Menuju konten utama

Tak Berpihak kepada Petani, API Tolak RUU Sistem Budidaya Pertanian

RUU ini dinilai API lebih berpihak pada perusahaan besar ketimbang petani kecil dalam budi daya tanaman.

Tak Berpihak kepada Petani, API Tolak RUU Sistem Budidaya Pertanian
Petani memanen bunga hebras (Gerbera L.) untuk dipasok sebagai bunga hias di salah satu perkebunan di Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/7). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

tirto.id - Aliansi Petani Indonesia (API) menolak RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan [PDF]. Sekretaris Jenderal API, Muhammad Nuruddin beralasan aturan ini nantinya akan lebih berpihak pada perusahaan besar ketimbang petani kecil dalam budi daya tanaman.

Nuruddin menambahkan, peraturan ini juga berpotensi mengkriminalisasi petani atas urusan yang sejak dulu menjadi hak tradisional mereka.

"Kami menolak RUU ini. Sebaiknya tidak diloloskan terutama pasal 27 yang mengharuskan petani melapor dan daftar. Lalu pasal 108 dan pasal 112 tentang denda dan kurungan penjara," ucap Sekretaris Jenderal API, Muhammad Nuruddin saat dihubungi reporter Tirto, Senin (9/9/2019).

Nuruddin menuturkan poin dalam pasal 27 nantinya akan merugikan petani karena kewajiban melapor dan mendaftar hanya akan mempersulit budi daya tanaman. Padahal selama ini hal itu tidak perlu dilakukan menyusul adanya keputusan MK Nomor 99/PPU-X/2012 terhadap uji materi UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Di saat yang sama, budi daya tanaman dan penangkaran hasil persilangan benih (galur) sudah biasa dilakukan oleh petani sejak dilakukan secara tradisional. Setiap orang yang menjalankan profesinya dengan baik, kata dia, sudah pasti akan melakukan pengembangan galur untuk memperoleh hasil terbaik.

Nuruddin juga teringat pada kasus petani sekaligus kepala daesa asal Aceh, Teungku Munirwan. Kala itu Munirwan ditangkap polisi hanya karena mengembangkan benih unggul dan mengedarkan kepada petani di desanya.

Ia menilai kehadiran RUU ini nantinya hanya akan memperbanyak korban-korban lain seperti Munirwan. Padahal, kata dia, selama tidak ditujukan untuk komersil langkah Munirwan tidak salah, bahkan perlu dibina.

"Kasus-kasus Munirwan akan bermunculan. Kan kegiatan budidaya tanaman itu hak tradisional petani. Galur-galur itu juga pasti muncul dan wajar petani menangkar yang unggul," ujarnya.

Nuruddin juga menyoroti potensi RUU ini akan sangat menguntungkan korporasi. Bila petani kecil harus menempuh alur yang berbelit-belit maka sudah barang tentu, perusahaan besar akan diuntungkan karena pengembangan benih semakin bergantung pada mereka.

Ia mencontohkan banyak petani dilibatkan dinas di daerah untuk melakukan penangkaran, tetapi banyak yang tidak dihargai dan diberi bayaran yang sedikit.

Di satu sisi, kata Nuruddin, korporasi besar memiliki modal besar mulai dari lab hingga kemudahan melakukan uji coba di berbagai provinsi Indonesia. Perusahaan besar juga didukung oleh subsidi benih sebesar Rp5 triliun dari pemerintah.

Menurutnya, subsidi seprti itu lebih tepat dialirkan kepada petani untuk mengembangkan pembibitan mereka masing-masing.

"Ini jelas ada keberpihakan yang salah dengan perusahaan. Ini makanya tidak heran ada muncul pasal 27" ucap Nuruddin.

Baca juga artikel terkait RUU PERTANAHAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan