tirto.id - Sebagai sosok yang tampak memukau dari fotonya saat berpidato, Sukarno punya obsesi berada di tengah-tengah kerumunan massa, menjadi pusat perhatian, dan ucapan-ucapannya bergema dan mengaduk-aduk emosi para pendengar.
Saat masih mahasiswa indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya pada 1920-an, Sukarno sewaktu-waktu berpidato sendiri. Suatu malam di kamarnya, rekan-rekannya pernah mendapatinya serta-merta berorasi. Ia berdiri di atas bangku dan berapi-api bak menghadapi puluhan ribu massa. Pada malam yang lain, jam dua dini hari, teman sekamar Sukarno terbangun dan melihat si calon orator itu berdeklamasi di atas kasur.
Dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams, 1965), Sukarno berkata ia memperhatikan dan menggarap sebaik-baiknya teknik dia berorasi. Ia mempelajari bagaimana Tjokroaminoto, mentor sekaligus mertuanya, berpidato dari tempat ke tempat.
Sukarno tahu bahwa Tjokroaminoto terlalu serius. Tjokro terlalu mengandalkan paparan fakta dan data. Tjokro tak berguyon. Nadanya terlalu datar. Dari kesempatan mengikuti ketua Sarekat Islam itu, Sukarno menyadari bagaimana gerak tangan, naik-turunnya suara, penggunaan metafora mampu menyihir pendengar.
Dan satu hal yang dipelajari Sukarno dengan sadar adalah isu penjajahan tak pernah gagal merangsang perhatian para pendengar.
Ketika suatu hari Tjokroaminoto memintanya berpidato, Sukarno kontan menerapkan apa yang sudah dipelajarinya itu. Sukarno memikat pendengar dengan menerapkan kiasan-kiasan, yang mendekatkan problem rumit kaum tani dan rakyat jelata dengan deskripsi sehari-hari. Ia bersuara dengan lunak dan jernih.
Khalayak makin riuh ketika Sukarno mengangkat penjajahan Belanda. Sukarno menandaskan kesuburan Indonesia, negeri yang ditanami tongkat saja bisa tumbuh, tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Rakyat melarat dan kelaparan.
“Saudara tahu apa sebabnya, saudara-saudara?” tanya Sukarno. “Sebabnya ialah, oleh karena orang yang menjajah kita tidak mau menanamkan uang kembali untuk memperkaya bumi yang mereka peras. Penjajah hanya mau memetik hasilnya.”
Tak hanya merespons lewat gestur terpikat, khalayak menyahut dan membenarkan Sukarno. Antusiasme itu kian disambut Sukarno dengan orasi yang makin menggebu.
Beberapa tahun kemudian, Sukarno menjadi satu figur yang langganan keluar-masuk penjara. Penyebabnya? Pidato-pidatonya, tentu saja.
Menariknya, dalam pelbagai kesempatan orasi, Sukarno tak gentar walau dikelilingi polisi kolonial. Ia tetap membakar massa dengan kecaman-kecaman terhadap penjajah. Ketika di depan massa, ia memerhatikan detail penting bahwa tak ada yang lebih berharga dibanding merenggut perhatian khalayak, sekalipun ia harus menyerahkan kebebasan dan keselamatannya sendiri.
Apakah hasrat Sukarno atas kemerdekaan Indonesia meliputi dan melampaui obsesinya di podium yang mampu memikat perhatian dan dielu-elukan khayalak? Jawaban tanpa ragu: Sukarno mencintai Indonesia dan punya peran dalam perjalanan sejarah negeri ini.
Orasi dan seruan perlawanan adalah dua hal yang senantiasa berderap beriringan. Para orator bukan hanya membutuhkan kemahiran paralinguistik untuk menyihir pendengar. Mereka perlu membangkitkan imajinasi adanya musuh bersama dan seruan membebaskan kaumnya dari penindasan.
Imajinasi Jompo soal "Musuh Bersama"
Nama Sukarno bergema hingga ke pelbagai mancanegara dan, dalam hal ini, ia tak pernah tertandingi oleh semua presiden Indonesia sesudahnya.
Apa penyebabnya? Dalam memori kolektif warga pelbagai negara, mereka mengingat Sukarno sebagai api perlawanan terhadap imperialisme, harapan negara-negara Asia-Afrika, ancaman terhadap blok-blok kekuatan dunia.
Seorang akademisi Ghana yang bertemu mahasiswa Indonesia, kontan mengenang Sukarno dan membagikan impresinya soal Bung Besar. “Saat itu Ghana belum berdiri,” ujarnya. “Tapi, Sukarno memberikan kepercayaan kepada Nkrumah (presiden pertama Ghana) untuk sama-sama berdiri sebagai pemimpin negara yang berdaulat.”
Dalam film yang diangkat dari novel berjudul sama, The Years of Living Dangerously (1982), ketakjuban Billy Kwan, fotografer Australia peranakan Tionghoa, terhadap Sukarno menggambarkan ketakjuban murni. Kwan menggambarkan kepada Hamilton, wartawan Australia lain, mengapa rakyat Indonesia mengelu-elukan Sukarno.
Sukarno, kata Kwan, ialah seorang dalang Jawa yang ulung. Ia memainkan kartu-kartunya secara halus di antara dua kekuatan dunia. Dan melalui apa yang dilakukannya, Sukarno mencoba memperjuangkan derajat rakyat negerinya untuk duduk setara blok-blok hegemonik. Kwan sendiri tak bisa menutupi kekagumannya terhadap Bung Besar.
Kini, mari kita tengok contoh kontemporer para orator yang bekerja dengan logika "musuh bersama" ditanamkan pada imajinasi para pendengarnya.
Para orator ini—namanya tak akan asing bila saya sebutkan dan yang podiumnya adalah mimbar khotbah—secara konstan menghidupkan imajinasi bahwa kita berada dalam peperangan. Musuh mengintai dari segala arah dan akan menjajah mayoritas rakyat dengan cengkeraman gaib terhadap perekonomian Indonesia atau mencemarkan agama bila Anda tidak segera bertindak.
Memikat? Ya. Meyakinkan? Tentu saja. Apa benar isi pesannya? Tentu tidak.
Perbedaan mendasar dan dramatis para orator hari-hari ini dengan Sukarno adalah imajinasi jompo mereka, yang eksesnya adalah perisakan terhadap masyarakat-masyarakat minoritas Indonesia; subjek yang dijadikan bahan spekulasi dan teori-teori konspirasi mereka. Reputasi para orator ini adalah menyebarkan politik ketakutan, rasis, dan serba oportunistik.
Dunia, tak cuma Indonesia, telah menjadi saksi mengorbitnya para orator dengan imajinasi jompo ini ke pucuk kekuasaan.
Betapapun Sukarno dikritik karena "grand eloquence"-nya yang hampa—istilah yang dipakai Tan Malaka—tetapi apa yang disampaikannya ditopang kenyataan rasisme kolonial pada masa itu. Dan betapapun Sukarno dianggap jargonistik di kemudian hari, ia dihadapkan dengan persoalan akut dan riil yang tak bisa dituntaskan seorang diri.
Benar belaka: hari-hari ini kita sedang menghadapi kaum orator pasca-kebenaran (post-truth).
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.