tirto.id - “Saya lihat top website di Indonesia 90 persen buatan luar negeri, jarang sekali buatan lokal [...] Kita ingin menciptakan sesuatu yang fresh di internet digunakan untuk sesuatu yang baik,” kata Achmad Zaky, Chief Executive Officer Bukalapak kepada Najwa Shihab.
Achmad tidak sedang bergurau. Ucapannya itu salah satu alasannya mendidirikan Bukalapak, sebuah e-commerce kategori consumer to consumer. Bukalapak didirikan pada 10 Januari 2010. Ia lahir selepas adanya kekosongan layanan e-commerce lokal Indonesia.
Bukalapak bukan satu-satunya e-commerce asli Indonesia. Di tahun-tahun yang hampir berbarengan, Tokopedia lahir. Tokopedia, sebuah startup yang didirikan Willian Tanuwijaya, lahir pada 6 Februari 2009.
Bukalapak, Tokopedia, bukanlah pelopor di bidang e-commerce. Apa yang dilakukan dua pemain lokal tersebut mengekor apa yang terjadi di dunia, terutama Amerika Serikat (AS). Di AS ada NetMarket pada 1994 sebagai perintis e-commerce. Ia lahir sekitar empat tahun selepas world wide web (www) diciptakan oleh Sir Timothy John Berners-Lee. Namun, namanya tak sehebat eBay sebagai startup jual-beli online berkonsep market place yang muncul pada 3 September 1995 oleh Pierre Omidyar.
Britt memang tak berlebihan. Suksesnya Tokopedia, Bukalapak, maupun jenis startup lainnya seperti Gojek, yang kini ketiganya berstatus startup unicorn, karena mereka tahu medan tempur di pasar lokal yang merek garap.
Dalam sebuah pemaparan di dalam acara Wild Digital, suatu konferensi tentang startup, Britt mengungkapkan bahwa sentuhan lokal, wajib dilakukan perusahaan manapun, skala besar maupun masih berstatus startup, untuk bertahan dan bahkan memenangkan persaingan. Sentuhan lokal inilah yang menjadi salah satu faktor kesuksesan Bukalapak, Tokopedia, hingga Gojek di pasar Indonesia.
Para startup lokal tersebut, mengenal masyarakat Indonesia yang menjadi bidikan pasarnya. Ini berbeda dengan sebagian besar startup pelopor dari dunia luar yang gaungnya tak sekuat startup lokal. eBay misalnya, e-commerce yang memiliki layanan serupa Bukalapak dan Tokopedia, kurang populer bagi masyarakat Indonesia.
Data dari Alexa memperlihatkan tak ada nama eBay dalam 50 besar situsweb paling banyak dikunjungi di Indonesia. Padahal, secara global, eBay berada di urutan ke-41 atau nomor 9 di Amerika Serikat. Satu-satunya langkah yang dilakukan eBay di Indonesia, ialah bekerjasama dengan Blanja.com, e-commerce milik Telkom.
Bernasib sama dengan eBay, Amazon, pelopor e-commerce dunia, tak cukup kuat di Indonesia. Ini tentu karena ada juga faktor Amazon yang belum memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Amazon memang kuat di kancah internasional, tapi data eCommerceIQ, tak ada nama Amazon di daftar e-commerce kategori business to cumsumer (B to C) di Indonesia. eCommerceIQ mengungkapkan bahwa dunia e-commerce B to C Indonesia dikuasai oleh Lazada dengan 106,3 juta pengunjung per bulan Oktober lalu.Persoalan kiprah pelopor bisnis startup harus bersaing dengan pemain lokal, tak hanya terjadi di segmen e-commerce, juga di bisnis ride sharing. Uber misalnya, startup ride-sharing ini, demi memenangkan pasar lokal, terutama Asia Tenggara di dalamnya Indonesia, pada Februari 2016 lalu mulai mengujicoba layanan ride-sharing berbasis sepeda motor bernama UberMoto.
Sebelum mengujicoba UberMoto, hanya memiliki layanan ride-sharing berbasis mobil. Masuknya Uber pada layanan motor, tak bisa dielakkan terjadi atas keunggulan Gojek di segmen ini. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, motor jauh lebih mengakar daripada mobil. Untuk solusi menghindari kemacetan, motor lebih dianggap efektif bagi konsumen.
Lain Uber lain pula dengan Spotify, layanan musik on-demand yang diluncurkan pada 23 April 2006, hingga Juli 2017 memiliki 60 juta pelanggan premium. Spotify meluncurkan metode pembayaran transfer ATM serta pembayaran melalui kasir minimarket khusus untuk pasar Indonesia sejak 30 Maret 2016.
Strategi Spotify merupakan tanda bahwa mereka memahami pasar lokal. Sebelum membuka metode pembayaran melalui ATM dan minimarket, Spotify hanya melayani penggunanya berlangganan dengan kartu kredit/debit. Penetrasi kartu kredit di Indonesia memang masih rendah, data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, pada 2016 tercatat hanya ada sekitar 17,4 juta kartu kredit, angka yang kecil bila dibandingkan dengan total penduduk di Indonesia.
Strategi-strategi memakai pendekatan karakter lokal oleh para startup ujung-ujungnya bagaimana memenangkan persaingan di pasar. Di Asia Tenggara, Indonesia adalah pasar masa depan di bidang startup. Pasar Indonesia kurang lebih 250 juta jiwa dari sekitar 600 juta jiwa penduduk di Asia Tenggara, sebuah pasar yang menggiurkan di kawasan maupun Asia.
“Pentingnya Asia telah berada di depan,” ucap Karim Temsamani, President Google’s Asia-Pacific pada Financial Times.
"Setengah populasi dunia ada di sini dan kekayaan keluarga akan tumbuh lebih cepat daripada di tempat lain selama 15 tahun ke depan. Inilah pusat dunia, dan perusahaan yang memahami masyarakat di sini dan cara mereka menggunakan teknologi akan menang di wilayah ini,” tambahnya.
Salah satu indikator meningkatnya atensi dunia startup global pada Asia Tenggara adalah nilai investasi yang cukup tinggi di kawasan ini. Data yang dipaparkan CBS Insights memaparkan bahwa terjadi kenaikan investasi yang cukup tinggi.
Pada 2015, investasi startup di Asia Tenggara berada di angka $1,719 miliar. Pada 2016 nilainya meningkat menjadi $3,09 miliar. Belum genap 2017 berakhir, nilai investasi di Asia Tenggara di para startup telah berada di angka $6,4 miliar.
Beberapa startup fenomenal di Asia Tenggara yang menikmati aliran modal besar adalah Grab yang menerima pendanaan kategori seri G di kuartal III-2017 senilai $2 miliar. Gojek meraih kategori seri C senilai $1,2 miliar. Selain itu, ada Tokopedia yang memperoleh pendanaan seri F sebesar $1,1 miliar.
Aliran deras modal ke startup-startup lokal di kawasan Asia Tenggara, telah melahirkan valuasi-valuasi startup yang maha besar hingga masuk kategori unicorn, yaitu perusahaan dengan valuasi lebih dari $1 miliar.
Kini di Asia Tenggara punya beberapa startup berstatus unicorn, yaitu Grab, SEA, Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan yang terbaru, Bukalapak. Para unicorn ini mampu membuktikan, meski bukan sebagai pelopor, tapi dengan memahami pasar lokal dan sukses menerapkan strategi yang jitu, bisa menarik investasi dan tentunya bisa memenangkan persaingan di pasar yang sengit.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra