutkan yang menggemakan kembali suara-suara Benito Mussolini, Joseph McCarthy, Kristallnacht, dan Adolf Hitler.

Media-media menuliskan laporan dan menayangkan video klip aksi Trump dan pendukungnya yang tampak seperti pesta-pora proto-fasis yang merayakan supremasi kulit putih, yang sarat rasialisme, salam hormat pseudo-Nazi, dan ancaman kekerasan terhadap mereka yang berani-beraninya mencela. Selama berbulan-bulan Dave percaya, pencalonan Trump adalah tragedi politik paling berbahaya dalam sejarah modern Amerika. Tapi kenyataan yang dilihatnya di Sacramento mengubah pandangannya.

Di hadapan Dave dan Jim, berdiri seorang wanita usia 40-an mengenakan tank top warna putih, kaca mata hitam ukuran jumbo, dan topi baseball jambon. Dave menamainya Belinda. Di sebelahnya, seorang lelaki kulit putih setengah baya dengan kaos Trump warna putih bertuliskan "Make America Great Again". Tipikal kebanyakan penggemar Trump, Dave menggelarinya Ron.

"Aku orang Latin," kata Belinda kepada Ron. "Ibuku dari Meksiko."

Menurut Belinda, banyak orang yang terlalu bingung tentang sikap Trump terhadap Meksiko, lalu berasumsi bahwa ia tidak didukung komunitas Latin. Padahal sebaliknya, kata Belinda, pendukung Trump yang orang Latin lebih banyak daripada yang diperkirakan. Ia dan ibunya juga mendukung pembangunan dinding raksasa.

Donald Trump memang berjanji akan membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko. Banyak orang yang menolaknya lantaran alasan rasis yang diajukan Trump: Politisi Partai Republik berambut eksentrik itu menyebut semua orang Meksiko yang masuk ke Amerika adalah pemerkosa dan pengedar obat-obatan terlarang. Sementara para ahli memperkirakan proyek itu mustahil dikerjakan, karen akan memakan biaya sekitar $5 miliar—meski Trump pernah menekankan bahwa Meksiko yang harus menanggung biayanya.

"Temanku juga orang Meksiko," balas Ron. "Sudah warga negara AS dan dia pernah bekerja untuk kampanye Obama di Chicago, mengetuk pintu ke pintu demi kemenangan Obama. Dan sekarang ia terlibat di kampanye Tump."

Setelah jeda sejenak, Ron meneruskan dengan kisah temannya yang lain yang berasal dari Afghanistan. "Pendukung Trump juga dia, dan dia muslim. Jadi, jangan percaya omongan media."

"Mereka bilang Trump itu rasis dan pembenci," imbuh Ron. "Tunggu dulu. Tunggu dulu. Empat puluh tahun lamanya kalian suka orang ini, dan sekarang kalian mencapnya dengan sebutan-sebutan itu? Tidak masuk akal."

Pada pukul lima, Trump nongol di panggung dengan setelan resmi dan topi merah khasnya. Masa menyambut dan mengelu-elukannya dengan histeris.

"Terima kasih banyak. Terima kasih banyak. Veteran. Aku cinta veteran," ucap Trump. Beginilah caranya memulai pidato, tanpa banyak cingcong, langsung ke inti persoalan. "Aku akan menaikkan anggaran $6 juta untuk para veteran, dan pers membunuhku. Sulit dipercaya."

Setelah sapaan singkat, ia langsung menukik-menggigit. Inilah faktor yang membuatnya menjadi orator yang menawan. Pertama-tama dan terutama, hampir tidak ada pembukaan. Tidak ada daftar ungkapan syukur dan terima kasih yang biasa diucapkan para politisi dengan hati-hati. Ia langsung menyengat, menyerang, menggebuk dengan kata-kata: Enam juta dolar. Veteran. Pers. Membunuh.

Semua itu keluar dari mulutnya tanpa tuntunan naskah.

"Tapi pers," lanjutnya, "mereka selalu berusaha membuat segalanya terlihat seburuk mungkin. Orang-orang ini jahat sekali. Mereka jahat, jahat sekali." Lalu ia menyebut insan pers sebagai "pembohong", "sampah", dan sederet julukan aduhai lainnya.

Meski melancarkan perang terhadap media, dan tanpa malu-malu mengakui kesuksesan kampanyenya dimungkinkan oleh media yang tak pernah lelah meraup untung dari liputan dan kritik terhadap setiap gerak-geriknya, Trump bangga juga ketika berkata, "kita sudah ada di semua sampul majalah. Semua majalah. Dan seringkali, berkali-kali."

Setelah menonton pidato Trump, mendengar kerumunan tertawa dan bersorak-sorai dan bersenang-senang di bawah guyuran sinar matahari senja, Dave sampai pada kesimpulan yang mencengangkan dirinya sendiri: para pendukung Trump sebenarnya tidak terlalu peduli apa yang dikatakannya. Baru setengah pidatonya berjalan, mereka sudah mulai bosan dan satu per satu meninggalkan arena.

Para pendukung Trump sesungguhnya tidak benar-benar mendengarkan apa yang dikatakannya. Mereka gegap-gempita ketika ia mengatakan akan membantu para vetaran, riuh-rendah saat ia bilang akan membangun dinding raksasa, tapi sebenarnya mereka peduli setan apa pun yang dikatakannya.

Jika esok Trump memutuskan, misalnya, tidak akan membangun tembok, mereka hanya akan angkat bahu dan tetap mendukungnya. Ia pernah mendukung kontrol atas senjata lalu menolaknya. Ia pernah menyebut Perang Irak, dan semua petualangan AS di Timur-Tengah, sebagai kesalahan. Tetapi ia juga berjanji akan meluluh-lantakkan ISIS dengan bom. Ia telah berbalik pendapat hampir di semua isu penting, bahkan kerap di minggu yang sama.

Para suporternya tak peduli.

Tidak satu pun platform Trump yang mereka anggap penting. Tak ada kebijakan yang penting. Tak ada janji politik yang penting. Tak ada penjahat, tak ada kambing hitam, yang penting.

Kalau besok dia bilang orang Kanada, bukan Meksiko, semuanya pemerkosa dan pengedar narkoba, dan karenanya dinding gigantik harus dibangun di perbatasan AS-Kanada, pendukungnya akan bergeming. Angka perolehan suaranya di pelbagai survei tak akan goyah.

Sebab tak ada posisi atau pernyataan politik yang penting bagi mereka. Hanya ada merek, nama, kepribadian, yang mereka lihat dan kagumi di televisi.

Maka, menurut Dave Eggers, percaya bahwa semua pendukung Trump rasis dan fasis adalah kesalahan besar. Pemandangan di Sacramento membuka matanya: Mereka, ribuan orang biasa yang rela berdesak-desakkan di hanggar itu, adalah orang-orang yang menganggap betapa keren kemunculan Trump dari pesawat bertuliskan namanya. Betapa nakalnya Trump ketika menyebut Obama presiden "bodoh". Betapa lucunya Trump saat mengucapkan kata "huge" dengan caranya yang aneh, tanpa h, dan sambil terpingkal-pingkal mereka akan ikut berteriak "uuuuuge!"—setengah tertawa bareng, setengah menertawakan. Audiens yang menonton Trump itu tentu senang membayangkan: betapa kocaknya jika orang ini duduk berhadap-hadapan dengan Angela Merkel. Pasti epik.

Orang-orang Amerika memilih Trump dalam pertarungan menjadi capres Partai Republik bukan karena mereka setuju dengan semua, atau sebagian, pernyataan dan janji politiknya, melainkan karena ia menghibur. Ia lantang, menawan, dan pelawak yang hebat. Daya tariknya melesat berkat rangkaian kampanye, dan liputan media, yang bahan bakarnya bukan substansi melainkan kesediaannya mengatakan banyak hal gila.

Mereka tersedot akting Trump, tentu saja. Sebagaimana kebanyakan komedi, daya tariknya terletak pada kesenangan terlarang setelah mendengar hal-hal yang sangat tidak pantas diucapkan justru terdengar melengking melalui mikrofon—apalagi jika suara itu malah terdengar hingga seluruh pelosok dunia. Mereka sulit percaya ada orang yang berani begitu, heran, tercengang, takjub.

Setelah dua puluh menit pidatonya di Sacramento, Trump mulai mengulang-ulang omongannya, mulai menunduk, membacakan statistik kondisi ekonomi California. Orang-orang tak peduli. Ketika ia terlalu spesifik, nilai menghiburnya mulai tenggelam dan pendukungnya memilih minggat.

Corey Lewandowki, manajer kampanye Trump, berkali-kali menegaskan "biarlah Trump menjadi Trump". Strategi ini terbukti ampuh. Selama ia terus-menerus mengucapkan hal-hal sinting, ia akan mendominasi pemberitaan dan semakin banyak memikat kerumunan.

Donald Trump telah resmi dicalonkan Parta Republik, menantang Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Banyak orang Amerika yang semakin ketar-ketir kalau-kalau Si Donald sukses bikin keok Hillary.

Lantaran khawatir seperti Dave Eggers sebelum menghadiri kampanye Sacramento, sekelompok seniman anarkis yang menamakan diri INDECLINE membuat seni instalasi berupa patung Donald Trump telanjang sebagai bentuk protes. Patung yang diberi nama "Sang Kaisar Tak Punya Biji" itu dipamerkan di ruang publik di lima kota: New York, San Francisco, Los Angeles, Cleveland, dan Seattle.

Patung ini dikerjakan selama empat bulan oleh seniman bernama Ginger yang berpengalaman menciptakan patung monster. "INDECLINE meminta bantuan saya karena kemampuan saya bikin monster," kata Ginger. "Dan Trump adalah bentuk monster yang lain."

Menurut juru bicara INDECLINED yang bicara dalam kondisi anomim, patung ini terinspirasi dari dongeng gubahan Hans Christian Andersen, Sang Kaisar Tak Punya Baju. "Kami sengaja menggambarkan Trump tanpa biji pelir karena kami tidak mau mengakui dia seorang pria," kata si juru bicara, "dia hanyalah seorang bocah kecil arogan yang, dengan demikian, belum berada di jalan testis."

Sebuah protes politik yang cukup serius.

Meski tidak terlalu lama nangkring di ruang publik karena segera ditertibkan dinas kota, terima kasih kepada internet, foto dan video patung itu tak bisa dihalangi menjadi viral di berbagai media sosial. Komentar atasnya segera mengalir deras. Ada yang gembira belaka, tak sedikit pula yang senewen. Mereka yang bukan pendukung Trump bahkan ada juga yang mencaci-maki INDECLINED karena instalasi itu tak ubahnya seperti Trump: seksis, non-sekuitur, body-shaming, dan sama sekali tidak berselera seni.

Demikianlah politik Amerika yang kian serius menjelang pemilihan presiden pada 8 November nanti. Jika akhirnya Donald Trump yang terpilih, sepertinya Tuhan memang sedang mengajak bercanda bangsa Amerika.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Politik
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti