tirto.id - Pada 2014 bukanlah waktu yang menyenangkan bagi Mapa Satrio (27). Kala itu, ia tengah berpacaran jarak jauh. Minimnya interaksi langsung dan perbedaan ekspektasi soal arah hubungan membuat relasi mereka menjadi tegang.
“Hubungan kami itu putus-nyambung sejak 2014 dan sampai puncaknya di tahun 2015 benar-benar pisah. Permasalahan utamanya sih kombinasi LDR. Ini jadi pemicu pertengkaran tentang hal-hal lain,” ujar Mapa saat dihubungi Tirto.
Mapa mengaku memutuskan sang mantan lewat telepon sebab mereka acap kali terlibat perselisihan. Ia bercerita bahwa hal terakhir yang mereka perdebatkan adalah soal masa pacaran jarak jauh dan studi Mapa yang tak kunjung selesai.
“Situasinya beberapa hari atau pekan sebelumnya kami bertengkar juga tapi masih berusaha berbaikan. Ini pola yang sama dan berulang-ulang sejak hubungan memburuk di tahun 2014,” jelasnya.
Setelah itu, Mapa menghapus fotonya bersama mantan yang sebelumnya dijadikan foto profil di akun media sosial. “Sebenarnya aku bukan tipikal orang yang suka unggah foto bersama pasangan di media sosial. Sehabis putus seingatku masih cuma diganti, belum dihapus. Selang beberapa waktu baru akhirnya aku hapus,” katanya.
Mapa berkata tindakannya menghapus foto berdua dengan mantan didorong oleh rasa sakit hati dan kesal. Selain itu, ia juga merasa tidak enak memajang foto seseorang yang sudah bukan lagi menjadi pasangannya. Kepada Tirto, Mapa mengaku bahwa menghilangkan rekaman visual dengan mantan kekasih di media sosial adalah upaya membuka lembaran baru.
Serupa dengan Mapa, Ratu Pandan (23) mengatakan ia menghapus fotonya bersama mantan usai hubungan mereka berakhir. Hal ini Pandan lakukan agar dirinya tidak sedih serta sakit hati dan cepat move on alias melanjutkan hidup.
“Sedih kalau lihat fotonya. Daripada enggak bisa move on, mending dihapus. Menghapus foto mantan di media sosial itu rasanya kayak benar-benar mengakhiri hubungan. Berasa menghapusnya dari hidupku,” ujarnya kepada Tirto.
Pandan mengatakan hubungannya dengan sang kekasih usai pada 2016 lalu. “Selama pacaran, sebetulnya asik-asik saja. Kami cocok, sama-sama suka seni dan bekerja di bidang itu,” akunya.
Tapi, perbedaan-perbedaan perlahan muncul selama empat bulan mereka berpacaran. “Dia sudah buru-buru menikah sedangkan aku masih lama banget target menikahnya. Terus kami agak beda keyakinan [kepercayaan] gitu,” ungkap Pandan.
Ia menjelaskan bahwa hubungannya dengan sang mantan sebenarnya masih bisa dilanjutkan. Tapi, Pandan merasa perbedaan tersebut akan tetap ada sehingga ia menawarkan pilihan berpisah sebelum semuanya menjadi kompleks.
“Aku cuma menawarkan bagaimana kalau putus, terus dia setuju. Tapi habis itu aku menyesal. Dua minggu setelah putus, aku mengajaknya balikan. Tapi dia menolak,” katanya.
Usai ditolak, Pandan baru menghapus foto dirinya dengan mantan di akun media sosial Instagram dan Facebook. Tak hanya itu, ia juga membuang rekaman visual tersebut dari galeri ponsel dan laptop. Tapi, perasaan menyesal datang kemudian sebab Pandan tak lagi mempunyai arsip foto dirinya bersama sang mantan.
“Tapi lega karena enggak perlu lihat foto dia lagi kalau buka lini massa di media sosial,” akunya.
Corina Sas dan Stevel Whittaker dalam “Design for Forgetting: Disposing Possessions After a Breakup” (2013) mengatakan putus cinta dapat meningkatkan motivasi orang untuk melupakan sesuatu. Hal ini dikarenakan relasi romantis bisa menjadi bagian sentral dari diri seseorang dan ia akan merasa kehilangan ketika perpisahan terjadi.
Salah satu wujud tindakan melupakan adalah memilah koleksi barang digital (digital possessions), termasuk foto yang diunggah di media sosial. Menurut Sas dan Whittaker, barang kenangan digital dapat menjadi simbol penting sebuah hubungan bagi pihak-pihak yang terlibat. Oleh karena itu, keberadaannya perlu dikendalikan secara aktif.
Sas dan Whittaker mengelompokkan orang berdasarkan strategi yang dipilih saat mengelola barang digital pribadi usai putus cinta. Apabila seseorang menghapus semua koleksi benda digital pribadi setelah putus cinta, maka dirinya masuk kelompok para penghapus (the deleters).
Sebaliknya, jika seseorang justru menyimpan kenangan digital pribadi meski tak bersama lagi, ia masuk golongan penyimpan (the keepers). Sementara itu, orang yang tak membuang sejumlah barang digital yang dianggap penting termasuk kelompok penyeleksi (selective disposers).
Kategorisasi ini diperoleh setelah Sas dan Whittaker meriset 24 responden yang berusia antara 19 sampai 34 tahun. Mereka diwawancara secara langsung, ada pula yang melalui aplikasi komunikasi Skype. Rata-rata masa pacaran yang pernah dijalani subjek penelitian adalah 42 bulan atau 3,5 tahun. Umumnya, para responden menilai secara negatif perpisahan yang pernah mereka alami.
Menurut Sas dan Whittaker, kelompok penghapus dapat secara aktif membuang benda digital pribadi di media sosial dengan menghilangkan tanda (tag) pada foto. Tapi, ada pula orang tipe para penghapus yang menghilangkan benda digital pribadi dengan cara membiarkannya terkubur oleh unggahan baru lainnya. Namun, Sas dan Whittaker berkata bahwa para penghapus dilanda penyesalan setelah menghapus foto-foto tersebut.
Kelompok para penghapus menghilangkan benda digital pribadi untuk mengeliminasi kesadaran akan hubungan lawas dan memori yang menyakitkan. Di samping itu, mereka juga mencari ruang-ruang baru untuk melupakan kehilangan serta membentuk kembali identitas diri.
Para penyimpan, di sisi lain, tak membuang benda digital pribadi supaya kelak bisa dikenang. Hal yang sama juga terjadi pada para penyeleksi ketika memutuskan untuk menyimpan beberapa benda digital.
Bedanya, para penyeleksi mengalami proses menjauhkan diri dari media sosial untuk menciptakan ruang emosional agar bisa berpikir. Setelah itu, mereka baru memilah benda koleksi digital, menyisihkan beberapa yang bernilai untuk dikenang.
Kedua peneliti merekomendasikan agar media sosial seperti Facebook menyediakan fitur yang memudahkan penggunanya menghapus konten bersama yang dihasilkan oleh pasangan. Di samping itu, mereka menyarankan adanya perangkat lunak otomatis yang dapat mengumpulkan semua bukti digital sebuah hubungan setelah berpisah.
Bukan hanya Sas dan Whittaker yang berharap media sosial mengembangkan fitur khusus bagi mereka yang putus cinta. Kelly Winters, manajer produk Facebook, mengatakan bahwa ada banyak orang menanyakan fitur-fitur sejenis yang disediakan media sosial ketika hubungan mereka berakhir.
Walhasil, pada 2015 Facebook meluncurkan fitur untuk membantu orang mengelola cara mereka berinteraksi dengan mantan usai hubungan berakhir. Winters menjelaskan Facebook menyediakan pilihan yang membuat nama dan gambar profil mantan jarang terlihat di linimasa. Tak hanya itu, Facebook memberikan fitur pilihan bagi pengguna akun yang memungkinkan seseorang dapat membatasi unggahan yang bisa dilihat mantan. Winters berkata bahwa pengguna akun juga bisa mengedit siapa saja yang dapat melihat unggahan lama dengan mantan.
Tanpa harus block atau unfriend, pengguna akun pun mampu meminimalisir kontak dengan mantan kekasih di media sosial.
Alat yang bisa membantu mereka yang putus cinta turut dikembangkan Instagram. Pada 2017, media sosial tersebut menyediakan fitur pengarsip (archive) yang membuat pengguna Instagram dapat menyembunyikan unggahan pribadi untuk dinikmati seorang sendiri. Pilihan ini memungkinkan seseorang yang tak ingin menghapus tapi juga enggan foto bersama mantan dilihat orang menyimpan kenangannya di dalam arsip.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf