tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati heran dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang masih lambat di Indonesia. Padahal, menurut dia, pengembangan EBT dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak yang jadi salah satu bahan bakar pembangkit listrik.
Terlebih, Indonesia punya potensi besar untuk mengembangkan EBT, salah satunya yang berasal dari panas bumi atau geotermal.
"Indonesia ingin [EBT] mencapai 23 persen itu salah satu potensi terbesar dari geothermal, dan Indonesia disebutkan sebagai negara yang memiliki potensi terbesar di dunia. Namun disebutkan kalau hanya bicara Indonesia punya potensi tapi realisasi, aktualisasi masih jauh," ujarnya di Kementerian Keuangan, Kamis (25/4/2109).
Menurut Sri Mulyani, ada beberapa hambatan yang membuat pengembangan EBT terutama geothermal sulit berkembang. Pertama, soal risiko gagal dalam eksplorasi. Hal ini, kata dia pernah direspons oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika dirinya menjadi menteri keuangan.
Namun, ia tak tahu apakah instrumen untuk menanggulangi risiko eksplorasi tersebut masih cocok diterapkan untuk kondisi sekarang.
"Perlu diupdate apakah instrumen itu tetap atau perlu diperbaiki atau dipertajam. Ini issue yang muncul dari sumber energi geothermal karena mining probabilitas-nya tidak selalu 100 persen berhasil," tuturnya.
Di samping itu, ada pula isu lingkungan hidup lantaran proyek geothermal kemungkinan terletak di tempat-tempat atau wilayah konservasi seperti kawasan hutan. "Semoga teknologi bisa membantu agar kita tidak perlu menghadapi pilihan antara hutan dan pertambangan," imbuhnya.
Hambatan berikutnya, menurut dia, adalah harga beli listrik oleh PLN, yang lebih murah ketimbang energi fosil atau batu bara. Menurutnya, hal itu membuat investor enggan masuk ke Indonesia untuk mengembangkan EBT dari panas bumi.
Karena itulah, menurut Sri Mulyani, pemberian subsidi diperlukan agar beban para pengembang di tahap awal pengoperasian bisa lebih ringan. Soalnya, jika modal yang dikeluarkan cukup besar sementara hasil dari penjualan listrik sangat rendah, investor akan sangat kesulitan untuk mengembangkan PLTP.
Namun, ia menjelaskan bahwa skema subsidi tersebut hanya bersifat sementara sampai ongkos produksi dan harga jual listrik dari PLTP yang dikembangkan sesuai dengan nilai keekonomian.
Artinya, subsidi yang diberikan oleh kementerian keuangan akan berbeda-beda untuk tiap proyek. Skema subsidi tersebut nantinya juga akan dikaji lebih lanjut oleh Dirjen Perimbangan Keuangan.
"Dengan jangka waktu produksi yang disampaikan Pak Dirjen tadi bisa 30 tahun atau lebih, saya yakin sebetulnya ongkos produksi nya makin menurun sehingga kan bisa kita membuat satu hitungan yang memang fair," ucapnya.
"Jadi tidak hanya dalam satu periode kita berikan subsidi tapi kita bisa bicara tentang keseluruhan lifecycle dari proyek tersebut," jelas mantan direktur pelaksana bank dunia tersebut.
Dengan demikian, kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, tidak ada alasan untuk menunda pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia terutama yang berasal dari panas bumi.
"Kementerian Keuangan siap kerja sama dengan Menteri Energi, Menteri BUMN, Menteri Perekonomian, Menteri Maritim, PLN, untuk bisa kembangkan karunia Tuhan luar biasa bagi bumi Indonesia. Masa, diberi hadiah tidak bisa digunakan," tandasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri