tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perubahan iklim memiliki dampak yang lebih luas dan signifikan bagi negara-negara di dunia dibandingkan dengan pandemi COVID-19. Sebab ini menjadi ancaman besar bagi kemanusiaan, ekonomi, sistem keuangan, dan cara hidup seseorang .
“Kita semua menyadari bahwa perubahan iklim atau krisis iklim menjadi ancaman besar. Laju emisi gas rumah kaca juga terus meningkat secara eksponensial,” jelas Sri Mulyani saat menghadiri HSBC Summit 2022 dengan tema “Powering the Transition to Net Zero, Rabu (14/9/2022).
Merujuk penelitian yang diterbitkan oleh lembaga riset asal Swiss tahun 2021, Sri Mulyani menjelaskan perubahan iklim juga dapat memberikan kerugian yang besar bagi perekonomian, yaitu kehilangan mencapai lebih dari 10 persen dari total nilai ekonominya apabila kesepakatan Paris 2050 tidak terpenuhi.
“Secara bertahap, tekanan Inflasi dapat timbul akibat gangguan rantai pasokan nasional dan internasional akibat perubahan cuaca seperti kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi mengakibatkan kerugian finansial yang besar," jelasnya.
"Indonesia diperkirakan berpotensi memiliki kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2023,” tegas Sri Mulyani.
Kemudian, dia juga menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim melalui Paris Agreement dengan mengurangi 29 persen emisi CO2 dengan upaya sendiri dan mengurangi 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Selain itu, pemerintah melalui kebijakan fiskal juga terus mendukung inisiatif transisi energi. Presiden Joko Widodo sendiri telah mengumumkan di acara COP26 di Glasgow tentang bagaimana Indonesia terus melanjutkan upaya untuk mencapai emisi nol dengan meluncurkan mekanisme transisi energi, setra meluncurkan platform mekanisme transisi energi di pertemuan menteri keuangan G20, Juli lalu.
“Pemerintah Indonesia telah memberikan kebijakan yang relevan dan menciptakan lingkungan yang berkelanjutan untuk manufaktur terkait rendah karbon di Indonesia. Kami memperkenalkan penerapan pajak karbon sebagai skema penetapan harga karbon untuk mendorong kegiatan ekonomi rendah karbon," katanya.
"Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, untuk mengatur program percepatan pemanfaatan kendaraan listrik," lanjut dia.
Meski begitu, Bendahara Negara itu menyebut, Indonesia masih perlu waktu untuk mematangkan rencana penerapan pajak karbon. Hal ini karena situasi ekonomi yang masih rentan, serta ancaman krisis pangan dan energi.
"Rencana ini perlu terus dikalibrasi, mengingat masih rentan dan rapuhnya pemulihan ekonomi kita, terutama akibat pandemi dan sekarang dilanda krisis pangan dan energi,” pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri