tirto.id - Negara Sri Lanka dilanda krisis ekonomi besar sehingga menyebabkan kebangkrutan. Dalam berita terbaru, pemerintah mendesak warganya di luar negeri untuk mengirimkan uang ke rumah guna membantu membayar makanan dan bahan bakar.
Seperti dilaporkan France24, Sri Lanka sebelumnya telah mengumumkan default atau gagal membayar utang luar negerinya yang sebesar 51 miliar dolar AS.
Sejak kemerdekaan pada tahun 1948, Sri Lanka berada dalam cengkraman krisis ekonomi terburuk. Negara kepulauan itu mengalami kekurangan barang-barang penting yang parah dan sering terjadi pemadaman listrik sehingga mengakibatkan berbagai kesulitan.
Situasi yang sulit ini telah memicu kemarahan publik dan orang-orang turun ke jalan untuk melakukan protes. Mereka menuntut pemerintah agar mengundurkan diri menjelang negosiasi dana talangan IMF (Dana Moneter Internasional).
Dalam guncangan keras itu, Gubernur bank sentral Nandalal Weerasinghe mendesak warga Sri Lanka yang berada di luar negeri untuk "mendukung negara pada saat yang genting ini dengan menyumbangkan devisa yang sangat dibutuhkan."
Pengumuman ini dilakukan sehari setelah pemerintah mengumumkan menangguhkan pembayaran semua utang luar negeri, yang akan membebaskan uang untuk mengisi kembali persediaan bensin, obat-obatan dan kebutuhan lainnya.
Weerasinghe mengaku telah menyiapkan rekening bank untuk menampung sumbangan dari Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Ia juga berjanji kepada ekspatriat Sri Lanka kalau uang itu akan dipakai untuk sesuatu yang paling dibutuhkan.
Bank "memastikan bahwa transfer mata uang asing tersebut akan digunakan hanya untuk impor kebutuhan pokok, termasuk makanan, bahan bakar dan obat-obatan", kata Weerasinghe dalam sebuah pernyataan.
Apa Penyebab Krisis?
Inflasi di Sri Lanka berada dalam titik tertinggi yakni sebesar 17,5 persen. Saat ini, harga satu kilogram melonjak hingga 500 rupee Sri Lanka dari harga biasa 80 rupee. Di tengah kelangkaannya, satu paket 400g susu bubuk dilaporkan seharga lebih dari 250 rupee, dari yang biasanya sekitar 60 rupee.
Negara dengan 22 juta penduduk itu sangat bergantung pada impor barang-barang penting, termasuk bensin, makanan dan obat-obatan.
Seperti dikutip The Conversation, sejak memerdekakan diri dari Inggris tahun 1948, pertanian Sri Lanka didominasi oleh tanaman yang berorientasi pada ekspor seperti teh, kopi, karet dan rempah-rempah.
Oleh sebab itu, sebagian besar produk domestik brutonya berasal dari devisa yang didapat lewat mengekspor tanaman-tanaman tersebut. Timbal baliknya, uang hasil itu dipakai lagi untuk mengimpor bahan makanan penting.
Selama bertahun-tahun, Sri Lanka juga mulai mengekspor garmen dan mendapatkan devisa dari pariwisata dan pengiriman uang. Karena ketergantunnya pada ekspor, Sri Lanka selalu mengalami berbagai guncangan ekonomi setiap kali jumlah ekspornya menurun, bahkan menempatkan cadangan devisa di bawah tekanan.
Atas alasan itulah Sri Lanka sering mengalami krisis neraca pembayaran. Pinjaman terakhir Sri Lanka ke IMF adalah pada tahun 2016. Negara itu menerima 1,5 miliar dolar AS selama tiga tahun.
Kendati demikian, kesehatan ekonomi menurun tajam selama periode itu. Baik dari sisi pertumbuhan, investasi, tabungan dan pendapatan semuanya menurun, sedangkan beban utangnya meningkat.
Situasi semakin bertambah buruk setelah guncangan ekonomi pada tahun 2019. Belum lagi pandemi Covid-19 yang melanda di awal tahun 2020.
Editor: Iswara N Raditya