tirto.id - “Dilarang mengambil apapun kecuali foto—dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak—dilarang membunuh apapun kecuali waktu.”
Etika universal beraktivitas di alam bebas ini menjadi semboyan penyelenggara Pendidikan Dasar (Diksar) The Great Camping Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Islam Indonesia (Mapala Unisi). Mereka tak hanya "mengambil" masa depan peserta didik, "meninggalkan" citra buruk, tapi juga “membunuh” peserta diksar.
Tiga dari 34 mahasiswa peserta meninggal sesudah mengikuti pelatihan tersebut di Gunung Lawu, Lereng Selatan, Tawangmangu, pada 13-20 Januari 2017. Ada "indikasi kekerasan" menimpa Muhammad Fadhli, Syaits Asyam, dan Iham Nurpadmy Listia Adi—ketiganya berusia 20 tahun. Ini fakta yang tak bisa disebut kecelakaan semata dengan menghitung jumlah korban. Ini "kecolongan" besar bagi Mapala Unisi sebagai organisasi kampus.
Sejak 24 Januari, pihak kampus mulai melakukan penanganan kesehatan, termasuk dengan menyatakan sepuluh peserta dirawat inap dan yang lain rawat jalan. Temuan awal tim investigasi internal UII menyimpulkan "terdapat indikasi kekerasan yang dilakukan oleh oknum tertentu selama kegiatan."
Menilik soal kegiatan alam bebas di Indonesia tak terpisahkan dari tiga organisasi tertua, yaitu Wanadri (Bandung) dan Mapala Universitas Indonesia yang sama-sama lahir pada 1964, dan disusul Aranyacala Universitas Trisakti (Jakarta) pada 1967.
Bagaimana sebenarnya mereka menempa fisik dan mental para calon anggotanya?
Beda Cara Satu Tujuan
Kegiatan alam bebas, selain sebuah hobi, juga punya tujuan dalam membentuk karakter fisik, mental, inteligensi seseorang, kadang ditambah unsur 'machoisme' yang seringkali menempatkan peserta didik dalam wilayah abu-abu apakah tengah menjalani gemblengan ataukah kekerasan.
Perhimpunan pendaki gunung dan organisasi pencinta alam di atas memakai dua mazhab berbeda dalam metode pendidikan di alam bebas. Wanadri mewakili metode yang mengadopsi garis dasar kepanduan dan pendidikan militer. Sementara Mapala UI dan Aranyacala mengadopsi metode pendidikan alam bebas berlatar komunitas akademis di kampus.
Ichsan, yang mendapatkan pendidikan dasar Wanadri tahun 2001, mengisahkan bagaimana ia menjalani proses tersebut hingga lulus dan berhak menerima lencana “api rawa”—nama untuk angkatan putra 2001 Wanadri.
Sebelum menjalani diksar, Ichsan harus melalui proses seleksi ketat, dari ujian tertulis kemampuan dasar alam bebas, uji psikotes, uji fisik, hingga tes kesehatan. Untuk proses ini Wanadri mengajak beberapa lembaga profesional termasuk dari Kodam Siliwangi dan jurusan kedokteran, yang memeriksa kesehatan secara umum untuk memastikan kesiapan jasmani para calon peserta. Proses ini juga memerlukan persetujuan tertulis dari calon anggota dan keluarganya.
“Kita enggak mau ambil risiko dengan kegiatan kita, udah kayak masuk tentara, benar-benar profesional proses seleksinya,” kata Ichsan yang pernah menjadi instruktur Wanadri kepada Tirto di kediamannya, Pondok Petir, Depok.
Selama proses pendidikan, kesehatan para peserta selalu diawasi oleh tim dokter pendamping. Tindakan fisik sebagai bagian dari hukuman memang kadang diperlukan dalam proses pendidikan Wanadri, tapi dilakukan dengan terukur, bukan untuk menyakiti peserta diksar apalagi sebagai aksi sengaja.
“Ada hukuman fisik, tapi itu diberikan ketika peserta didik sudah dianggap membahayakan dirinya atau peserta lain,” katanya.
Galih Donikara, salah satu anggota senior Wanadri, menggambarkan proses pendidikan di Wanadri atau kegiatan alam bebas. Pada umumnya kegiatan macam ini harus berpatokan pada tiga hal: alam, penyelenggara, dan peserta.
Alam mengandung dan mengundang bahaya sehingga faktor kesiapan meminimalisirnya sangat penting dalam kegiatan alam bebas. Penyelenggara dituntut selalu siap dalam situasi darurat, dari peralatan, perbekalan, metode pendidikan yang sesuai, dan lainnya. Terakhir adalah peserta yang sudah diseleksi ketat untuk menekan risiko terburuk yang menanti di alam bebas. Metode latihan Wanadri termasuk pula latihan bertahan hidup di hutan, misalnya menangkap ular.
“Untuk metode mendidik, persoalannya ada yang mengadopsi gaya militer, tapi tak tahu ada ukurannya, tidak tahu porsi hukumannya, tahapannya seperti apa,” kata Galih menanggapi kasus Mapala Unisi.
Mapala UI, organisasi pencinta alam kampus tertua di Indonesia, menganut pola didik secara bertahap. Seorang senior di Mapala UI pernah berujar: “Cara survival terbaik adalah dengan manajemen perjalanan yang baik. Seseorang tak akan tersesat di gunung atau mati kelaparan kalau mempersiapkan perjalanan dengan baik.”
Pendidikan dasar di Mapala UI bernama Badan Khusus Pelantikan. Ia berlangsung kurang lebih setahun, mencakup kurikulum pendidikan, jadwal latihan, materi kelas, dan materi lapangan. Seorang calon anggota harus melewati tahapan perjalanan pendek, panjang, hingga ekspedisi; semuanya disiapkan dengan pola manajemen perjalanan yang ketat. Mapala UI tak mengenal proses pelatihan dengan cara hukuman fisik atau kekerasan.
“Hingga kini Mapala UI dapat meneruskan regenerasi tanpa kekerasan fisik, mengedepankan pendampingan," kata Yohanes Poda Sintong, Ketua Umum Mapala UI dalam keterangan resminya.
“Kita kayak kuliahan seperti sistem SKS. Ada target indikator yang perlu dicapai, baik fisik, materi alam bebas, dan team building. Gaya keras-keras itu sudah tidak zaman,” kata Soleh, anggota senior Mapala UI, kepada Tirto.
Selain persoalan metode mendidik, organisasi semacam Wanadri, Mapala UI, hingga Aranyacala Trisakti tak terlepas dari persepsi sebagai organisasi yang hierarkis dan menganut senioritas. Panggilan 'Abang', 'Akang', 'Mas' untuk mereka yang lebih tua jadi hal lazim. Di Aranyacala ada istilah “super senior” dan di Mapala UI “Toku” atau “ML” untuk untuk mereka yang paling dituakan.
“Senioritas, bagaimanapun, tetap ada, di tempat kerja pun sama. Ini lebih semacam penghormatan saja,” kata Slamet Gunung, salah satu jajaran angkatan pertama Aranyacala Trisakti.
“Dari pendidikan dasar yang pernah saya lewati, saya rasakan manfaatnya yang terus membekas," kata Ichsan dari Wanadri. "Semua harus safety first sebelum bertindak di kehidupan sehari-hari. Ini ibarat kita pasang anchor (pengikat) untuk tali, kalau bisa ada backup-nya atau sebanyak-banyaknya biar tenang dan aman.”
Seseorang yang berkegiatan di alam bebas memang butuh fisik dan mental yang prima. Dan proses mendidiknya tidak harus dengan kekerasan fisik yang menyakiti atau mencederai, apalagi mematikan.
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani & Fahri Salam