Menuju konten utama

Tahun Baru Masalah Lama Bagi Venezuela

Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi Venezuela terpuruk. Inflasi yang meroket kemudian membuat masyarakatnya susah untuk bertahan hidup. Terakhir, Presiden Maduro berusaha menenangkan rakyat dengan menaikkan upah minimum nasional sebesar 50 persen. Apakah hal itu efektif?

Tahun Baru Masalah Lama Bagi Venezuela
Presiden Venezuela Nicolás Maduro. FOTO/nicolasmaduro.org.ve

tirto.id - Tahun berganti dan Venezuela masih menghadapi masalah yang sama. Ekonomi terpuruk, sementara politik masih memanas antara kubu pemerintah dan oposisi, terutama sejak pihak terakhir memenangkan kursi mayoritas di parlemen pada Desember 2015.

Pelbagai upaya telah dilakukan Presiden Nicolas Maduro untuk memperbaiki situasi tersebut. Terakhir, pada Minggu, 8 Januari lalu, ia mengumumkan kenaikan upah minimum nasional sebesar 50 persen, dari 27.091 bolivar menjadi sekitar 40.638 bolivar, seperti dilaporkan oleh Venezuelanalysis.

Ia mengatakan, langkah ini akan melindungi pekerjaan dan pendapatan masyarakat negara tersebut serta akan menguntungkan pekerja umum, angkatan bersenjata, dan para pensiunan. Kenaikan upah ini merupakan kelima dalam satu tahun terakhir.

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi inflasi di negara ini akan mencapai 1.660 persen tahun ini. Meski demikian, menurut laporan dari Center for Economic and Policy Research (CEPR), sebuah lembaga riset sayap kiri yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, proyeksi IMF tidak dapat dipakai sebagai pegangan mutlak seiring dengan adanya dugaan kepentingan politik di belakangnya.

Mereka mengatakan terdapat eror yang cukup besar dari perkiraan proyeksi Produk Domestik Bruto Venezuela dari 1999 hingga 2006.

Selain itu, pada Oktober 2015, terdapat skandal bocornya berkas audio percakapan antara pengusaha Venezuela Lorezo Mendoza dan mantan politikus Ricardo Hausman yang mengungkapkan adanya upaya pihak oposisi mencari kolaborasi dengan IMF menjelang pemilihan umum parlementer pada Desember tahun yang sama.

Terlepas dari hal tersebut, tidak ada yang tahu nilai inflasi yang sesungguhnya dari negara kaya minyak ini, terutama setelah Bank Sentral Venezuela berhenti menerbitkan angka tersebut sejak awal 2016. Sebagai catatan, pada 2015 nilai inflasi Venezuela menyentuh 180 persen.

Nilai mata uang bolivar juga tak terkendali. Setidaknya terdapat tiga nilai tukar yang berjalan di Venezuela. Seperti dilaporkan oleh BBC, nilai tukar yang pertama berlaku bagi para pemasok makanan pokok dan obat-obatan yang mengenal orang yang tepat di pemerintahan. Kedua, nilai tukar yang memang dikontrol oleh pemerintah. Sementara yang ketiga adalah nilai tukar di pasar gelap.

Perlu diketahui, kontrol mata uang yang dikenakan sejak zaman pemerintahan mendiang Hugo Chavez pada 2003 membuat masyarakat Venezuela sulit untuk menukar bolivar dengan dolar Amerika Serikat dan mata uang asing lain.

Kontrol tersebut sesungguhnya merupakan upaya Chavez untuk meringankan dampak ekonomi akibat aksi mogok massal sejak Desember 2002 hingga Januari 2003. Namun, hal inilah yang membuat penukaran uang di pasar gelap menjadi sangat lazim, dan nilai mata uang menjadi semakin sulit dikontrol.

Di tengah buruknya situasi ekonomi tersebut, fakta di lapangan menunjukkan masyarakat kesulitan untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Apa yang dialami oleh seorang sopir taksi bernama Alexander merupakan salah satu contohnya.

"Senin adalah hari saya," katanya. "Saya pergi ke supermarket setiap Senin. Tapi meskipun begitu, sering kali tidak ada apa pun untuk dibeli."

Beberapa bahan makanan pokok, seperti beras, tepung, dan minyak, memang dikontrol oleh pemerintah yang kemudian membuat harganya menjadi cukup terjangkau. Namun demikian, suplainya sangat terbatas dan hanya dapat diperoleh pada hari-hari tertentu yang ditentukan berdasarkan nomor yang tertera di kartu identitas penduduk, seperti yang digambarkan oleh Alexander.

Berkaca dari kebijakan Maduro menaikkan upah minimum sebanyak empat kali sebelumnya, sesungguhnya tidak banyak hal yang berubah dari kondisi perekonomian Venezuela.

Malahan, langkah ini mendapat reaksi keras dari Fedecamaras—kamar dagang Venezuela. Seperti dikutip dari harian Venezuela El Universal, Fedecamaras mengatakan bahwa kenaikan upah minimum tersebut dilakukan pemerintah tanpa melalui konsultasi dengan mereka.

Mereka bahkan memperingatkan jika langkah ini dapat memicu inflasi dan turunnya lapangan pekerjaan karena usaha-usaha kecil dan menengah yang tidak dapat menghadapi risiko kenaikan upah tersebut untuk menutup usaha mereka.

Sejumlah analis mengatakan pula bahwa kenaikan upah terakhir pada akhir tahun lalu juga tidak dapat mengikuti laju inflasi yang meroket, yang berarti kenaikan itu tidak terlalu berdampak bagi kemudahan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti dikutip dari Vox.

Infografik Inflasi Venezuela

Krisis Makin Dalam

Akar dari permasalahan ekonomi Venezuela sendiri sangat pelik dan beragam. Namun, Alejandro Velasco, seorang Associate Professor Amerika Latin di New York University, mengatakan model sosialisme pada masa oil boom yang terlalu bergantung pada minyaklah yang menjadi penyebabnya. Bukan sosialisme itu sendiri, namun pada apa yang ia sebut sebagai “petro-sosialisme.”

Ketika harga minyak jatuh, krisis menghantam Venezuela karena negara ini gagal menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi yang lain, meski pada masa keemasan Hugo Chavez, negara ini sempat membuat iri negara-negara maju dengan pendidikan dan kesehatan gratis. Venezuela memang sangat menggantungkan sumber pertumbuhan ekonomi pada komoditas ini, dengan 95 persen nilai ekspor berasal dari minyak.

Pemerintah Venezuela juga terjebak dalam lingkaran setan. Mereka mencetak uang lebih agar masyarakat memiliki cukup uang di kantong mereka. Namun, kombinasi dari pencetakan uang dan lesunya impor akibat jatuhnya harga minyak membuat inflasi naik lebih tinggi lagi. Di sisi lain, masyarakat menggunakan uang mereka untuk membeli barang yang harganya telah digelembungkan.

“Orang dapat mengatakan ini adalah ekonomi masa perang,” kata Jose Manuel Puente, ekonom di sekolah bisnis Instituto de Estudios Superiores de Administración di Caracas, seperti dikutip dari Bloomberg. "Tapi tahun ini angka Venezuela lebih buruk daripada ekonomi ketika masa perang.”

Lantas apakah Venezuela memang tidak memiliki masa depan?

Miguel Angel Santos, peneliti senior di Center for International Development Harvard Kennedy School, mengatakan ia yakin bahwa untuk keluar dari jeratan krisis ini, Venezuela harus melakukan diversifikasi pada ekonominya.

Selain itu, ia menambahkan masyarakat Venezuela perlu mulai berpikir tentang "kesepakatan yang berbeda mengenai apa yang pemerintah dapat lakukan untuk orang-orang dan apa yang orang-orang dapat lakukan untuk pemerintah dan untuk diri mereka sendiri."

Seperti dikutip dari Brookings, Santos meyakini bahwa krisis Venezuela “merupakan kegagalan dari cara berpikir kita tentang pembangunan.” Tentunya, hal ini juga tergantung dari perang ekonomi, terutama dengan pihak oposisi dan Amerika Serikat, yang diklaim oleh Pemerintah Venezuela sebagai sebab tunggal dari krisis di negara ini. Garbiel Hetland, assistant professor di University at Albany, mengatakan meski klaim itu tidak sepenuhnya akurat, terdapat sejumlah bukti nyata bahwa perang ekonomi ini sungguh terjadi.

Pada Juni 2016 lalu, Myriam Gimenez, aktivis Chavista dari kota Carora, mengatakan kepada Hetland: “Kami mengatakan bahwa kami kehilangan pemilu [Desember 2015] karena kacang hitam. Dalam minggu-minggu sebelum pemilu, Anda tidak bisa mendapatkan kacang hitam di mana saja.” Setelah pemilu, Gimenez berkata, kacang hitam muncul kembali.

Dengan situasi yang ada saat ini, masa depan Venezuela menjadi makin tak menentu. Namun, satu hal yang pasti, di tahun yang baru ini, tantangan yang sama masih dihadapi masyarakat Venezuela untuk keluar dari jurang ekonomi yang cukup dalam.

Baca juga artikel terkait VENEZUELA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Fahri Salam