tirto.id - Delapan belas tahun lalu, seorang warga Spanyol, Mario Costeja Gonzales terlilit utang jaminan sosial. Lilitan utang itu membuat properti miliknya harus dijual paksa. Lelang atas aset berupa properti itu pun diumumkan di salah satu koran di Spanyol bernama La Vanguardia atas perintah dari Kementerian Tenaga Kerja dan Urusan Sosial.
Beberapa tahun kemudian, La Vanguardia mengarsipkan koran-koran terbitannya dalam format digital, termasuk laman yang memuat iklan baris penjualan rumah Costeja. November 2009, Costeja mengajukan komplain ke koran itu. Ia merasa terganggu dengan munculnya iklan baris itu ketika ia mencari namanya di Google.
Costeja meminta iklan itu dihapus. Ia merasa itu tak lagi relevan untuk muncul karena sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Namun permintaan itu ditolak oleh La Vanguardia.
Februari 2010, Costeja menghubungi Google Spanyol meminta tautan iklan itu dihapus dari pencarian. Bersamaan dengan itu, dia juga mengajukan keluhan kepada Badan Perlindungan Data Spanyol atau Agencia Aspanola de proteccion de Datos (AEPD). Costeja meminta AEPD agar memerintahkan La Vanguardia juga Google menghapus data pelelangan asetnya itu.
Lima bulan kemudian, keluhan Costeja mendapat jawaban dari AEPD. Permintaan penghapusan dari suratkabar ditolak dan ia diminta menunggu jawaban terkait permintaan penghapusan tautan di Google. AEPD menghubungi Google Spanyol dan Google.inc, meminta tautan iklan itu dihapus dari mesin pencari.
Google kemudian membawa perkara tersebut ke pengadilan. Google.inc yang berlokasi di Amerika Serikat berdalih ia tidak terikat dengan aturan Data Protection Directive Uni Eropa. Sedangkan anak perusahaannya, Google Spanyol, tidak bertanggung jawab atas mesin pencari. Google juga berpendapat bahwa Costeja tidak memiliki hak untuk penghapusan materi yang secara sah telah diterbitkan.
Pada 26 Februari 2013, dilakukan rapat dengar pendapat. Beberapa negara di Eropa memberikan pandangan mereka. Singkat cerita, majelis hakim membacakan putusan pada 13 Mei 2014 dan memenangkan Costeja atas dasar Hak untuk Dilupakan atau Right to be Forgotten. Google harus menghapus tautan iklan itu dari hasil pencarian.
Hak untuk Dilupakan adalah sebuah konsep yang sudah didiskusikan dan dipraktikkan di Eropa dan Argentina sejak 2006. Ia memberikan hak kepada setiap individu untuk meminta mesin pencari menghapus tautan berkaitan dengan data pribadi mereka.
Namun, tidak semua permintaan akan dikabulkan dan sesuai dengan prinsip Hak untuk Dilupakan. Beberapa syarat harus dipenuhi. Tautan yang ingin dihapus dari mesin pencari haruslah tidak akurat, tidak relevan, atau informasi pelintiran yang dilebih-lebihkan. Ia bukanlah jenis hak yang absolut. Keseimbangan dan keselarasan dengan hak-hak fundamental lainnya harus tetap dipertahankan, salah satunya adalah hak kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
“Kami memiliki tim khusus yang melakukan peninjauan untuk persoalan ini, mereka berbasis di Dublin, Irlandia,” tulis Google dalam penjelasan khususnya tentang Hak untuk Dilupakan.
Google sebenarnya menyimpan kekhawatiran akan terjadi penyalahguanaan hak. Terlebih jika aturan ini diberlakukan di negara-negara yang belum maju dan cenderung korup. Kekhawatiran itu diutarakan langsung oleh pendiri Google, Larry Page.
Sebagai contoh, pianis Dejan Lazic pernah mencoba menggunakan Hak untuk Dilupakan ini demi bisa menghapus ulasan negatif tentang penampilannya dari The Washington Post. Lazic mengklaim bahwa kritik itu memfitnah, kejam, ofensif, dan tidak relevan untuk seni. Google tentu menolak menghapus jenis tautan yang seperti itu.
Sejak tuntutan Cosjeta dikabulkan, permintaan penghapusan tautan yang diterima Google meningkat. Berdasarkan data keterbukaan dari situs resmi Google, jumlah tautan yang sudah dievaluasi untuk dihapus tercatat sebanyak 1,63 juta. Ia berasal dari 523.394 permintaan. Tautan dari Facebook menjadi yang terbanyak diminta untuk dihapus, yakni mencapai 13.852 tautan.
Dari mereka yang berhasil menggunakan Hak untuk Dilupakan, Costeja barangkali menjadi yang paling sial. Benar bahwa ia menang melawan Google dan keinginannya menghapus iklan pelelangan aset 18 tahun lalu dikabulkan. Namun cerita itu terus ditulis, oleh media hingga wikipedia.
Alih-alih dilupakan, kini, kisah pelelangan rumah Cosjeta malah semakin banyak diketahui orang.
Pekan ini, DPR telah mengetok palu atas UU ITE yang baru. Di dalamnya, hak untuk dilupakan mendapat legalitas untuk digunakan di Indonesia.
"Menambahkan Right to be Forgotten, yaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaannya dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan," cuit Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Twitternya soal perubahan UU ITE, 26 Oktober lalu.
Niscaya akan banyak orang-orang bernasib sama dengan Costeja. Orang-orang yang menuntut hak untuk dilupakan, lalu dikabulkan. Peristiwa dikabulkannya itu kemudian ditulis lagi oleh wartawan. Tentu saja dengan menambahkan latar belakang cerita yang ingin dilupakan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti