tirto.id - Dhiya Rafidah, remaja 17 tahun dari Nganjuk, Jawa Timur, harus mengubah aktivitas sekolahnya selama pandemi COVID-19. Sebelum pandemi, siswi SMA Negeri 2 ini biasa mengikuti kegiatan OSIS dan basket sebanyak tiga sampai empat kali setiap minggu. Sekolahnya menerapkan belajar daring sejak pertengahan Maret 2020.
Sejak itu ia mulai sering terserap melihat layar ponsel, bisa sampai enam jam, setiap Senin sampai Jumat, demi mengikuti proses belajar melalui Google Classroom, WhatsApp, dan aplikasi lain yang disediakan sekolahnya. Dyah mudah mengalami rasa jenuh. Kelas daring minim interaksi. Guru monoton monolog. Tugas-tugas sekolah menumpuk setiap hari.
Ia berkata sekolah memberi empat sampai lima tugas setiap hari. Tugas-tugas mata pelajaran ini harus dikerjakan dalam waktu singkat. "Ditambah lagi, tidak ada guru yang menjelaskan materi tugasnya," kata Dhiya via telepon, awal September lalu. Guru memaksa siswa mengejar nilai, bukan mengejar ilmu, tambahnya.
Kondisi serupa dialami oleh Anastasia Tyas Purwaningsih, siswi BPK Penabur Bogor, yang menerima empat hingga lima tugas sekolah setiap hari. Lyla Yuni, siswi SMA di Jember, menerima tiga sampai empat tugas dari para guru setiap hari. Kedua pelajar ini mengeluhkan beban tugas seabrek plus guru menuntut siswa bisa memahami tugas minim penjelasan.
Kondisi-kondisi itu menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Survei KPAI tentang pelaksanaan proses belajar jarak jauh di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota menyebut 73,2% siswa dari 1.700 responden, atau 1.244 siswa, mengaku terbebani tugas dari para guru. Sebanyak 1.323 siswa dari seluruh responden berkata sulit mengumpulkan tugas karena guru meminta mereka mengerjakannya dalam waktu singkat.
Beban tugas sekolah yang menumpuk dan harus cepat dikerjakan sempat membuat Dhiya drop. Pada awal belajar daring, Dyah mengalami flu. Sesak napasnya kambuh. Dyah harus dibawa ke IGD rumah sakit di Nganjuk. Ia kelelahan mengerjakan tugas sekolah pada malam hari.
"Kejadiannya jam 12 malam, mungkin karena siang beresin rumah ditambah malam ngerjain tugas," kata Dhiya, yang merasa cemas dengan nilai pelajaran hingga sulit mengatur waktu selama pandemi corona.
Korban Kurikulum Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim merilis kebijakan soal proses belajar daring selama pandemi bahwa guru tidak boleh mengejar kurikulum sehingga membebani siswa. Dalam kebijakan yang lain, Nadiem memberi tiga opsi kurikulum selama pandemi: sekolah tetap mengacu kurikulum nasional; sekolah memakai kurikulum darurat; dan sekolah menyederhanakan kurikulum secara mandiri. Dengan kata lain, selama proses belajar daring, sekolah bisa menerapkan kurikulum adaptif.
Namun demikian, dalam praktiknya, masih ada guru atau sekolah tetap mengejar ketuntasan kurikulum nasional, sehingga dalam kelas daring memberikan tugas terus-menerus kepada siswa.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Heru Purnomo, berkata "guru atau sekolah di daerah" kemungkinan belum melaksanakan kurikulum adaptif. Ia menduga banyak guru dan sekolah belum memahami penyederhanaan kurikulum. Itu memperlihatkan kompleksitas masalah pendidikan di kota dan daerah.
Di Jakarta, persoalan sekolah daring direspons dengan baik, salah satunya oleh SMP 52 Jakarta Timur, tempat Heru Purnomo menjadi kepala sekolahnya. Ia bercerita semula mereka hanya memindahkan seluruh jadwal pembelajaran ke dunia maya. Dua minggu berjalan, sekolah mengevaluasinya karena menerima "keluhan luar biasa." Lalu sekolah menyederhanakan empat sampai lima mata pelajaran menjadi tiga mata pelajaran per hari.
Keluhan masih sama dan sekolah kembali mengevaluasinya, ujar Heru. Keputusannya, proses belajar daring hanya dua mata pelajaran per hari dengan jam belajar maksimal pukul 12 siang. Heru berkata sekolahnya memakai kurikulum 2013 yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan siswa.
Heru menilai mengapa ada sekolah yang merespons pandemi dengan baik tapi ada juga yang tidak, menurutnya, sebagian problemnya juga karena guru "belum punya kemampuan atau kemandirian menyusun pembelajaran untuk anak didiknya."
"Ketika guru hanya ikut-ikutan kurikulum 2013 dari sekolah sebelah atau adaptif, yang dikorbankan adalah anak didiknya," kata Heru.
Dengan kata lain, problem ini harus cepat diatasi oleh Nadiem. Bila tidak, apa yang disebut "merdeka belajar" dan "guru merdeka" hanya akan menjadi jargon.
'Jika Kurikulum Tak Disederhanakan, Siswa Bisa Stres'
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti berkata jika kurikulum tidak disederhanakan, anak didik akan stres. Mereka terbebani dengan materi belajar yang menumpuk. Itu berdampak pada tekanan psikologi sehingga para siswa rawan mengalami kesehatan mental.
Ia memberikan contoh seorang siswa SMA di Jakarta Selatan yang lelah dan stres saat mengerjakan tugas mata pelajaran kimia, isinya 100 soal, pada April 2020. Akibatnya, siswa itu sakit, pingsan, dan terpaksa dilarikan ke IGD di salah satu rumah sakit.
"Dengan kondisi begini, yang keterlaluan gurunya," kata Retno.
"Anak-anak itu sudah mengalami stres, tekanan, belum lagi orangtua mereka yang terkena dampak ekonomi. Pasti secara emosi mereka labil," tambahnya.
Hasil jejak pendapat U-report PEKA (peduli kesehatan mental) volume 1 antara UNICEF Indonesia dan CIMSA Indonesia pada 13-16 Agutus 2020, yang melibatkan 638 responden di 32 provinsi, menyebut 38% anak usia 15-19 tahun tertekan oleh orangtua; 14% tertekan oleh guru; 13% tertekan oleh teman; dan 5% tertekan oleh saudara.
Helen Natalia, Vice President for External Affairs CIMSA Indonesia, mengatakan siswa yang merespons positif sekolah daring karena mereka bisa menyesuaikan jadwal, tapi ada juga yang merespons kurang baik karena metode pembelajaran tidak interaktif, tidak bertemu guru dan teman, serta materinya lebih susah dicerna. Apalagi sekolah daring harus duduk berjam-jam di depan layar laptop.
"Faktor yang memengaruhi kesehatan mental itu banyak banget, terutama karena kondisi pandemi, gurunya atau fasilitas belum mumpuni," kata Helen.
'Sekolah Daring Lebih Capek'
Deswarita Eryanti, ahli psikologi yang sudah delapan belas tahun berkecimpung di dunia pendidikan, berkata kesehatan mental tak kalah penting dengan kesehatan fisik.
"Dalam penanganan siswa harus happy, kalau tidak happy, imunitas tubuh akan menurun. Jangankan COVID-19, segala macam penyakit bisa menyerang kita," kata Deswarita dalam diksusi daring "Adaptasi Pembelajaran Masa dan Pasca-Pandemi Covid-19 Menghadapi Tahun Ajaran Baru Untuk SMA, SMK, dan SLB", pada awal Juli 2020.
Ia bilang rasa cemas di tengah pandemi memang wajar. Tapi jika menimbulkan gejala fisik, harusnya segera diredam. Dampak psikologis itu antara lain gejala psikosomatik seperti sakit perut, pusing, dan sesak napas. Itu bisa menyerang imunitas.
Dalam jejak pendapat U-report PEKA 2, digelar 28 Agustus-4 September yang melibatkan 535 responden di 30 provinsi, ada 38% siswa takut tertinggal memahami pelajaran; 36% takut ketidakpastian hasil studi di masa depan; dan 10% kesulitan mengatur jadwal belajar.
Laporan itu menggambarkan kondisi ketiga siswi asal Bogor, Nganjuk, dan Jember, yang khawatir tertinggal memahami pelajaran.
Anastasia Tyas Purwaningsih, siswi dari Bogor, berharap sekolah jangan terlalu membebani murid dengan tugas sangat rumit selama belajar daring. Ia menceritakan pengalamannya yang kelelahan mengikuti belajar daring. Saat cuti bersama pada 21 Agustus, sekolahnya tetap masuk. Orangtuanya membujuk dia tetap ikut. Alhasil, pada 26 Agustus, Tyas jatuh sakit. Ia pusing. Ia terpaksa masuk karena ada ulangan.
"Sekolah daring rasanya lebih capek daripada sekolah normal," kata Tyas.
Psikolog Deswarita berkata setiap orang punya mekanisme berbeda menghadapi stres. Ambil sisi positifnya, jika rasa cemas dalam kadar normal, ia bisa mendorong ke arah positif. Misalnya, siswa bisa semangat belajar.
Dhiya Rafidah, siswi dari Nganjuk yang sempat masuk IGD karena sesak napas, pelan-pelan mulai menerima keadaan pandemi COVID-19. Awalnya ia mudah emosi, kini lebih bisa mengontrol diri. Ia juga kerap menyalahkan diri sendiri, tapi sekarang lebih bisa mengapresiasi.
Dyah berkata kondisi serba terbatas selama pandemi membimbingnya ke proses pendewasaan diri. Pada akhirnya, ia dipaksa buat "bisa survive" sehingga punya waktu mengeksplorasi diri.
Catatannya, Dyah berharap juga para guru memperhatikan murid, memberikan kelonggaran mengumpulkan tugas meski dia tahu guru dalam posisi yang sulit juga. Ia menginginkan belajar daring bisa lebih interaktif, bukan semata memberi tugas dan mengejar nilai.
"Buat Pak Menteri Nadiem," ujar Dyah, "saya berharap ada evaluasi lagi terkait keadaan nyata penyelenggaraan sekolah daring. Untuk ke depan, semoga bisa memajukan pendidikan Indonesia lebih baik, baik dalam sistem, kurikulum, dan pendidikan karakter."
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam