tirto.id - Zulkifli Hasan (Zulhas) punya alasan mengapa lembaga yang ia pimpin menunjuk Imam Besar Masjid Istiqlal memimpin doa penutup Sidang Tahunan MPR 2018 yang dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia tak mau doa yang dibacakan anggota MPR memantik kontroversi seperti tahun-tahun sebelumnya lantaran disusupi pesan bermuatan politis.
“Marilah kita berdoa bersama yang biasanya dipimpin oleh anggota MPR tapi pengalaman tahun-tahun yang lalu doa menjadi ramai. Oleh karena itu, kali kami meminta doa dipimpin yang terhormat Profesor Dr. Nasaruddin Umar MA, Imam Besar Masjid Istiqlal,” kata Zulkifli di ruang sidang paripurna pada 16 Agustus 2018.
Selaku Ketua MPR Zulkilfi boleh bernafas lega lantaran strateginya relatif cukup berhasil. “Alhamdulillah doanya dapat tepuk tangan. Aman artinya [tidak kontroversial],” kata Zulkifli usai Nasaruddin menandaskan doanya dari atas podium.
Meski begitu, bukan berarti arena sidang bersih sama sekali dari manuver politik. Peneliti The Political Literacy Adi Prayitno menilai justru Zulhas lah orang yang memanfaatkan panggung sidang tahunan MPR sebagai alat politik. Menurut Adi, isi pidato Zulhas yang menyinggung perkara ekonomi di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan menggunakan bahasa 'pesan emak-emak', merupakan upaya menggiring opini publik bahwa pemerintahan saat ini tak bisa memberikan kesejahteraan ekonomi.
“Ini berpengaruh kepada pilihan rasional publik. Karena salah satu aspek yang dipertimbangkan pemilih rasional adalah ekonomi,” kata Adi kepada Tirto, Jumat (17/8/2018).
Warna politis dalam pidato Zulhas kian kentara saat ia menyinggung isu penyelesaian utang negara, penguatan usaha ekonomi mikro dan menengah, serta kenaikan harga pokok. Adi melihat Zulhas yang merupakan Ketua Umum PAN sedang membingkai kegagalan kebijakan ekonomi Jokowi melalui isu-isu yang disebutkannya.
"Skemanya begini yang ingin disampaikan Zulhas: ketimpangan ekonomi yang besar dan membuat emak-emak tertekan itu karena negara banyak utang, tak memperhatikan rakyat," kata Adi.
Pidato Zulhas, kata Adi, menjadi sinyal jika kubu oposisi akan meninggalkan isu identitas dan lebih memainkan isu ekonomi untuk melawan Jokowi di Pilpres 2019 mendatang. Adi memandang kehadiran Sandiaga Uno sebagai cawapres Jokowi membuat kelompok oposisi lebih percaya diri memainkan isu ini. Menurutnya, meskipun Ma’ruf Amin menyandang gelar doktor ekonomi syariah namun ia lebih dikenal sebagai agawaman.
"Masyarakat awam bakal lebih mudah percaya Sandiaga ekonom karena punya perusahaan. Kiai Maruf punyanya pesantren," kata Adi.
Dikritik Menteri Dibela Kader Sendiri
Pidato Zulhas mendapat kritik dari menteri-menteri Kabinet Kerja. Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah pidato Zulkifli. Ia membantah poin bahwa defisit APBN terhadap terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terus melebar. Menurut Sri Mulyani, dalam RAPBN 2019 pemerintah memproyeksikan defisit APBD terhadap PDB berada di angka 1,84 persen. Sedangkan pada APBN 2017, defisit APBN terhadap PDB 2,51% dan dalam outlook APBN 2018 defisit APBN terhadap PDB sebesar 2,12%. Sri Mulyani juga menyatakan pemerintah akan terus menjaga utang agar tidak mengganggu sisi fiskal.
Kritik juga disampaikan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto. Menurutnya, Zulhasi sebagai ketua MPR tidak tepat menyampaikan kritik kepada presiden. Menurutnya, yang memiliki fungsi pengawasan adalah DPR.
Kritik juga datang dari Ketua DPP Nasdem, Irma Suryani Chaniago. Ia menilai Zulhas kurang beretika karena menyampaikan kritik kepada pemerintah di forum sepenting sidang tahunan MPR. "Kalau sebagai ketua MPR kan selain memberikan kritik harusnya memberikan solusi dan apresiasi. Kalau begitu lebih fair. Ini kan kelihatan sekali dia bersikap oposan," kata Irma kepada Tirto, Jumat (17/8/2018).
Seharusnya, kata Irma, kritik dan manuver politik disampaikan di forum lain saja. Seperti forum internal PAN. "Kalau beliau bicara sebagai ketum PAN, saya tidak alergi," kata Irma.
Anggota Komisi IX DPR ini pun mengkritisi isi pidato Zulkifli soal utang negara. Menurutnya, kebijakan utang di era Jokowi termasuk yang paling bermanfaat ketimbang pemerintahan sebelumnya. "Utang pak Jokowi ini kan juga ada bentuk dan pencapaiannya. Ada jembatan, pelabuhan, bandara dan banyak lainnya. Ada buktinya. Nah yang sebelum-sebelumnya mana? Ini kan kita bisa bandingkan secara jujur," kata Irma.
Irma juga menyinggung perkara kesenjangan ekonomi yang diutarakan Zulhas. Menurutnya, angka kemiskikan di era Jokowi cukup rendah. "Di era Jokowi itu satu digit, lho. 9 persen angka kemiskinan. Angka kemiskinan normalnya 6 persen," kata Irma.
Data tersebut, menurut Irma, sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang menurutnya sama sekali tak disinggung Zulhas dalam pidatonya. Irma juga tak terima Zulhas meminjam suara 'emak-emak' untuk mengkritik Jokowi. Menurutnya, selama menjadi Menteri Kehutanan, Zulhas telah membuat sengsara 'emak-emak'.
"Itu banyak sekali warga di Riau dan Pagar Alam itu mempertanyakan hutan pada saat beliau jadi menhut bagaimana coba? Sampai hari ini kan masih dituntut masyarakat, termasuk emak-emak juga," kata Irma.
Bukan Cuma Zulhas
Waketum PAN, Viva Yoga menilai respons para pendukung Jokowi terhadap pidato Zulhas terlalu berlebihan. Menurutnya, menyampaikan kritik di forum sidang tahunan MPR bukanlah hal terlarang. "Kritik-kritik semacam itu kan biasa dalam demokrasi. Harusnya biasa saja," kata Viva kepada Tirto.
Lagipula, kata Viva, dengan penyampaian kritik bisa membuat sidang Tahunan MPR bukan sekadar seremonial belaka, melainkan bisa menjadi ajang evaluasi bagi pembenahan pemerintahan. "Kalau ada yang sebut itu sebagai manuver politik, ya silakan. Tapi menurut saya itu sekadar kritik yang wajar," kata Viva.
"Setahu saya ini juga bukan kali pertama ada kritik," imbuhnya.
Penyampaian kritik kepada pemerintah di saat sidang tahunan MPR memang bukan kali pertama. Pada 1997, Khofifah Indar Parawansa pernah menyampaikan kritik keadaan pemerintahan Orde Baru dalam pidatonya di sidang tahunan MPR.
Saat itu, Khofifah mengkritik perihal sistem pemilu yang tidak demokratis dan korupsi yang menggurita di dalam pemerintahan Orde Baru. Ia juga menyinggung perihal istilah Asal Bapak Senang sebagai wujud nepotisme.
Tak pelak, pidato itu membuat fraksi ABRI dan Golongan Karya yang menjadi mayoritas anggota MPR berang. Mereka meneriakkan kata "hu" untuk mengganggu konsentrasinya.
Hal itu disampaikan Khofifah saat Tirto melakukan wawancara khusus dengannya pada medio November tahun lalu. Bahkan, menurut gubernur Jatim itu, saat itu ia mesti diamankan suaminya dari hotel anggota DPR lantaran mendapatkan ancaman kekerasan dari pemerintah Orde Baru.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar