tirto.id - Presiden Jokowi berencana menambah anggaran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sekitar Rp8,6 triliun atau setara dengan 80.000 unit rumah pada tahun ini. Namun, rencana itu tampaknya belum tentu terealisasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan dirinya telah menerima permintaan penambahan anggaran FLPP. Meski begitu, rencana itu tidak mudah direalisasikan lantaran harus melalui perubahan APBN dan didiskusikan bersama legislatif.
“Presiden sudah telepon ‘Bu Menteri kenapa dana kurang, tolong dinaikan’. Kami enggak bisa buka botol lalu langsung isi. Ada proses legislasi dalam mencapai tujuan baik dan caranya juga baik,” ucap Sri Mulyani, Rabu (18/9/2019).
Kepastian penambahan anggaran FLPP juga sempat ditanyakan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Sri Mulyani menyatakan bahwa penambahan anggaran tidak bisa serta-merta langsung ditambahkan.
Belum lagi, anggaran FLPP juga tidak termasuk dalam pos belanja sehingga penambahannya tidak semudah pos anggaran lain. Namun demikian, Sri Mulyani mengaku akan tetap mengupayakannya.
“Saya sudah sampaikan ke presiden apa yang harus dilakukan. Kalau mekanisme APBN itu, dana FLPP masuknya penanaman modal bukan belanja. Itu injeksi. Prosedur ini diminta buat cepat,tapi saya akan sampaikan secepat mungkin,” ucap Sri Mulyani.
Sementara itu, Anggota Kadin sekaligus Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja menyatakan anggaran tambahan senilai Rp8,6 triliun itu tampaknya memang belum pasti dialokasikan.
“Anggaran tambahan untuk 80.000 unit belum pasti. Dia (presiden) baru bilang akan ditambah saja. Tapi dalam 1-2 minggu nanti dijawab,” ucap Endang dalam konferensi pers di Hotel Intercontinental, Rabu (18/9/2019).
Endang menjelaskan bahwa kebutuhan anggaran untuk 80.000 unit rumah itu cukup mendesak. Hal itu dikarenakan konsumen terpaksa harus membayar kredit dengan cicilan komersial jika kuota FLPP habis. Meskipun dijanjikan oleh perbankan untuk single digit, bunga komersial masih tetap mahal karena di kisaran 9,5 persen.
“November-Desember yang akad akan bayar 20 persen lebih mahal, padahal masyarakat berpenghasilan rendah. Januari FLPP ada lagi, mereka sebelahan rumahnya, tapi cicilan beda. Ini bisa jadi masalah,” ucap Endang.
Editor: Ringkang Gumiwang