Menuju konten utama

Strategi Bank Indonesia Antisipasi Pelemahan Rupiah

Strategi BI menahan gejolak serta tren pelemahan rupiah dengan intervensi pasar dan mengoptimalkan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Strategi Bank Indonesia Antisipasi Pelemahan Rupiah
Gubenur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampikan laporan hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) I Tahun 2024 di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (30/1/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) menilai, saat ini upaya stabilisasi nilai tukar rupiah melalui peningkatan suku bunga acuan belum perlu dilakukan. Mengingat inflasi nasional yang terjaga rendah, yaitu 2,84 persen dan laju pertumbuhan ekonomi nasional yang dapat terdampak peningkatan suku bunga acuan.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menuturkan, untuk menahan gejolak dan tren pelemahan rupiah, BI menggunakan dua upaya. Pertama, intervensi pasar. Kedua, mengoptimalkan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

“Pada saat ini (BI) belum perlu menaikkan BI-Rate. Cukup dengan intervensi dan SRBI karena inflasi rendah, hanya 2,84 persen dan tahun ini [Diperkirakan] tetap rendah, supaya tidak berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi,” kata Perry, dalam Rapat Kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan Bank Indonesia, Senin (24/6/2024).

Soal intervensi di pasar, BI mengintervensi dengan turun ke pasar spot, transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah berupa transaksi forward (Domestic Non-Deliverable Forward/DNDF), maupun surat berharga negara (SBN). Namun, intervensi ini hanya bersifat sementara atau efektif untuk jangka pendek saja.

“Untuk intervensi, itu adalah kebijakan yang selama ini kami lakukan, baik untuk spot, DNDF atapun yang sifatnya di pasar SBN pada saat ada outflow (dana keluar) yang besar di pasar SBN,” kata Deputi Gubernur BI, Destry Damayanti, pada kesempatan yang sama.

Intervensi di pasar juga dilakukan BI dengan cadangan devisa. Dalam hal ini, Bank Sentral akan menggunakan cadangan devisa yang ada untuk melakukan stabilisasi nilai tukar saat diperlukan. Sebagai contoh, dari cadangan devisa yang terkumpul lebih dari 140 miliar dolar AS, telah digunakan oleh BI hingga hanya menjadi 139 miliar dolar AS.

“Kuncinya sebenarnya adalah supaya distribusi suplai, likuiditas di pasar tersedia. Oleh karena itu, cara pertama yang kami lakukan adalah bagaimana kita perlu memperdalam pasar uang kita,” ungkap Destry.

Untuk meningkatkan likuiditas, pada awal tahun 2024 BI juga telah menerbitkan SRBI. Instrumen ini dimaksudkan untuk menarik dana asing masuk ke dalam negeri. Berbeda dengan Reverse Repo yang hanya mengizinkan anggota-anggota BI untuk melakukan penempatan dana di Bank Sentral, melalui SRBI BI sekuritas yang ada di BI bisa diperdagangkan di pasar sekunder atau luar negeri.

“SRBI sekarang kepemilikannya sudah menyebar, tidak hanya bank-bank tertentu, bahkan partisipannya juga bertambah. Di mana nantinya SRBI ini bisa dipergunakan di pasar sekunder untuk menambah likuiditas dan ini pun kemudian kami lengkapi dengan pengembangan infrastruktur, yaitu CCP,” unkap Destry.

Untuk diketahui, CCP atau Central Counterparty untuk Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar adalah lembaga khusus kliring sentral transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar. Sementara sampai 14 Juni 2024 BI telah menerbitkan SRBI hingga Rp666,5 triliun, lebih tinggi ketimbang posisi SRBI pada 21 Mei kemarin yang senilai Rp508,41 triliun.

Pada saat yang sama, aliran modal ke Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI) masing-masing senilai US$2,30 miliar dan 395 juta dolar AS. Sedangkan sebulan yang lalu, posisi SVBI sebesar 2,13 miliar dolar AS dan SUVBI 257 juta dolar AS.

“Dengan operasi moneter pro market kami gunakan diler-diler utama bersama-sama BI masuk ke pasar untuk menambah likuiditas, entah itu untuk dolar AS maupun rupiah,” ujar Destry.

Selain melakukan dua upaya tersebut, BI juga terus berupaya mengurangi dominasi dolar AS dengan mendorong penggunaan mata uang lokal untuk transaksi antarnegara (Local Currency Transaction/LCT). Destry mengungkapkan, hingga Mei 2024, pembayaran menggunakan LCT tercatat mencapai 3,8 miliar dolar AS, naik 39 persen dari posisi Mei tahun lalu.

Sementara itu, terkait pengguna, BI telah menggandeng bank sentral Malaysia, Thailand, Jepang, dan Cina untuk menggunakan LCT. Sehingga, pada akhir Mei 2024 jumlah pelaku LCT telah mencapai 4.386 pengguna.

“Kami sudah dalam proses persetujuan MoU dengan Korea, Singapura dan UEA (Uni Emirat Arab). Kami akan terus meningkatkan LCT kita dengan memengaruhi karakteristik Hubungan ekonomi kita dengan negara-negara mitra plus kesiapan dari bank sentral negara masing-masing,” tandas Destry.

Baca juga artikel terkait PELEMAHAN RUPIAH atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Flash news
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin