Menuju konten utama

Debat Capres Paling Sureal dan Brutal Sepanjang Sejarah AS

Inilah tontonan paling grotesk yang disajikan politik AS selama 240 tahun negara itu berdiri. Di dalamnya dipenuhi keributan, saling serang masalah pribadi antar kandidat, dan saling interupsi dan berebut giliran bicara.

Debat Capres Paling Sureal dan Brutal Sepanjang Sejarah AS
Calon presiden Amerika Serikat dari partai Republik Donald Trump dan calon presiden Amerika Serikat dari partai Demokrat Hillary Clinton akan berjabat tangan di akhir debat calon presiden di Washington University di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, Minggu (9/10). ANTARA FOTO/REUTERS/Jim Young

tirto.id - "Saya cium saja," kata Donald Trump. "Cium saja—saya tak perlu menunggu. Jika anda seorang bintang, para perempuan itu akan membiarkanmu melakukannya. Anda boleh melakukan apa saja."

Dalam rekaman tahun 2005 itu, berbicara kepada Billy Bush, pembawa acara Access Hollywood, Donald sesumbar dengan lagak yang acuh tak acuh dan sembrono bahwa ia sulit menahan diri melihat wanita cantik.

Billy cekikikan, menimpali penuh semangat, "Apa pun yang Anda inginkan."

Donald, yang calon presiden negara adidaya itu, melanjutkan dengan detail kegiatan jasmaniah yang umumnya bisa Anda temukan di video porno yang menampilkan remaja belasan tahun yang pasrah atau reka ulang kasus pelecehan seksual, "Jambret saja kemaluannya. Anda boleh melakukan apa pun."

Rekaman ini dibocorkan Washington Post pada Jumat, 7 Oktober 2015, sebelas tahun setelah kejadiannya dan tentu saja menggegerkan. Tidak kurang 36 tokoh penting Partai Republik, partai pendukung Trump, menyatakan menarik dukungan mereka kepada Trump. Bahkan pasangannya, calon wakil presiden dari Partai Republik, Gubernur Indiana Mike Pence menolak tampil atas nama Tuan Trump di sebuah pertemuan partai di Wisconsin dan mengeluarkan sejenis ultimatum.

"Saya tidak bisa membenarkan ucapannya dan tidak bisa membelanya," kata Mike, Sabtu, "Kita doakan keluarganya dan berharap beliau punya kesempatan menunjukkan apa yang sebenarnya ada di hatinya di hadapan bangsa ini dalam debat besok malam."

Tapi Tuan Pence sepertinya harus kecewa lagi. Si Donald belum sepenuhnya pulih dari bencana 48 jam yang baru saja menimpanya, pada debat Minggu malam, di panggung ia berkeliaran seperti predator, menampilkan muka cemberut, meledak-meledak, bicara dengan gaya tukang intimidasi yang misoginis, berkali-kali menginterupsi giliran lawannya bicara, berkali-kali pula cekcok dengan moderator.

Tentu saja ia marah—kepada Hillary Clinton, kepada duo moderator Anderson Cooper dan Martha Raddatz, juga karena pencalonannya telah di ujung tanduk. Apalagi tema menggerayangi perempuan yang dibualkannya itu mendominasi setengah jam pertama dalam debat.

"Anda bilang menyentuh alat kelamin perempuan. Itu pelecehan seksual. Apakah Anda mengerti?" tanya Anderson Cooper.

"Oh, tidak, itu percakapan ruang loker," jawab Donald. "Saya tidak bangga atas itu. Saya minta maaf kepada keluarga saya dan seluruh warga Amerika. Saya tidak bangga atasnya, tapi itu percakapan ruang loker."

Anderson lalu bertanya, pernahkah Donald mencium atau meraba-raba perempuan tanpa persetujuan. "Tidak seorang pun menghormati perempuan lebih dari saya," jawabnya.

Tidak seorang pun.

Sekali lagi Anderson bertanya, berusaha memastikan. "Saya sangat menghormati kaum hawa," jawab Donald. Anderson bertanya untuk ketiga kalinya pernah atau tidak Donald "melakukan itu". "Para perempuan menghormati saya. Dan saya beritahu Anda, tidak, saya tidak pernah melakukan itu."

Debat malam itu benar-benar sesuatu yang belum pernah terjadi selama 240 tahun Amerika Serikat berdiri. Saking brutalnya, barangkali para orang tua, yang awalnya berencana memberi pelajaran kewarganegaraan dengan mengajak anak-anak mereka menonton, justru buru-buru menyuruh tidur.

Hillary di atas angin untuk menyerang lawannya. "Setiap orang bisa menarik kesimpulan sendiri apakah pria yang di video itu dan di atas panggung ini menghormati perempuan atau tidak," kata Hillary. "Ia harus bertanggung jawab atas tindakan dan kata-katanya."

Donald makin berang, makin sulit menahan diri, dan segera menyemburkan tuduhan terhadap Hillary terkait email pribadinya ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. "Kalau saya menang, saya akan menginstruksikan Jaksa Agung saya memeriksa skandal Anda," katanya.

"Oke, Donald, saya tahu Anda mencari-cari pengalihan besar malam ini—apa pun untuk menghindari pembicaraan tentang kampanye Anda dan bagaimana itu semua perlahan-lahan hancur-lebur dan Partai Republik mulai meninggalkan Anda," jawab Hillary ketika diberi kesempatan untuk menanggapi.

Anderson Cooper kemudian menyatakan sudah saatnya beralih ke pertanyaan baru, tapi Donald belum puas menumpahkan kekesalannya. "Anderson, mengapa Anda tidak mau menyinggung soal email?"

"Kami sudah singgung soal email."

"Ini namanya tiga lawan satu," gerutu Donald, menganggap dua moderator malam itu bergabung dengan Hillary untuk menghancurkannya.

Setelah seseorang dari kursi audiens mengajukan pertanyaan tentang layanan kesehatan, Donald dan Hillary berebutan menjawab. Moderator menengahi, mempersilakan Hillary.

"Silakan, Donald," kata Hillary.

"Tidak, Hillary," kata Donald, "saya seorang pria sejati. Lanjutkan."

Tapi selama Hillary menjawab, Donald mondar-mandir di belakangnya seperti bocah kecil yang bosan dan cari perhatian di acara orang dewasa, berkeliaran di sekitar panggung seperti seorang patriark yang tidak bisa sabar melihat seorang perempuan bicara. Tidak hanya sekali, di kesempatan lain ketika Hillary bicara, ia terus menyelinap ke belakang Hillary, bahkan hingga jarak mereka sangat dekat dan Donald terlihat seperti seorang psikopat pembunuh berantai yang sedang mengintai korbannya atau hantu yang siap menerkam di film-film horor.

Kelakuan Donald ini tentu saja mendapat reaksi menghebohkan di media sosial.

"Ide kostum Halloween: Berpakaian seperti Trump, pergi ke pesta, dan berdiri 3-5 kaki belakang wanita sukses," tulis @ErinChack, seorang editor Buzzfeed.

"Ketenangan dan kemampuan Hillary bicara sementara seorang psikopat bersembunyi di belakangnya adalah demonstrasi kemampuannya menjadi pemmimpin," kicau penyair @robinschaer.

Sebagai pria sejati, Donald Trump seharusnya bisa lebih tenang dan menghemat energinya agar tidak terlalu sering kehilangan fokus. Lain kali, di debat terakhir nanti, lebih baik duduk saja, Pak Donald.

Untungnya, debat malam itu masih bisa diakhiri baik-baik berkat seorang penanya keren yang meminta masing-masing kandidat mengungkapkan apa yang mereka kagumi satu sama lain. Hillary memuji anak-anak Trump dan Donald memuji Clinton sebagai pejuang yang tidak kenal lelah. Sebuah penebusan yang lumayan.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Indepth
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti